-->

Jumat, 04 Juli 2014

Matchmaking Part 31 (Rify)

Said I wouldn’t come but I lost of control and I need you now. And I don’t know I can do without, I just need you now.

***

Ify mematut dirinya di cermin. Mukanya tampak sangat kacau. Kantong mata yang membesar dan mata yang memerah akibat kurang tidur karena semalam ia sulit sekali tidur. Ia terus saja menunggu Rio yang tak kunjung datang bahkan hingga sekarang. Pemuda itu sangat-sangat membuatnya kecewa. Ia lantas mengolesi bedak ke kelopak bawah matanya. Berharap mata pandanya bisa sedikit tersamarkan. Rasanya ia tidak ingin pergi ke sekolah hari ini. Kepalanya terasa berat dan pusing. Tapi, apa daya. Ia tidak ingin membuat kedua orangtua Rio khawatir.
Ify melihat bayangannya di cermin sekali lagi lalu mendesah pelan. Setidaknya lebih baik dari sebelumnya. Ia berjalan sambil menenteng tasnya menuju pintu kamar Rio. Saat ia membuka dan menariknya ke dalam, ia menemukan Rio berdiri di depannya. Tampaknya pemuda itu tadi juga ingin membuka pintu tapi didahului olehnya. Ia hanya diam menatap pemuda itu yang juga menatapnya.
“Ma—Mama ngajak sarapan..” ujar Rio gugup. Ia tersenyum sebaik yang ia mampu pada Ify. Ify masih bergeming. Pemuda itu bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa semalam. Ia kemudian melengos begitu saja setelah menutup pintu tanpa membalas ucapan Rio. Rio melihat itu hanya bisa menghela napas dan bersabar dalam hati. Bukan salah Ify kalau gadis itu marah memang. 

***

Ify terus saja bungkam bahkan hingga mereka sudah tiba di sekolah. Tak sekalipun Ify menoleh ke arah Rio. Ini bukan lagi akhir yang buruk, tapi sangat buruk. Sebenarnya tidak akan lebih buruk kalau ia bisa mengajak gadis itu bicara baik-baik. Tapi, keberanian dalam dirinya belum terhimpun sampai sekarang. Ia bingung harus menjelaskannya bagaimana agar Ify tidak tersinggung. Ia tidak ingin terlihat membela salah satu kubu.
Mereka kemudian berjalan bersisian masih tidak saling bicara. Ify hanya menatap lurus ke depan sementara Rio tak bisa berhenti mencuri-curi pandang padanya. Ia tidak terlalu memedulikan apa yang sedang pemuda itu lakukan. Kepalanya yang terasa makin berat membuatnya tak bisa mengacuhkan apapun. Ia lebih peduli ia bisa sampai di kelas tanpa digotong atau tidak.
Ketika mereka sudah berjalan menyusuri hampir setengah koridor sekolah dan tinggal beberapa langkah lagi sampai di kelas, Ify tiba-tiba berhenti. Ia mencengkram lengan Rio sekaligus mencari pegangan agar ia tidak jatuh. Ia menutup mata dan mendesis pelan ketika pusing di kepalanya semakin menjadi. Rio lantas memandangnya khawatir.
“Lo kenapa, Fy?” tanyanya panik. Ia meletakkan punggung tangannya di kening Ify memeriksa suhu tubuh gadis itu. Tangannya terasa panas. Tidak begitu panas tapi tetap saja suhunya tidak normal. Badan gadis itu juga hangat. Mau tidak mau Ify harus segera di opname. Pikirnya.
“Lo masih kuat jalan?” tanya Rio lagi. Ify mengangguk pelan meski kurang yakin. Tapi setidaknya, ia masih sanggup berdiri sekarang.
“Ikut gue! Ntar bilang kalo misalnya lo udah gak kuat jalan.” Ia langsung menarik tangan Ify, memutar balik arah jalan mereka kembali ke parkiran. Ify meliriknya sekilas. “Kita mau kemana? Kelasnya kan di situ..” lirihnya.
“Kita mau ke rumah sakit.”
Ify menaikkan sebelah alisnya. “Tapi gue kan gak..sss..sakit..” Rio sepertinya menulikan telinganya saat ini. Yang ia pikirkan hanya bagaimana agar mereka bisa cepat sampai di rumah sakit.

