-->

Minggu, 25 Maret 2012

Matchmaking Part 10

Helloo? Bagaimana kabarnya? Masih ingin membaca cerbung inikah? Haha =D
Ya sudah, langsung saja yaw! Semoga tidak mengecewakan pemirsah!
***
(Irva – No Air -Cover- on)
I’m here alone, didn’t wanna leave
My heart won’t move, it’s incomplete
Wish there was a way that i can make you understand..
Ify meresapi bait lagu yang sedang didengarnya itu baik-baik, dalam-dalam hingga hal lain satupun tak ada yang bisa menggeser kalimat-kalimat itu dari pikirannya. Ia duduk seraya menekuk lutut di atas tempat tidur. Matanya terbuka tapi tak ada yang dilihatnya. Pandangannya benar-benar kosong. Mata seolah difungsikan untuk ikut mendengarkan lagu yang diputar, merasakan apa yang terpendam jauh di dalam hatinya. Mata itu juga menjadi proyeksi akan kejadian-kejadian yang baru ia alami hari ini.
Sudah malam. Ify masih enggan untuk beranjak dari kamar bahkan bergerak mengubah posisi tubuh. Ia tidak berselera untuk makan, tanpa peduli dengan keriuhan yang terjadi di dalam perutnya. Gue gak laper! Batinnya menguatkan diri. Penggalan-penggalan lagu tadi masih saja berputar-putar di kepala, bahkan tak perlu lagi melihat teks. Lagu itu sudah dihafalnya dalam waktu sekejab. Jelas, sudah lebih dari 10 kali lagu itu mendengungkan diri di telinga Ify. Sedikitpun tak ada rasa bosan baginya akan lagu itu. Hmm, mungkin karena suasana hati yang sangat mendukung.
Ferdi yang baru saja pulang kebingungan karena panggilannya tak mendapat sahutan dari Ify. Ia lalu bergerak menuju kamar anaknya itu. Pelan-pelan ia membuka pintu takut-takut kalau Ify sudah tidur. Ia lalu mendapati anak gadisnya sedang duduk termenung di atas tempat tidur. Dari sorot matanya, ia tahu ada sesuatu yang mengusik ‘kebaikan’ gadis itu. Cukup lama ia melihat Ify, namun keadaannya masih sama. Tak berubah sedikitpun. Masih diam, matanya nanar dan tangannya memeluk lutut yang sengaja ditekuk. Ia hanya bisa menghela nafas dan yang pasti ikut merasakan ketidakbaikan yang diidap Ify. Ia kemudian menutup pintu kamar anaknya kembali. Ia membiarkan gadis itu mencoba mencapai ketenangan sendiri tanpa harus ia yang membantunya.
***
Shilla masih terlelap, meski waktu sudah beranjak dari siang menuju malam. Bahkan sudah jam 10 malam. Sang Mama dengan terpaksa membangunkan gadis ini. Mana mungkin ia membiarkan anaknya tidak makan. Ia menggoyang-goyangkan tubuh Shilla agar raga itu membangun rohnya kembali. “Shillaa..Shillaa..” Panggil Wiwid, Mama Shilla. Shilla masih belum menampakkan pupil matanya. Wiwid berusaha lebih keras membangunkan anaknya itu. Beruntung, usahanya yang kedua kali berhasil membangkitkan kesadaran Shilla. Sebagai bukti, Shilla sekarang sudah mulai membuka mata dan mencoba membuatnya berfungsi dengan normal.
Shilla terburu-buru bangkit hingga menyebabkan keburaman melanda matanya. Ia lalu merasa pusing di bagian kepala. “Pusing? Tuh kan, sana makan dulu! Abis itu jangan lupa Shalat Isha!” Ujar Wiwid. Ia mengacak-ngacak rambut anaknya seraya geleng-geleng kepala tersenyum. Ia keluar duluan dan memberikan waktu sedikit untuk Shilla berdiam di kamar. Jam berapa nih? Tanya Shilla dalam hati. Ia merogoh ponselnya segera. Ia melihat layar benda itu dan seketika mengaduh. “Astaga, lupa gue idupin!” Kata Shilla. Ia melirik jam dinding dan mendapati jarum pendek benda itu menunjuk ke angka 10.
Shilla agak kaget mengetahuinya. Jika dihitung-hitung, ia tadi tidur sekitar jam setengah 3 siang, maka dapat disimpulkan ia sudah tidur kurang lebih tujuh setengah jam. Cukup lama, bukan? Dengan segera Shilla mengembalikan nyawa BB-nya. Belum 5 detik, benda itu tiba-tiba mengalami getaran hebat. Dalam arti, getaran yang berulang-ulang tanpa henti. Berpuluh-puluh sms masuk ke dalam sana. Entah siapa orang yang rajin melakukannya pada benda itu, ia juga tidak tahu.