***

Ify sudah tak sadarkan diri sejak dalam perjalanan hingga sampai di rumah sakit. Bukan pingsan, tapi gadis itu tertidur. Hanya sekali rintihannya terdengar saat tangannya ditancapkan jarum infus. Rio mendesah lega saat mendengar penjelasan dokter. Dokter bilang Ify hanya dehidrasi dan kurang tidur. Bisa dibilang juga kelelahan. Tapi, nanti sudah bisa langsung dibawa pulang kalau cairan infusnya sudah habis dan panas tubuhnya hilang. Sekali lagi Rio menghela napas lega.
Ia duduk di tepi ranjang sambil memangku dan menggenggam tangan Ify yang tidak terpasang infus. Kalau dihitung mungkin sudah hampir 2 jam Ify tidur. Harusnya ia sudah membangunkan gadis itu agar minum obat tapi ia tidak tega. Ify tidur lelap sekali seperti tidak tidur berhari-hari. Kira-kira kenapa ya gadis itu bisa sampai jatuh sakit begini? Apa jangan-jangan benar kalau semalam gadis itu menunggunya? Atau malah Ify semalaman menangis karena dirinya? Ck, harusnya ia datang saja malam tadi jadi ia tidak bertanya-tanya seperti ini.
Tangan Ify dalam genggaman Rio bergerak-gerak. Rio memalingkan pandangannya ke wajah Ify. Gadis itu sedang berusaha membuka matanya lalu kemudian mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Mengenali di mana keberadaannya saat ini. Pandangannya terakhir jatuh pada Rio.
“Lo pasti bolos lagi, kan?” tanyanya dengan suara serak. Rio berdiri mengambil beberapa butir obat di atas lemari di samping ranjang serta segelas air. Ia kembali duduk di samping ranjang.
“Lo mesti minum obat dulu. Mau gue bantu duduk?” tanyanya balik tanpa menggubris pertanyaan Ify sebelumnya. Ify menggeleng lalu berusaha duduk dan bersandar pada bantal sendiri. Setelah itu, Rio mendekatkan dirinya dengan Ify sambil menyodorkan kedua tangannya yang masing-masing memegang obat dan segelas air. Ify mengambil gelas dan obat serta menelan semuanya sekaligus dalam diam. Ia lalu mengembalikan gelas tadi pada Rio dan Rio lekas menaruhnya lagi di atas lemari.
Sekarang sudah tidak ada hal lagi yang bisa dijadikan untuk basa-basi. Ify masih saja mendiamkan Rio dan juga tidak memandang pemuda itu. “Lo balik ke sekolah aja, gue udah gak perlu dijaga.”
“Semalam lo begadang?” tanya Rio lagi-lagi mengabaikan ucapan Ify. Ify diam enggan menjawab. Rio menggigit bibirnya bingung dan sedikit panik. “Lo gak nangis semalaman karena gue, kan?”
Ify masih mengunci bibirnya rapat-rapat. Rio mendesah pelan lalu menggenggam tangan Ify. “Fy, masalahnya gak akan selesai kalo lo cuma diem kek gini.”
Ify untuk pertama kalinya menoleh pada Rio. “Lo sendiri yang udah ngebuang kesempatan lo bicara semalem.”
“Semalem itu...gue takut lo gak nerima gue, Fy. Gue pikir lo mau nenangin diri dulu dan gak mau ngomong sama gue.”
Ify mengernyit. “Kenapa mesti takut? Lo bahkan dulu nolak gue terang-terangan, Yo. Tapi apa? Gue tetep berusaha mendekatkan diri sama lo. Dan lo, bahkan cuma hal kecil kayak gini aja lo udah nyerah buat gue. Sebenernya yang nenangin diri itu gue atau elo?”
Kata-kata Ify terasa bagai paku yang menancapkan lidah Rio hingga tidak bisa berkata apa-apa. Sekali lagi ia menyesal malah membiarkan Ify sendiri malam tadi. Mereka lalu terdiam dengan pikiran masing-masing.
“Gue nyembunyiin itu semua karena gue cuma pengen ngejaga perasaan lo, Fy.” Rio buka suara lagi.
“Trus, apa sekarang perasaan gue terjaga? Lo harusnya lebih dulu nanya sama hati lo, lo pengen ngejaga perasaan siapa. Karena gue gak ngerasa perasaan gue dijaga sama lo. Lo sama sekali gak mikirin gue, Yo.”
“Gue sangat mikirin lo, Fy. Gue gak mau akhirnya kalian berdua saling benci. Gue gak mau peristiwa kayak kemaren terulang lagi bahkan jadi lebih parah.”
Ify tersenyum lirih sambil memalingkan wajahnya kembali. “Emangnya gue gak boleh benci sama Dea? Cuma Dea yang boleh benci sama gue? Cuma Dea yang boleh ngelakuin hal-hal buruk sama gue sedangkan gue harus senantiasa baik sama dia? Kenapa lo bisa semudah itu maafin dia? Gue juga harus ngejaga perasaan dia dan gak mikirin perasaan gue? Gue harus memperlakukan dia sebagai ratu setiap saat? Coba lo pikir lagi, selama ini dia udah banyak bikin gue sakit hati. Tapi apa? Lo gak pernah serius nanggepin perlakuan dia ke gue. Lo gak pernah mikirin sakit hati yang selama ini gue rasain, Yo.”
Rio merasa makin tidak sanggup bicara. Sepertinya apapun yang ia ucapkan selalu menjadi pisau tajam yang langsung menyakiti hati Ify.
“Pantes aja lo ngelarang gue nyari tau. Gue pikir lo bener-bener marah karena Debo nyium gue. Tapi ternyata itu cuma hiburan semu untuk gue. Yang gue rasain sekarang lo cuma mau ngelindungin dia. Lo cuma gamau dia kenapa-kenapa kalo sampe gue tau. Bahkan lo sampe berusaha deketin dia sama gue. Buat gue sayang sama dia supaya bisa maafin dia dengan mudah kayak lo. Lo itu gamau nyusahin diri lo sendiri. Lo juga gak mau bikin Dea susah. Lo cuma ngebiarin gue yang susah sendirian. Kali ini lo bener-bener ngebuat gue ngerasa gak lebih berarti dari Dea, Yo.”
“FY!” ujar Rio tiba-tiba. Sejurus kemudian, ia langsung menghela napas menyesal. Ucapan terakhir Ify begitu memancing emosinya. “Oke, gue sadar gue salah. Gue salah udah nyembunyiin semuanya dari lo. Gue...minta maaf.”
Ify kembali diam. Untuk saat ini, memaafkan Rio bukan perkara yang mudah. Terlebih ia harus percaya kalau pemuda itu tidak akan mengulangi kesalahannya. Tidak lagi bersikap tidak adil padanya dan Dea. Bisa memperlakukan ia dan Dea sesuai kapasitas yang mereka masing-masing miliki.
Rio menyentuh dagu Ify dan menggeser pandangan gadis itu ke arahnya. “Fy, gue minta maaf. Maaf kalo selama ini gue udah buat lo ngerasa gue gak pernah mikirin lo. Gue bener-bener nyesel gak ngasih tau semuanya dari awal. Mungkin gak akan bikin lo sesakit ini dan gue gak bakal liat lo hampir pingsan kayak gini.”
Rasanya Ify ingin menangis saat ini juga. Tapi matanya sudah lelah. Ia sudah menangis semalaman. Sumber air matanya pasti mengalami kekeringan.
“Gue harus apa supaya lo bisa bener-bener maafin gue, hmm?” tanya Rio lagi karena Ify terus saja diam.
“Memangnya lo bisa ngelakuin apa yang gue minta?” Ify tertawa meremehkan. Rio mungkin akan berpikir ulang kalau sampai tahu apa yang ada dibenaknya saat ini. Mengenai apa yang ia ingin pemuda itu lakukan.
Rio tersenyum menatapnya. “Lo nyuruh gue terjun dari tingkat paling atas rumah sakit ini juga gue sanggup, Fy.”
Ify balas menatapnya sambil bertanya-tanya dalam hati. Gue pengen tau, bakal lebih susah mana antara terjun bebas dari lantai atas atau permintaan kecil gue ini.  Batinnya.
“Yakin?”
Rio meringis pelan. “Tapi, lo gak akan beneran nyuruh gue terjun juga, kan?”
Ify kembali tertawa lalu menggelengkan kepalanya. Rio tampak menghembuskan napas lega. “Kalo gitu, apa lo sanggup...ngejauhin Dea? Gak peduli sama dia lagi dan gak nanggepin dia lagi. Bisa?” katanya sambil menaikkan alis.
Senyum Rio sedikit mengendur. Ini seperti buah simalakama untuknya. Sebenarnya ia bisa saja melakukannya. Tapi, apa memang harus ia lakukan? Apa tidak ada cara lain?
Rio menghela napas sejenak. “Apa gak ada cara lain buat nyeleseinnya? Apa gaada jalan perdamaian tanpa harus ada pihak yang menjauh dari pihak lain, ada pihak yang memusuhi pihak lain? Lo gak seneng ya semuanya kembali normal, baik-baik aja, hidup berdampingan, mendukung satu sama lain..gitu?”
Ify sekali lagi tertawa. “Gue gak maksa lo kok, Yo. Gue juga udah nebak kalo lo pasti bakal no—“
“Oke, oke!” potong Rio cepat sebelum Ify kembali salah paham padanya. Lebih baik ia mengalah dan menuruti apapun yang diminta gadis itu supaya masalahnya tidak kembali panjang. Ia menarik napasnya sekali lagi. “Iya, gue bakal jauhin Dea. Gue bakal lakuin apa aja yang lo minta tadi. Janji! Sudah puas, Tuan Putri?” ujar Rio lembut seraya menaikkan alis dan tersenyum.
Ify mendesah sambil mengedikkan bahu. “Kita liat aja nanti!”

***

Ify hanya sampai beberapa jam saja di rumah sakit. Dokter sudah memperbolehkannya pulang karena suhu badannya sudah kembali normal. Hanya saja ia harus membawa pulang beberapa obat untuk ia minum beberapa hari ke depan. Rio tidak langsung mengantarnya ke rumah. Pemuda itu berhenti dan singgah di depan penjaja bubur pinggir jalan yang mereka lewati. Pemuda itu beralasan ia harus banyak makan untuk menaikkan darahnya sesuai yang dokter katakan. Ify sendiri tak banyak protes berhubung ia hanya penumpang dan juga saat ini belum jamnya pulang sekolah. Sekarang bahkan masih waktu pagi. Amanda pasti akan bingung kenapa mereka bisa kembali ke rumah lebih cepat.
Rio mengaduk-aduk bubur di tangannya lalu mulai menyuapkannya pada Ify. Ify hanya tersenyum seraya geleng-geleng kepala ketika pemuda itu memaksa untuk menyuapinya. Saat ini hatinya sudah sedikit lega dibandingkan semalam apalagi saat di rumah sakit. Ia sedikit banyak sudah mulai bisa menikmati kebersamaannya bersama Rio lagi.
Seet...
Rio tiba-tiba menarik pita rambutnya hingga terlepas. Membuat rambutnya tergerai dan berayun-ayun terhembus angin beberapa helai. Ify melotot tak terima sementara Rio hanya terkekeh tanpa merasa bersalah.
“Iketan rambut lo udah berantakan, Fy. Sekalian dilepas aja.” katanya santai.
“Yang ada rambut gue malah makin berantakan kena angin, Rio. Cepetan balikin iket rambut gue!” pinta Ify bersungut-sungut sambil mencoba menggapai pita rambutnya di tangan Rio. Rio malah meninggikan tangannya sehingga membuat Ify kesulitan mencapainya. “Gue tau kok lo itu tinggi, Yo. Jadi, balikin iket rambut gue! Sekarang!”
“Gak mau.” Tolak Rio. Ify mencibir kesal dan kembali berusaha menggapai pita rambutnya. Alhasil, terjadi aksi rebut-rebutan pita rambut hingga membuat meja yang mereka tempati bergoyang dan sedikit gaduh. Beruntung pelanggan di sana baru mereka berdua. Sang penjual bubur pun datang untuk memperingati mereka. Mau tidak mau Ify berhenti sebentar supaya sang penjual bubur tidak marah atau bahkan mengusirnya.
Saat sang penjual bubur pergi, mereka lantas memulai aksi rebut-rebutan lagi. Hingga kemudian ponsel Rio yang menjadi penjeda kegiatan mereka. Ify mendengus sambil bersedekap. Rio meraih ponselnya yang ada di saku memeriksa apa yang menyebabkan ponselnya berbunyi. Ketika ia buka, terdapat satu pesan masuk dari Dea. Ia menurunkan tangannya dan spontan menyerahkan pita rambut Ify kembali lalu kemudian membalas pesan tersebut.
Ify menaikkan alis bingung kenapa Rio tiba-tiba mengembalikan pita rambutnya. Ia lalu menguncir rambutnya seraya mengintip apa yang sedang Rio lakukan dengan ponselnya. Saat matanya menangkap nama ‘Dea’, ia langsung mengalihkan pandangannya dan tidak mau tahu lagi. Ia sudah terlanjur kesal. Baru saja pemuda itu berjanji akan menjauhi Dea, tapi langsung dilanggar. Katanya akan melakukan apapun yang ia minta. Nah, lalu sekarang apa?
Ify menggeser mangkok buburnya yang ada di depan Rio dengan kasar setelah selesai menguncir rambutnya walau asal-asalan. Ia juga ikut menggeser duduknya dari dekat Rio dan memberikan jarak kira-kira satu meter dari pemuda itu. Ia memilih menyantap buburnya dalam diam. Ia tidak ingin bertanya ataupun protes. Ia sudah capek berbicara dengan pemuda itu.
Rio selesai membalas pesan dari Dea dan memasukkan ponselnya kembali. Tangannya spontan menyentuh sisi sampingnya. Ia kaget mendapati sisi di sebelahnya kosong. Ia menoleh dan baru menyadari kalau Ify duduk menjauh. Bubur yang tadi ada di depannya pun sudah berpindah ke depan gadis itu. Isinya juga sudah lenyap. Ia mengernyit tak mengerti. Apa ia tadi membalas pesan selama itu sampai-sampai Ify sempat menghabiskan buburnya?
“Buburnya lo abisin semua?” tanyanya takjub. Ify mendecak kesal. “Yaiyalah gue abisin. Masa gue buang!” balasnya sewot. Rio mengernyit heran. Kenapa Ify mendadak jadi marah-marah lagi?
“Lo gakpapa?” tanyanya sedikit khawatir. Ia mendekatkan dirinya pada Ify lalu menyentuh bahu gadis itu. Ify langsung menepis tangannya dengan kasar. Tuh, kan, Ify benar-benar marah. Ia mendesah pelan. “Kenapa lagi, sih, Fy?” bujuknya dengan sabar.
“Gue mau pulang.” Ujar Ify tanpa menjawab pertanyaannya. Gadis itu langsung angkat kaki dan berjalan menuju mobilnya. Ia menggaruk pelipisnya bingung. Ia lantas menyusul gadis itu yang sudah masuk ke dalam mobil setelah membayar bubur yang Ify makan pada sang penjual.
Rio menyalakan mesin tapi tidak langsung menjalankan mobilnya. Ia menyalakan mesin supaya ac mobilnya hidup. Setidaknya mereka tidak akan mati konyol karena kehabisan napas kalau-kalau pembicaraan mereka nanti berlangsung panjang. “Jangan marah-marah gak jelas lagi, dong? Tadi kita udah sepakat, kan?”
“Kesepakatan di antara kita udah gak ada karena lo udah lebih dulu ngelanggar.” Ify menjawab tanpa menatap Rio dan memilih melihat ke arah jendela.
“Gue ngelanggar apa? Gue gak ngapa-ngapain, Fy. Daritadi kan gue sama lo.”
Ify akhirnya menoleh ke arahnya. “Trus, yang barusan lo sms siapa? Apa namanya kalo bukan ngelanggar?”
“Yang barusan gue sms?” gumam Rio seraya mengerutkan kening. Sedetik kemudian ia berseru ah sambil membanting pelan tubuhnya ke badan jok. “Ya ampuuun..” desahnya. Ia mengambil kembali ponselnya dari kantong dan membuka pesan dari Dea tadi. Ia lalu menyerahkan ponselnya itu pada Ify.
“Nih, lo periksa, deh!” Serah Rio. Ify hanya menatap ponselnya tanpa ada niat untuk mengambil. “Gak perlu. Ngapain juga gue baca isi text lo berdua!”
“Coba lo baca dulu, Fy! Gue jamin lo gak bakal nyesel.” Ify pun mau tidak mau akhirnya mengambil ponsel tersebut dan memeriksa apa yang ada di sana. Detik itu juga, rasa kesal dalam hatinya hilang dan berganti menjadi rasa bersalah.
From : Deacha
KakYo sama KakFy kemana? Kok gak masuk? KakFy gakpapa, kan? :(

To : Deacha
De, maaf ya, tapi mungkin untuk saat ini kamu jangan hubungin kakak dulu apalagi nemuin kakak. Kak Ify tadi masuk rumah sakit karena kecapekan mikirin semalem. Kakak gak mau sampe kak Ify sakit lagi karena kakak dan kamu juga. Sekarang Kak Ify masih shock sama semuanya. Kakak mohon supaya kita jaga jarak sampe Kak Ify mau maafin kamu. Please, ngertiin keadaannya. Kakak gak mau ada masalah lagi. Biar semuanya tenang dulu, biar Kak Ify juga tenang jadi semuanya bisa cepat diselesein.
Ify memandang Rio dan ponselnya bergantian sambil menggigit bibir. Sementara Rio sedaritadi menunggu reaksinya sambil menaikkan alis. “Gimana? Gak nyesel, kan?” ujar pemuda itu.
“Lo gak bohongin gue lagi, kan?” rajuk Ify. Rio menggelengkan kepalanya dengan pandangan meyakinkan. Saat itu juga, Ify langsung nyengir seraya mengembalikan ponsel di tangannya pada pemiliknya. “Hehe..sorry..”
Rio mencibir seraya mengambil ponselnya dengan kesal atau bisa juga pura-pura kesal. “Lo marah ya?” Ify lalu bertanya meski agak takut. Rio hanya meliriknya sekilas namun tidak menjawab. Ify menggigit bibirnya lagi. “Gue mesti apa biar lo maafin gue?”
Rio kembali melirik Ify. Ia lalu mendekatkan wajahnya dengan mata menyipit. Seperti menimang-nimang perihal apa yang harus Ify lakukan untuknya. Sesaat kemudian ia tersenyum sambil memalingkan wajahnya. Ia mengetuk pipi kirinya dengan telunjuk beberapa kali. Menyuruh Ify melakukan sesuatu di sana.
Ify memberengut. Rio selalu saja curi-curi kesempatan. “Dasar!” cibir Ify pelan. Ia lantas mendekatkan wajahnya lalu mengecup singkat pipi Rio yang sudah disodorkan pemuda itu lebih dulu. Rio langsung tersenyum puas.
“I love you!” katanya dengan kerlingan jahil di matanya. Ify memutar kedua bola matanya sambil geleng-geleng kepala meski tetap tersenyum juga.