Bagaimana bisa ia memeriksa satu-persatu jika BB-nya tak berhenti menambahkan angka dari 1 pesan masuk, 21, 56 dan hingga ke angka hampir mencapai 100, benda itu belum juga diam. Shilla garuk-garuk kepala bingung. Ia langsung menghempas BB-nya ke kasur dan membiarkan benda itu bergetar sepuasnya. Yang jelas, ia mau makan. Kepalanya sudah tidak bisa bernegosiasi apalagi perutnya. Bagian itu sudah menggelar konser daritadi. Ia berlari keluar kamar dan melupakan sejenak tentang masalah BB-nya.
Beberapa menit kemudian, Shilla sudah tenang. Konser dalam perutnya sudah dibubarkan. Tak ada lagi pusing yang mendera. Keadaannya sudah benar-benar nyaman. Shilla masuk ke kamar dan duduk kembali di atas tempat tidur. Ia melirik ke BB-nya. Benda itu dalam keadaan redup dan tidak lagi memunculkan getaran. Ia meraihnya segera. Baru saja sinar di ponsel itu menyala, Shilla langsung dibuat kaget dengan apa yang termuat di layarnya. “WHAT?! 539 SMS?!” Histeris Shilla. Mulutnya dengan mudah membuka lebar. Ia menggeleng tak percaya melihat angka-angka itu. Bahkan bukan 100 lagi, melebihi 500! Bayangkan, 500! Hanya dalam beberapa menit.
Ia membuka pesan-pesan tersebut. Dan kagetnya lagi, semua itu ialah ulah seseorang yang tadi siang sempat membuat mood-nya merosot drastis. Sekaligus penyebab ia tidur selama ini. Alvin. Ya, pelakunya Alvin. Isi sms-sms itu pun tak jauh beda satu sama lain. ‘Oh myshillaaa, aktif dooong!’, ‘Sayangkuu, marah ya? Maaf!!’ atau ‘Shillakuu, jangan marah dong? Ya ya ya??’. Dari sekian banyak sms yang pemuda itu kirim, hanya satu yang menarik perhatian Shilla. Bukan sekedar menarik, Shilla bahkan tak berhenti melihat apa yang dikatakan Alvin dalam sms itu. Ia benar-benar kesal. “Cantiiik?? Huh, masih berani lo nyebut itu ke gue?!” Gerutu Shilla.
Tak ada niatan untuk membalas semua sms-sms dari Alvin. Biarkan saja, sekali-kali memang harus diberi pelajaran. Pikir Shilla. Ia malas melihat BB-nya lagi. Ia kembali membiarkan benda itu anggun di samping tempat tidur. Ia kemudian melihat daftar pelajarannya besok. Berhubung dirinya sudah tidak mengantuk, maka apa salahnya waktu ia pergunakan untuk belajar. Mumpung mood-nya sedang giat-giatnya membangun. Dua jam berikutnya ia habiskan dan ia benar-benar belajar. Ia lalu tidur kembali setelah sebelumnya melaksanakan shalat isha seperti yang dipesan Wiwid, mengingat sekarang sudah pukul setengah satu, lewat tengah malam.
***
 Semalaman Ify tidak tidur. Bagian bawah matanya terlihat menghitam. Meski tidak terlalu jelas. Berkali-kali ia menguap. Sebenarnya ia sudah berusaha untuk tidur, matanya sudah memejam. Tapi tetap saja, otaknya tidak mengirimkan perintah agar ia segera tidur. Alhasil, rasa kantuk itu terasa sekali sekarang. Dengan susah payah ia mandi, berpakaian hingga berjalan keluar kamar. Untung ia hanya harus menuruni tangga. Akan lebih parah jika ia diharuskan untuk menaiki anaknya satu-persatu, bukan? Ia berjalan menunduk dengan mata yang sebentar-sebentar terbuka, sebentar-sebentar tertutup.
Pada anak tangga terakhir, ia berusaha keras untuk menegakkan kepala. Tepat pada saat itu, ia melihat seorang pemuda masuk dan kaget melihatnya. Begitu pula Ify. Mereka satu sama lain hanya saling memandang seraya diam di tempat. Ify mengedip-ngedipkan mata beberapa kali dan menggeleng pelan. Rio? Masih aja tuh orang muncul di fikiran gue, ckck.. Batinnya mengira. Ia tak memperdulikan sosok pemuda itu, yang ternyata Rio. Ia tidak benar-benar mempercayai apa yang ia lihat. Yang ia rasakan sekarang, ia seperti berada di antara 2 alam, alam nyata dan alam mimpi saat tidur. Ia melangkah lamban menuju meja makan dan duduk di kursi asal-asalan. Bukannya sarapan, kepalanya ia jatuhkan ke atas meja dan tertidur. Ia sangat mengantuk.