***

“KakFy, aku mohon maafin aku. Aku bener-bener udah nyesel, KakFy.” Ujar Dea dengan begitu memelas. Ify berdiri di depan pintu rumah Rio ditemani Rio di sampingnya. Ia melihat Dea dengan pandangan kesal sekaligus iba. Melihat kegigihan Dea meminta maaf padanya seperti itu sedikit membuat hatinya terenyuh. Tapi, ia tidak bisa membohongi perasaannya kalau ia belum bisa memaafkan kesalahan gadis itu begitu saja. Apa yang sudah dilakukan Dea masih selalu terngiang-ngiang dibenaknya.
Untung saja sekarang Amanda sedang tidur sementara Zeth belum pulang dari kantor dan Ray belum pulang dari sekolah. Jadi masalah ini tidak akan menyebar lagi dan tidak akan ada yang ikut campur selain mereka bertiga. Ify mundur selangkah menjauh lalu memalingkan wajahnya. “Gak akan bisa semudah itu, De. Kakak masih belum bisa nerima semua kesalahan kamu.”
“KakFy, tiap hari aku selalu dihantui rasa berdosa yang besar sama KakFy. Aku harus gimana lagi supaya KakFy bisa maafin aku?”
“Kalo kamu memang merasa berdosa, biarin Kakak nenangin diri, nenangin hati yang udah kamu buat hancur, De. Kamu gaboleh desak Kakak kayak gini terus. Kakak pasti akan maafin kamu. Semua ada waktunya. Tapi sekarang bukan waktunya Kakak bisa maafin kamu. Tolong, jangan ganggu Kakak dulu. Kamu ngertiin dong?”
Tiba-tiba Dea menjatuhkan dirinya dan duduk bersimpuh di depan Ify. Ify terkesiap dan sesaat tak bisa berkata apa-apa. Yang bisa ia lakukan hanya menyuruh Dea berdiri namun Dea menggelengkan kepala dan keukeuh meminta maaf padanya. Ify menghela napas frustasi tak mengerti harus berbicara bagaimana lagi pada gadis ini.
“KakFy, aku minta maaf. Aku sadar kesalahan aku teramat besar buat KakFy. Tapi, aku juga udah sadar kalo apa yang aku perbuat itu salah. Aku mohon maafin aku, KakFy?” Dea menunduk dan berbicara dengan terisak.
Ify pun tidak bisa menahan air matanya untuk tidak keluar. Melihat seseorang sampai seperti itu untuk memohon maaf darinya. Hatinya juga ikut teriris. Tapi, apa daya. Ia memang belum bisa memberi maaf meski ia ingin. Ia lantas mundur lagi dan memilih bersembunyi di belakang Rio. Memohon bantuan pemuda itu untuk bisa memberi pengertian pada Dea. Siapa tahu kalau dia yang berbicara, Dea akan mendengar.
Rio sedaritadi hanya diam tidak ingin ikut campur pada apa yang sedang diselesaikan oleh dua gadis yang sangat ia kenal itu. Namun, sekarang sepertinya ia juga harus turun tangan menjadi penengah antara mereka berdua. Ia mendekat pada Dea dan memegang kedua lengan gadis itu, mengisyaratkan agar gadis itu segera berdiri. Dea mau tidak mau mengikuti apa yang Rio inginkan. Rio menatap Dea sedih seraya menghela napas.
“Kakak juga bilang apa sama kamu? Jangan ganggu Kak Ify dulu, kan? Kenapa kamu susah banget dengerin omongan Kakak, sih?” ujar Rio lembut, berusaha bersikap lebih dewasa dan lebih netral di antara mereka bertiga. “Gak akan ada gunanya kalo kamu terus maksa Kak Ify. Yang ada dia malah makin susah maafin kamu. Mulai sekarang, kamu mulailah bersikap baik sama Kak Ify tanpa perlu dapet maaf dari Kak Ify lebih dulu. Kalo kamu selalu baik sama Kak Ify, tulus, gak mungkin Kak Ify gak maafin kamu nantinya, kan?”
Dea menganggukkan kepala dan masih terus terisak. Ia hanya diam tak menyahut. Rio lalu berbicara kembali. “Sekarang, mending kamu pulang. Biar kalian bisa sama-sama nenangin diri. Percaya sama Kakak, De. Kak Ify pasti mau maafin kamu, cuma gak sekarang aja.”
Sekali lagi Dea menganggukkan kepalanya. Gadis itu tanpa menunggu lagi langsung pamit. Rio bersama Ify menunggu hingga mobil Dea melenggang pergi dari halaman rumahnya. Rio beralih pada Ify yang juga masih menangis sendiri tanpa suara.
“Apa lo gamau mikir ulang buat maafin dia?”
Ify mengangkat wajahnya dan memberengut. “Emangnya salah kalo gue belum bisa maafin dia?” sahutnya sedikit meninggi.
“Gue cuma gamau lo berubah jadi orang yang hatinya sempit, Fy. Jadi orang yang susah maafin orang lain, gak mempertimbangkan sikap baik yang udah mereka lakuin sama lo.”
Ify tiba-tiba mendengus. “Gue butuh waktu, Yo. Gak mungkin bisa semudah itu. Kenapa lo sama Dea gak bisa ngerti, sih? Emang kalian kira nyimpen amarah lama-lama itu enak?”
Ify menghentakkan kakinya kesal. Ia melengos masuk ke dalam rumah meninggalkan Rio yang masih berdiri di luar.
“Ya kalo gak enak kenapa gak dimaafin aja, kan? Hhh..” gumam Rio bingung sendiri. Ia memegang kepalanya sambil menghela napas pasrah lalu menyusul Ify masuk ke dalam rumahnya.

***

Tonenoneeeet..*yaanggepajabunyitelponyak*plak*
Ponsel Rio yang ada di atas meja belajar di kamar Ray berbunyi. Rio memakai baju kaosnya segera lalu beranjak mendekati meja dan memeriksa ponselnya. Keningnya mengerut ketika melihat nama Dea yang muncul. Tadi siang bahkan gadis itu baru saja dari rumahnya. Gadis itu baru juga diberitahu agar tidak menghubunginya atau Ify dulu sebelum Ify bisa menerimanya kembali. Tapi sekarang, gadis itu malah menelepon. Kalau Ify tahu ia menjawab panggilan Dea ini, gadis itu pasti marah lagi.
“Ckck, Dea, Dea. Kamu kok gak kapok-kapok, sih?” gumamnya. Ia lalu menekan tombol yes di ponselnya dan berbicara sambil berbisik agar tidak sampai terdengar ke kamarnya yang kini ditempati Ify.
“Halo?”
“KakYo, aku mohon kali ini aja. Aku janji ini yang terakhir aku ganggu KakYo.”
Rio menghela napas. “Yaudah, apa?”
“Besok temuin aku di taman belakang sekolah setelah sekolah sepi. Aku mau ngasih tau yang sebenernya sama KakYo dan KakFy. Aku mohon sama KakYo untuk kali ini aja. Please?”
Rio memijat keningnya menimang-nimang. “Emangnya gak bisa langsung kamu omongin sekarang aja? Harus pake ketemu? Kakak takut Kak Ify gak mau dan ujung-ujungnya marah lagi.”
“Gak bisa, KakYo. KakYo gak bakal percaya. Jangan bilang sama KakFy kalo KakYo mau ketemu aku. Bilang aja KakYo mau ketemu temen KakYo atau siapa gitu. Please KakYo?”
Rio berjalan mondar-mandiri beberapa saat lalu kemudian berhenti. “Oke, KakYo sama KakFy bakal temuin kamu.”

***

Ify mengikuti langkah Rio dengan berjalan berdampingan dengan pemuda itu. Tadi Rio bilang dia ingin bertemu salah satu anggota osis untuk membicarakan keperluan promnight. Tapi yang membuatnya bingung, kenapa mereka harus bertemunya di taman? Kenapa bukan di ruang osis saja sekalian? Dan kenapa harus ketika sekolah sudah sepi? Memangnya hal yang ingin mereka bicarakan itu sangat rahasia sampai-sampai harus sembunyi-sembunyi begitu? Bahkan ruang osis dianggap masih belum cukup aman?
Tiba-tiba langkah Rio dan Ify sama-sama berhenti ketika mereka melihat Dea bersama Angel, gadis yang kemarin menumpahkan kuah baksonya ke baju Ify. Dea dan Angel tampak sedang berbicara serius. Tepatnya Dea yang berbicara sementara Angel hanya diam mendengarkan sambil bersedekap. Awalnya gadis itu memalingkan wajahnya tapi kemudian mendadak ia memandang Dea sambil mengernyit. Dea berbicara lumayan keras sehingga Rio dan Ify dapat mendengarkan dengan sangat jelas.
“Stop nyuruh-nyuruh aku lagi buat nyelakain KakFy. Aku gak mau nambah dosa aku sama KakFy. KakFy salah apa sih sama kakak sampe kakak terus aja mau ganggu KakFy?”
Angel tampak diam sambil terus mengernyit melihat Dea. Wajahnya kelihatan bingung. Dea lalu tiba-tiba bersimpuh di depan Angel sambil memegang tangan gadis itu.
“Kak, aku mohon bebasin aku?” pinta Dea dengan mata berkaca-kaca. Angel menarik tangannya dan membuat keseimbangan Dea goyang. Ia terduduk di dasar taman yang berumput.
Melihat itu, Rio hendak berlari menghampiri akan tetapi Ify menahannya. Gadis itu menatapnya seolah melarangnya pergi. “Lo mau ngapain?” tanya Ify tajam.
“Apa lo mau masih mau diem aja ngeliat Dea kek gitu? Setelah lo denger semuanya?” balas Rio tak kalah tajam.
“Tapi—“ Rio menarik tangannya yang dipegang Ify dan berlari meninggalkan Ify sebelum gadis itu selesai berbicara. Ify sesaat termangu dan terpaku di tempatnya memandang punggung Rio yang menjauh. Meski akhirnya pelan-pelan ia melangkah menyusul pemuda itu.
Rio mendorong Angel hingga gadis itu mundur beberapa langkah sambil memegangi perutnya seperti melindungi apa yang ada di dalamnya. Gadis itu tampak kaget akan kedatangannya dan juga dorongan pada tubuhnya. “Lo apa-apaan sih dorong-dorong orang sembarangan?!” pekiknya tak terima.
Rio membantu Dea berdiri. Ia lalu mengepal tangannya menatap Angel geram. “Seharusnya gue yang nanya sama lo. Jadi selama ini lo pelakunya? Maksud lo apa ngelakuin itu semua ke Ify, hah?!”
Ify hanya diam memperhatikan pergulatan di hadapannya. Ia menatap Angel dengan pandangan tak menentu. Hatinya masih belum bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya. Ia tidak percaya kalau Angel adalah dalang dari semua kesialannya. Apalagi Angel sampai mengancam Dea untuk menjadi perantara niatnya. Ia masih belum bisa percaya itu.
Angel melihat kedatangan Ify sama kagetnya ketika ia melihat Rio. Ia memandangi orang-orang di depannya dengan pandangan heran. “Lo semua mau ngeroyok gue? Apalagi maksud lo sekarang, hah?” Angel menatap Dea jengah.
“Kakak gak usah pura-pura. KakYo sama KakFy udah denger semuanya. Mereka udah tau kalo selama ini Kakak yang nyuruh aku ganggu KakFy.”
“Apa?!” Angel menyahut dengan nada tak percaya. Ia memperhatikan ketiga orang di hadapannya lalu terakhir menjatuhkan pandangannya pada Dea. Ia mengerang marah pada gadis itu. Ia hendak maju tapi Rio langsung menahannya.
“Lo—“
“Stop!” tahan Rio. Angel berhenti lalu menatap pemuda itu. “Kalo lo berani macem-macem lagi sama Dea, gue bakal bongkar rahasia lo yang ada di sana.” Rio mengacungkan telunjuknya ke wajah Angel lalu turun ke perut gadis itu.
Angel dan Ify sama-sama terkejut dan terbelalak mendengar itu. Angel terkesiap tanpa sanggup berkata-kata lagi. Matanya mulai memerah. Tidak menyangka Rio mengetahui soal kehamilannya. Sementara Ify menatap Rio kecewa. “Rio!” katanya memperingati. Tapi sepertinya Rio tidak peduli.
“Lo semua emang bener-bener gak punya hati!” Angel berteriak keras lalu langsung angkat kaki dari hadapan mereka semua.
Sekarang hanya tinggal Ify, Rio dan juga Dea. Rio memegang bahu Dea sambil menanyakan keadaan gadis itu. “Kamu gakpapa?”
Bukannya menjawab, Dea malah menangis dan memeluk Rio. Ify meremas roknya kuat-kuat apalagi ketika Rio ikut membalas memeluk Dea.
“Kenapa kamu mau aja disuruh-suruh sama dia, De?”
Dea menjawab sambil sesenggukan. “Aku takut, KakYo. Dia ngancem aku. Aku sekarang udah gapunya seseorang yang bisa ngelindungin aku lagi. KakCha di amerika, KakYo udah sibuk sama KakFy. Aku sendirian.”
Rio mendesah pelan sambil mengelus kepala Dea menenangkan gadis itu. “Kamu tetep masih bisa ngandelin Kakak, De. Kakak gak pernah lupa sama kamu.”
Ify yang sudah tidak tahan kemudian memisah paksa Rio dan Dea. Ia berdiri di depan Rio menghadap Dea tapi tidak menatap gadis itu. “Kita pulang sekarang.” Katanya dingin.
“Fy?!” sahut Rio tak percaya. Dea hendak menyentuh lengan Ify tapi Ify langsung menampiknya pelan. Dea kembali menitikkan air mata melihat itu. “Apa KakFy gak bisa maafin aku juga?” lirihnya.
“Kakak...gak tau.” Jawab Ify sekenanya. Saat ini perasaannya kacau. Ia tidak tahu harus mempercayai yang mana. Karena baik Dea maupun Angel sebelumnya sama-sama memiliki catatan baik dengannya.
“Lo perlu bukti apalagi, Fy? Apa yang tadi itu belum cukup ngebuka mata lo buat ngeliat kebenarannya?” Kali ini Rio menyela.
Ify sepertinya enggan menjawab pertanyaan Rio tersebut. Lebih tepatnya ia tidak tahu harus menjawab bagaimana.
“Biar Kakak antar kamu pulang.” Putus Rio dikala keheningan terus menguasai mereka.
“Lo mau nganter dia pulang?” tanya Ify yang kelihatan tidak setuju. Rio diam tidak menjawab. Pemuda itu bahkan melengos pergi tanpa menoleh ke arahnya lagi. Dea pun langsung menyusul Rio dan lantas meninggalkan dirinya sendiri di sana.
Sekali lagi Ify terpaku di tempatnya dan hanya diam memandangi Rio yang tak juga menoleh ke arahnya. Rasanya dunia di sekitarnya mengecil. Ada rasa sesak yang tak tertahankan di dalam dadanya hingga membuat air matanya turun tanpa bisa dicegah. Terlalu banyak hal yang sulit untuk dipercaya terjadi. Hatinya benar-benar tidak tahu ia harus percaya dan berpegangan pada siapa saat ini.

***

Rio mengendari mobilnya dengan perasaan kacau balau. Ia merasa kecewa pada Ify yang masih saja keras kepala. Ia tidak mengerti kenapa Ify masih saja belum bisa memaafkan Dea. Mungkin sebelumnya Ify perlu waktu. Tapi sekarang kan kejadiannya berbeda. Mereka sudah sama-sama tahu kalau Dea tidak bersalah. Jadi, untuk apa lagi menunggu? Apa pembicaraan tadi kurang meyakinkan? Apalagi yang bisa menjelaskan padanya?
“KakYo gak mau puter balik jemput KakFy? Kasian KakFy harus pulang sendiri. Aku tau KakYo kecewa, tapi KakYo gak boleh ninggalin KakFy kayak gini. KakFy juga pasti masih shock makanya dia belum bisa maafin aku.” Ujar Dea lembut.
Rio menoleh sebentar lalu menghela napas. Lihat kan, Dea sudah sebaik ini dan Ify masih belum juga bisa memaafkannya. Ia tidak habis pikir dengan gadis itu.

***

Ify lagi-lagi hanya menemukan dirinya sendiri di parkiran. Mobil Rio sudah tidak ada di tempat. Pemuda itu benar-benar meninggalkannya dan lebih memilih pergi bersama Dea. Ify menghela napas pasrah. Ia tidak tahu harus menyalahkan siapa. Ia harus marah pada dirinya sendiri yang keras kepala atau pada Rio yang meninggalkannya begitu saja.
Tanpa sengaja Ify melihat Angel baru saja berjalan keluar pagar sekolah. Ia tanpa pikir panjang langsung berlari untuk menyusul gadis itu.
“Kak Angel! Tunggu!” Angel berhenti dan menoleh sebentar. Ia hendak melangkah lagi namun Ify lebih dulu sampai di depannya. Melihat gadis itu tersengal-sengal, ia jadi tidak tega.
“Gue..hh..bisa tolong lo jelasin ulang apa yang terjadi?” pinta Ify seraya mengatur napasnya. Angel menatapnya sebentar lalu mendesah. “Sejujurnya gue juga gak ngerti kalian tadi ngomong apa. Jadi gue gak bisa jelasin apa-apa sama lo.”
Ify mengernyit bingung kenapa Angel malah bilang tidak mengerti. Angel kemudian berkata lagi. “Gue harap kalian gak nambah-nambah masalah di hidup gue lagi. Gue capek, Fy.”
Ify kali ini membiarkan Angel berlalu dari hadapannya. Ia tidak tahu harus berkomentar apa. Angel tidak mengerti masalahnya dan ia juga ia tidak mengerti masalah gadis itu. Jadi akan percuma kalau ia terus bertanya padanya. Yang ia yakini sekarang, pasti ada sesuatu yang tidak beres yang saat ini terjadi. Termasuk Angel.

***

“Ada apa kamu tiba-tiba datang menemui saya?” tanya Obiet langsung ketika sudah duduk berhadapan dengan Ify. Ify mengatup bibirnya sambil menautkan jari-jarinya.
“Beberapa waktu lalu, saya gak sengaja lewat di depan rumahnya Kak Angel. Tapi saya gak ketemu sama dia, melainkan Fify, adiknya. Sebenernya udah beberapa kali juga saya ketemu sama mereka berdua. Saya ketemu Fify malam hari, sendirian sambil bawa barang belanjaan. Pas saya samperin, dia malah nyuruh saya pergi. Dia bilang ada monster yang bakal dateng. Tapi dia sama sekali gak keliatan takut. Malah saya yang takut, hehe..”
Ify terkekeh kecil mengingat kejadian waktu itu. Namun, melihat Obiet yang hanya diam melihatnya, ia lekas berhenti dan melanjutkan berbicara. “Lalu tiba-tiba ada bapak-bapak dateng sambil marah-marah malah hampir mukul saya. Untung aja waktu itu ada..”
Ify berhenti berbicara. Lidahnya hampir saja menyebutkan nama Rio. Sebenarnya tidak ada masalah kalau pun ia menyebutnya. Hanya saja saat ini ia sedang tidak ingin mengingat pemuda itu meski sudah terlanjur teringat.
“Ada siapa?” tanya Obiet ketika melihat Ify diam. Ify menggeleng cepat. “Gak ada siapa-siapa, Dok. Saya kira bapak-bapak itu ayahnya Fify atau ayah tirinya Kak Angel. Tapi, itulah yang ngebuat saya khawatir. Sikap bapak-bapak itu kasar banget. Saya takut ada sesuatu yang gak beres di sana.”
Obiet menganggukkan kepala tampak sedang berpikir. Mereka lalu terdiam dan kemudian saling berpandangan. “Apa dokter memikirkan apa yang saya pikirin?” tanya Ify seraya meringis.

***

Ify membuka bungkus es krim terakhir yang belum ia makan dari 5 es krim yang ia beli. Satu-satunya yang bisa mendinginkan kepalanya hanya ini. Setelah selesai berbicara dengan Obiet, ia memilih beristirahat sejenak di kantin rumah sakit. Ia tidak peduli kalau kemarin ia pun baru saja masuk rumah sakit. Ia tidak peduli kalau ia akan terkena flu berat karena memakan es krim sebanyak ini dan harus dirawat lagi. Ia sedang butuh penenang.
Ify memandang ponselnya yang dari sejak ia masih di sekolah sampai sekarang tetap bergeming. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Rio sama sekali tidak menghubunginya. Apa pemuda itu tidak tahu kalau sekarang ia merasa ingin memenggal kepalanya sendiri karena stres? Ia pusing memikirkan orang-orang di sekitarnya. Rio, Dea, Angel, Debo...tunggu dulu. Apa ia harus menghubungi pemuda itu dan meminta penjelasannya? Bagaimanapun, pemuda itu juga terlibat dalam kejadian perpus beberapa waktu lalu. Pasti pemuda itu tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Ify meraih ponselnya namun tiba-tiba ia meletakkannya kembali. Tapi...apa ia sudah siap bertemu dengan Debo? Bagaimana kalau nanti ia kelepasan dan malah menghajarnya habis-habisan? Atau Debo mencuri-curi kesempatan lagi dan berbuat yang tidak-tidak padanya?
“Aiss..” desis Ify seraya geleng-geleng kepala. Ia harus bisa menguatkan dirinya kalau ingin semua masalah ini cepat selesai dan menemui titik terang. Ia mengambil ponselnya kembali dan langsung mendial nomor Debo. Tak butuh waktu lama hingga panggilannya di jawab.
“Apa lo bisa temuin gue sekarang?”

***

“Dia bilang gitu?” ujar Debo sarkastis sambil menaikkan alis. Ify mengangguk pelan sambil menatapnya lekat-lekat. Debo tiba-tiba saja tertawa lalu terakhir ia berdecak sambil geleng-geleng kepala.
“Gak habis pikir gue..” gumamnya. Ify lantas menyahut. “Gak habis pikir apa?”
Debo menatapnya lalu menggelengkan kepala lagi. Gelagatnya seperti sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Ia mengernyit curiga. “Jadi, apa ada yang lo bisa jelasin ke gue soal semua ini? Klarifikasi atau apa kek?”
Debo menegakkan tubuhnya dan memasang tampang serius. “Gue mau minta maaf sebesar-besarnya sama lo. Maaf kalo gue udah ngelanggar omongan gue sendiri. Dan maaf kalo gue udah...”
Ify terkesiap lalu memalingkan wajahnya. Pipinya mendadak terasa panas. “Udah, jangan dilanjutin. Gue gak mau nginget-nginget itu lagi.”
Debo mengangguk paham sambil menghembus napasnya karena tiba-tiba merasa grogi. “Sebelumnya gue mau tanya, apa setelah kejadian perpus, ada kejadian buruk lain yang menimpa lo?”
Ify mengerutkan kening seraya mengingat-ngingat lalu kemudian menggelengkan kepalanya. Debo lantas menghela napas lega. “Gue gak bisa ngomong apa-apa sekarang selain minta maaf sama lo. Tapi kalo saatnya udah pas, gue akan kasih tau semuanya sama lo.”
Ify mendengus kesal. Kenapa Debo harus pakai rahasia-rahasiaan segala? Ia sedang tidak ingin dibuat penasaran. “Apa ada yang lebih gak jelas dari omongan lo barusan?” serahnya.
“Sekali lagi gue cuma bisa bilang maaf sama lo soal kejadian perpus dan karena gue gak bisa ngomong apa-apa sama lo.”
Ify menutup mukanya dengan kedua tangannya frustasi. Sementara Debo hanya meringis memandangnya.
Gue cuma mau tau, seberapa sanggup Rio mempertahankan lo, Fy.

***

Ify berdiri berkacak pinggang menatap gedung tinggi di hadapannya. Gedung apartemen Tristan. Dia adalah orang terakhir yang bisa ia mintai bantuan. Semoga saja orang ini dapat, walau sedikit saja, merapikan barisan pikirannya yang sudah ruwet.
“Lo satu-satunya harapan gue, Kak.” Gumamnya pasrah. Ia merogoh ponselnya di kantong dan langsung menghubungi Tristan. Sama seperti sebelumnya, panggilannya langsung diangkat oleh pemuda itu.
“Kak, ada hal yang pengen gue omongin. Penting. Gue udah di lobby apartemen lo. Jemput gue sekarang juga ya! Please, gak pake lama.”
Klik.
Ify langsung memutus sambungan tanpa menyempatkan Tristan berbicara bahkan sekedar menyapanya. Ia memasukkan ponselnya kembali ke saku roknya dan kemudian berjalan sampai di depan pintu masuk lobby untuk menunggu Tristan menjemputnya.

***

“Lo serius?!” tanya Tristan kaget tak percaya. Ify baru saja menceritakan apa yang sudah terjadi padanya. Semuanya tanpa terkecuali. Soal Rio, soal Dea, soal Debo dan terutama soal Angel. Ia meneguk habis segelas jusnya karena kehausan selepas berbicara panjang lebar.
Tristan mengelus-ngelus dagunya dan mendecak pelan. “Ckck, warga sekolah lo pada horror semua. Di sekolah gue gak ada loh yang kayak gitu.”
Ify menghantam badannya ke sofa dan menutup mata sejenak. “Gue bukan anggota sensus penduduk yang mau ngomongin masalah warga sekolah lo, Kak.”
“Oke, oke.” Ujar Tristan sambil mengangkat kedua tangannya.
Ify menegakkan tubuhnya kembali lalu menatap Tristan lekat-lekat. “Jadi, menurut lo, apa iya Kak Angel pelakunya? Kak Angel yang udah ngerjain gue dan pake nyuruh sambil ngancem Dea segala?”
“Gue kenal Angel itu udah hampir 5 taunan. Kita pertama kali ketemu di tempat les musik waktu kita masih sama-sama smp. Dan sepanjang perjalanan hubungan kami berdua, gue gak pernah ngeliat atau ngerasa gelagat buruk dari dia. Kalo boleh gue bilang, dia itu malah cewek yang baik banget. Dia penyabar, gak pernah marah kalo ada yang jahat sama dia. Dia juga gak pendendam dan gak pernah sirik apalagi mau tau urusan orang. Pikirannya terbuka dan enak diajak ngobrol. Jadi, kalo lo tanya gue, gue pastinya gak percaya.”
Ify diam sembari memikirkan kata-kata Tristan. Meski dari sekian kata yang pemuda itu ucapkan, ada satu yang begitu teringat-ingat di benaknya. “Emang hubungan lo sama Kak Angel apaan?” tanyanya spontan.
Wajah Tristan langsung berubah gugup. Ia menjadi agak gelagapan ditanya seperti itu. “Gak..gak ada apa-apa. Kita..kita cuma temen baik aja.”
Ify lantas menyipitkan mata curiga lalu tersenyum menggoda Tristan. “Tapi lo ngarep lebih, kaaaan?” ledeknya.
Tristan tertawa hambar. Ia berusaha mengelak namun pada akhirnya ia mengakui apa yang dikatakan Ify itu benar. Wajahnya tiba-tiba berubah muram. “Gue cinta banget sama Angel, Fy.” Gumamnya pelan dengan pandangan menerawang.
Ify mengerutkan kening penasaran mengapa ekspresi Tristan mendadak murung begitu. “Trus, dianya gimana? Lo udah pernah nembak dia?”
Tristan menggeleng dan tersenyum miris. “Mungkin lo gak percaya, tapi gue gak pernah berani. Gue selalu speechless tiap gue mau nembak dia. Udah berkali-kali gue coba tapi tetep aja.”
Ify menganga tak percaya lalu kemudian tertawa keras. “Orang ternarsis dari seluruh umat kayak lo gak berani nembak cewek?! Pfft...hahahaha!”
Tristan hanya mencibir pelan dan tidak terlalu menghiraukan ejekannya. Pemuda itu masih larut dalam pikirannya. Melihat itu, Ify lantas diam secara otomatis. Pasti ada sesuatu yang tidak beres sehingga Tristan tumben-tumbennya berwajah sedih seperti itu.
“Di saat gue udah bener-bener yakin buat nembak dia, tiba-tiba...sesuatu terjadi...dan seketika mengubur angan-angan gue untuk merajut kasih dengan dia. Semenjak itu pun dia jadi berubah sikapnya sama orang-orang. Tapi untungnya, sikapnya gak berubah ke gue.”
Kedengarannya memang agak berlebihan. Apalagi Tristan memakai kata-kata ‘merajut kasih’ yang terasa seperti pemuda itu sedang membacakan puisi sastra romantis. Tapi, ekspresi di wajahnya membuatnya terlihat benar-benar serius dan kata-katanya menjadi terdengar sangat menyentuh. Terutama bagi Ify.
Tiba-tiba Ify teringat akan kondisi Angel saat ini. Apa jangan-jangan ‘sesuatu terjadi’ yang dimaksud Tristan adalah soal kehamilan Angel? Apa Tristan ‘ilfeel’ karena Angel hamil di luar nikah?
“Kak, apa lo udah tau soal keadaan Angel sekarang ini?” tanya Ify hati-hati. Bahaya juga kalau ia malah sampai membocorkan rahasia orang. Ia tidak ingin lagi mempercayakan orang lain untuk menjaga rahasia Angel. Cukup Rio, yang malah hampir saja membeberkan semuanya di depan Dea.
Tristan mengangkat wajahnya dan menatap Ify lekat-lekat. “Jangan-jangan lo tau kalo Angel itu...”
Mereka saling berpandangan dan seketika...
“Astaga...” desah mereka berdua. Mereka tak melepas pandangan dari masing-masing dan sama-sama terperangah. Mereka sempat terdiam beberapa saat hingga akhirnya Ify sadar lebih dulu. “Jadi..lo gak suka lagi sama Kak Angel karena dia...hamil?”
Tristan menggeleng lemah. “Dia itu cewek paling sempurna yang pernah gue temuin. Kalo sekarang ada yang nyuruh gue nikahin dia, gak akan gue tolak. Gue cuma gak mau nambah beban dia dengan perasaan gue, Fy. Dia udah cukup menderita dengan keadaannya sekarang. Apalagi ditambah masalah yang lo ceritain tadi. Saat ini, cuma gue sandaran dia satu-satunya. Gue gak mau ngancurin persahabatan kita dan pada akhirnya membuat dia harus berjuang sendiri dengan hidupnya. Gue gak mau, Fy.”
Ify menatap Tristan tanpa berkedip. Ia dibuat terkagum-kagum oleh pemuda itu. Ternyata dibalik sikapnya yang pecicilan, Tristan adalah tipe cowok yang penyayang dan setia. Ia bahkan sampai menitikkan air matanya. “Jadi cowok gue yuk, Kak?” sahutnya asal.
Tristan tertawa kecil. Ify sedikit merasa senang dalam hatinya. Setidaknya ia sudah bisa membangkitkan semangat pemuda itu.
“Lo tau darimana Angel itu hamil, Kak? Trus, apa lo juga tau siapa...ehm ayahnya?”
Air muka Tristan berubah lagi. Kali ini terlihat ada pancaran kemarahan di matanya. “Ayah tirinya.”
Ify lantas terdiam. Ayah tirinya? Laki-laki yang bersikap kasar padanya waktu itu? Si monster itu? Jadi dugaannya dan dokter Obiet benar?

***

Ify kembali ke rumah Rio ketika hari sudah benar-benar gelap. Tepat pukul delapan malam. Ia sempat bertemu dengan Amanda dan Zeth di ruang tengah dan mereka sama-sama menanyakan perihal keterlambatannya. Ia hanya menjawab ia sedang mengerjakan tugas dan diajak makan malam sebelum pulang sehingga ia terlambat sampai di rumah. Untunglah setelah itu Amanda dan Zeth sama-sama tidak bertanya lagi. Meski ia telah sangat-sangat berbohong. Bahkan dari siang ia belum makan. Ia sama sekali tidak berselera melihat makanan. Hanya 5 batang es krim tadi saja yang masuk ke perutnya. Ia hanya rindu pada kasur dan ingin segera merebahkan diri di sana.
Ia masuk ke dalam kamar Rio dan menutup pintunya pelan. Ia menemukan Rio sedang berdiri di depan meja belajar memilah-milah buku. Gerakan pemuda itu sempat berhenti ketika mendengar suara pintu tapi kemudian melanjutkan kegiatannya kembali. Rio benar-benar tidak memedulikan kehadirannya. Jadi sudah pasti sejak tadi siang pemuda itu tidak mencari atau bahkan sekedar mencemaskan keberadaannya. Ingin rasanya Ify membelah hatinya dan membuangnya ke tong sampah supaya ia tidak merasakan sesak yang teramat sangat. Tapi apa daya, Tuhan sudah menganugerahkan hati yang mudah terenyuh, mudah down jika terjadi sesuatu yang tidak diharapkan, padanya.
Ify berhenti berjalan dan hanya diam berdiri memperhatikan apa yang Rio lakukan. Rio sendiri tampaknya masih pura-pura tidak mengacuhkannya. Ia mendesah pelan.
“Gue tau kok muka gue gak seseksi Angelina Jolie atau seanggun Kristen Stewart atau setegas Emma Roberts *iyaguetaukok..(?)*iykwimhaha* atau—”
Brak! Brak!
Rio menyusun kembali buku-buku sambil menghentakkannya keras-keras. Ify berjengit kaget lalu mengelus-ngelus dadanya. Meski begitu, Rio masih saja tidak menoleh ke arahnya.
“Atau secantik Acha.” Sambung Ify. Ia berhasil membuat Rio menoleh padanya walau sesaat. Jadi kesimpulannya, gue harus ganti nama jadi Acha biar dia mau nolehin kepalanya ke gue.
Ify meletakkan tasnya di lantai lalu menyandarkan badannya ke dinding. “Ternyata dia masih punya peran besar buat lo..” gumamnya sangat pelan. Ia tidak lagi menatap Rio.
Rio menenteng bukunya lalu berhenti di hadapannya. Pemuda itu seperti ingin mengatakan sesuatu tapi tidak jadi. “Terserah lo, deh!” katanya jengah dan hendak melangkah pergi.
“Makanya waktu itu gue gak mau lo janji sama gue, Yo.” Rio berhenti mendengar ucapan Ify. Ia untuk pertama kalinya atau mungkin kedua kalinya menoleh pada gadis itu. Gantian sekarang Ify yang tidak menoleh ke arahnya.
“Apa bisa lo sebutin janji yang mana yang masih lo tepatin sekarang?” Ify tersenyum miris. “Gak ada..” sambungnya kemudian.
“Lo terusin aja pikiran buruk tentang gue di kepala lo.” Balas Rio dingin. “Gue kecewa sama lo. Lo menutup hati lo buat Dea bukan karena kesalahan dia lagi, tapi karena lo dendam sama dia. Sampe-sampe ketika dia udah dipihak yang benar pun lo anggep salah.”
“Memangnya gue bilang kalo gue gak bakal bisa maafin Dea? Gue cuma bilang gak tau. Gak tau bukan berarti gue gak mau. Lo cuma menilai dari sisi perasaannya Dea, selalu Dea ke Dea. Lo nganggep gue ini penjahatnya. Sementara korban sebenernya itu gue, Yo. Apa lo gak sadar itu? Lo pun sepertinya menutup hati lo untuk nyari tau apa yang gue rasain.”
Rio hanya diam tidak menjawab. Ify lantas menoleh ke arahnya. “Lo bilang lo ga akan ngebongkar rahasia Kak Angel, kan? Tapi kenapa dengan mudahnya lo beberin semuanya di depan Dea? Kenapa gak sekalian satu sekolah lo kasih tau, huh?! Apa lo gak mikir betapa merasa berdosanya gue? Lagi-lagi lo gak mikirin perasaan gue.”
“Fy, buka mata lo, Fy! Buka! Liat apa yang udah Angel lakuin. Dia udah ngancem dan memperalat Dea buat ganggu lo. Apa gue harus diem aja ngeliat dia bersikap seenaknya kek gitu? Sukur-sukur gak gue langsung beberin.”
“Lo!” Ify menggeram. “Lo tetep gak berhak gunain ‘pengetahuan’ lo soal itu. Lo yang seharusnya buka mata dan pikiran lo. Kenapa lo bisa secepat itu percaya apa aja yang dibilang sama Dea? Apa lo gak mikir Dea selalu gak konsisten sama kata-katanya sendiri? Kemaren dia bilang nerima gue, tapi dia malah ngerjain gue. Kemaren dia bilang dia yang ngerjain gue, tapi besoknya dia bilang dia cuma disuruh. Apa lo gak ngerasa ada yang janggal?”
“Jadi, maksud lo Dea bohong gitu?” tanya Rio sarkastis. “Iya.” Jawab Ify tegas dan menantang. Rio terperangah tak percaya dan hampir tidak bisa berkata apa-apa. “Gue lebih tau siapa Dea daripada lo.”
Ify tersenyum miris. Teganya Rio berkata seperti itu. Dia begitu membela Dea sementara pemuda itu peduli padanya saja tidak. “Gue pun lebih tau siapa Kak Angel daripada lo.”
Mereka kemudian saling diam. Lalu kemudian Ify berbicara kembali. “Kalo pada saat lo ninggalin gue tadi adalah saat terakhir lo bisa ngeliat gue, gimana, Yo? Kalo misalnya gue saat ini gak balik-balik lagi ke sini, apa lo lega? Karena lo udah memilih ninggalin gue lebih dulu jadi lo gak akan ngerasa di tinggalin? Ck..padahal baru aja lo bilang bakal selau jagain gue, bakal mikir dua kali buat ninggalin gue.”
Rio sepertinya mati kutu. Melihat itu Ify hanya menghela napas. Ia lantas berjalan ke dekat lemari pakaian. “Boleh lo keluar? Gue mau ganti baju.” Pintanya sekalian mengalihkan pembicaraan atau mungkin juga mengakhiri pembicaraan di antara mereka. Rio tanpa banyak berkomentar kemudian berbalik badan dan beranjak keluar dari kamarnya.
Ify tanpa sadar menahan napasnya selagi Rio masih ada di dalam kamar hingga akhirnya terdengar suara pintu di tutup dan ia bisa bernapas lega. Rasanya seperti de javu. Perasaan sakit seperti ini, rasanya ia sudah pernah merasakannya sebelumnya. Ck, tidak disangka-sangka ia akan mengalaminya kembali.

***

Haaaaaaaaaaaaaaaaaaaah! Akhirnya bisa posted juga. Tadinya sih mau bikin Rify langsung berantem tapi gajadi. Karena udah musim banget kan wkwk-.- Ini gak nyesek-nyesek amat sih kayaknya. Beloooom wkwkwk....


Terimakasih anime kritik saran dan pujiannya muah muah muah :*

48 komentar:

  1. keren. Lanjut kk!! trakhir aku baca ini part 24. eh pas dibuka , udh lnjut aja, Jan lama" y kk lnjutnya

    BalasHapus
  2. Ya ampun kak:( bikin dagdigdug, setelah baca dr awal sampe skrng dan baru comment disini, aku mau bilang kalau rio itu jahat-_- kasian banget ify. Cmn sebenernya menurut aku ini kayak 4 cerita yg berbeda tp jadi satu, soalnya masing2 pasangan jd punya masalah masing2, dan mereka jarang banget keliatan ngumpul nya. Jd kayak punya kubu2 masing2, dan aku yg lebih suka ke rify jd cmn baca bagian2 yg ada rify nya haha jd gatau couple yg lain kayak gmn.. Tp keseluruhan sih bagus banget, mana setiap part cerita nya panjang2 dan bikin jantungan kayak naik halilintar grgr si dea sokimut-_-

    BalasHapus
  3. pleaselaah gue frustasi my GOD..part selanjutnya mana part selanjutnyaaa >.<
    haaaaaa ga sabaaarrr

    BalasHapus
  4. lanjut dong lanjuttttttt.... jangan lama lama donggggg :D
    ga sabaarrr nunggunya. Rio ngejengkelin sekaaleee...

    BalasHapus
  5. Lanjut kakkkk!!! Penasaran nihhh

    BalasHapus
  6. lanjuuttttt!!!!! like this maximal!!

    BalasHapus
  7. baru aja gue seneng part2 sebelumnya mesra-mesraan eh udah ada cobaan lagi aja yaa RiFy huhu:''') lanjuutt secepatnya ya, bikin mereka akur lagi kek:v

    BalasHapus
  8. Lanjut..... GC... GC... GC... Lanjut kak......

    BalasHapus
  9. Huaaaa...ini kpn dilanjut...lanjut kak secepatnya..udah penasaran bnget nih..

    BalasHapus
  10. keren ni cerita, dari pertama baca dah bikin penasaran ma jalan critanya,pa lagi pas da dea ish.. serasa pingin jambak dia deh...
    tapi yg paling penting cepet lanjut dong kak... jangan lama2 lah dah gk sabar ni tau lanjutannya

    BalasHapus
  11. Kaaaaaaaak please lanjutttttt kereeeeeeeen

    BalasHapus
  12. hai tolong dilanjut dong ceritanya hehe suka bgt nih :)

    BalasHapus
  13. ini kapan lanjut :'(

    BalasHapus
  14. lanjutannya kapaan:(

    BalasHapus
  15. Mana nih lanjutanyaaaa
    Lama banget

    BalasHapus
  16. kakk matchmaking-nya dilanjut dongggg. kasihanilah pembaca yang butuh bacaan ini(?)

    BalasHapus
  17. Kaka , lanjut dong ~
    Kangen RiFy ni ~

    BalasHapus
  18. kak, lanjutin dong,,,
    penasaran banget :)

    BalasHapus
  19. Kak. Kapan di lanjutin:'')😂

    BalasHapus
  20. Kak, cerbungnya keren!!!
    Lanjut donk! Kita udh mati penasaran nih *puppy eyes

    BalasHapus
  21. LOhhhh lanjutannya mana nihh??? ADuhhh jangan buat aku jadi hantu penasaran dong kak :'( .

    BalasHapus
  22. Kakkkkk kapan dilanjuynya nih ?????

    BalasHapus
  23. Kak, kapan lanjutnya nih?? Jamuran nunggunya *ehPeace! Ayo next dongg

    BalasHapus
  24. Kak Next dong. Gak sanggup berpaling dari MM nihh*eh

    BalasHapus
  25. Kak q udah ngecek nih crta dri blan oktber kmrin dan sampai gk di lnjutt.. knpa kak???

    BalasHapus
  26. lanjutin donk kka....
    nyesek bgt ceritax,.. :'(
    aayoo lanjut,,,.

    BalasHapus
  27. Cepet dilanjut kak...... Penasaran bangetd gw tuh dea gk ada kapok-kapoknya,,,, ksian bangetd tuh ify nyesek melulu..."Pulang ajj loe fy k.rumah loe gak perlu tinggal dirumah rio lagi" pcran ajj loe sma tristan fy klo gk sma debo ajj sana ... Daripda sama rio makan hati melulu

    BalasHapus
  28. Kak lanjut sumpah penasaran bgt ama lanjutan nya
    Kasian ama ify nya makan ati mulu

    BalasHapus
  29. kak, gak ada rencana buat lanjut gitu? lanjuuutttt donk.. -__-

    BalasHapus
  30. Lanjjut lagi doonk.... Cerita nya bagus

    BalasHapus
  31. kakk ini kapan dilanjutttttt ?

    BalasHapus
  32. Lanjut dong kak !!!! Penasaran nih !!! Buruan dong kak,please :)

    BalasHapus
  33. Jahat banget kak ngegantungin reader gini :""""
    Lanjut dong kak, setahun lebih nunggu nih

    BalasHapus
  34. Lanjut dong kakkk:(

    BalasHapus
  35. ka nita plis lanutin dong ceritanya
    suka banget sama sifat fy yang sekarang lebih berani dan sejujurnya aku nggak suka sifat rio yang labil. aku mau nanya pacarnya rio siapa sih sebenarnya?. capek ngeliat sifatnya rio yang begitu sumpah. tu maksudnya debo apa yang mau liat sejauh mana rio mempertahanin ify ? jangan - jangan debo orang suruhannya papanya ify yah? wkwkwk
    Ditunggu lanjutannya yah kak :)

    BalasHapus
  36. Kak kpn dilanjut, lanjut donk
    Semangat

    BalasHapus
  37. kak kapan dilanjut:( banyak yang nunggu kak:(

    BalasHapus
  38. kak ini kapan dilanjut:''''''')

    BalasHapus
  39. Penasaran gilak sama MM !
    Lanjutin dong thor ...

    BalasHapus
  40. kok gak dilanjut lagi? lanjutinn please...

    BalasHapus