“Ify!” Seseorang tiba-tiba memanggil sekaligus mengagetkannya. Ify refleks mengangkat kepalanya lagi dan mencoba membuka mata. Ia menyipit memandang orang di sebelahnya. “Eh Papa, hehe..” Cengirnya. Ferdi hanya geleng-geleng kepala melihat anaknya itu. “Duduk disini buat makan bukan buat tidur.” Ujar Ferdi. Ify hanya tersenyum menanggapi itu. “Kamu udah sarapan?” Tanya Ferdi lembut. “Papa sendiri?” Tanya Ify balik. Kesadarannya sudah lumayan dari yang tadi. Ferdi seketika gugup saat ditanya seperti itu. “Hah? Papa..ee Papa sarapan di kantor. Gak sempet kalo sekarang.” Jawab Ferdi gelagapan.
“Ya udah, ayo kita berangkat!” Ajak Ify. Ia sudah berdiri dan hendak berjalan duluan. Ferdi menahannya sebentar. “Eeh, kamu berangkat sama Rio ya, bukan sama Papa!” Kata Ferdi. Ify mengernyit bingung. “Iss..Ify maunya sama Papa!” Pinta Ify manja. Ferdi menggeleng lalu menjawab. “Rio udah nunggu!” Tegasnya. Ify menghentakkan kaki kesal. Ferdi lalu memapahnya ke luar rumah. Rio, yang memang benar-benar ada di rumah itu mengikuti mereka. Ia bergerak menuju mobil dan membuka pintunya yang terkunci. Ferdi membuat Ify masuk ke mobil Rio dan mendudukkannya di dalam bagian depan. Setelah itu, ia mengajak Rio mengobrol sebentar.
“Jangan nguping!” Perintah Ferdi pada Ify. “Kok Ify gak boleh tahu? Gak, Ify gak mau!” Tolak Ify. Ia hendak membuka pintu mobil tetapi ditahan Ferdi. Mau tidak mau, Ify harus mengikuti apa yang Papanya katakan. Rio kemudian menghampiri Ferdi. “Emm..ada apa ya, Om?” Tanya Rio sopan. Ferdi tersenyum menatap pemuda di hadapannya. “Jaga Ify, ya?” Pinta Ferdi lembut. Rio dibuat bingung akan kata-katanya barusan. Ferdi lantas terkekeh melihat reaksi Rio itu. “Om tahu kamu gak suka sama Ify..” Ujarnya. Ia tak lagi menatap Rio, melainkan ke arah lain. Rio tersentak mendengar itu. Ia diam, tak tahu harus berkomentar apa. “Om..sedang tidak baik. Om cuma mau minta tolong..” Lanjut Ferdi.
Ia kembali melihat ke arah Rio dan tersenyum. Rio masih menunggu apa yang akan dikatakan Ferdi selanjutnya. “Om..nitip Ify ya? Cuma sebentar...Kamu, bisa bantu Om?” Pinta Ferdi lagi. Ia menatap Rio penuh harap. Sementara Rio, tak tahu kenapa, yang jelas hatinya tidak memunculkan penolakan. Ia juga sedikit merasa bersalah pada keluarga ini. Baiklah, ia akan mencoba memenuhi permintaan Ferdi. Lagipula kan Ferdi mengatakan hanya sebentar. Begitulah menurutnya. “Bisa, Om.” Kata Rio menyanggupi. Ferdi tersenyum senang mendengar itu. Ia merasakan sedikit kelegaan dalam hatinya. Ia lalu menyuruh Rio segera berangkat. Rio pamit dan masuk ke dalam mobil. Ia lalu melajukan benda itu segera.
Di dalam, Ify tak dapat menahan rasa kantuk sama sekali. Kepalanya beberapa kali terbentur akibat tidur ayamnya. Rio sempat terkekeh pelan melihat itu. Ify menyandarkan tubuhnya di kursi. Rio berhenti melajukan mobil dan menepikannya di pinggir jalan. Ify masih belum sadar akan hal itu. “Lo gak tidur semaleman?” Tanya Rio datar sambil memandang ke arah gadis di sebelahnya. Ify yang masih sedikit sadar hanya berdehem menjawab itu. Ia tidak terlalu peduli dimana dan dengan siapa dirinya sekarang. Ia mengantuk! Mau itu Rio kek, atau siapalah, tidak penting.
Rio memandang Ify lama. Sedetik kemudian, Rio merendahkan sandaran gadis itu, membuatnya sedikit lebih nyaman. Ify sendiri kaget karena badan kursinya merendah tiba-tiba. Matanya seketika terbuka. Ia menoleh ke kanan kiri linglung. Rio langsung mendorong tubuh Ify agar merebah kembali. “Tidur!” Suruhnya. Ify menatap Rio aneh. “Kok berhenti? Kalo kita telat gimana?” Tanya Ify. Masih dengan posisi Rio memegang bahu Ify. Ify kemudian melirik tangan pemuda itu. Rio dengan segera melepas genggamannya dan duduk normal kembali. “Lo lupa? Hari ini guru rapat, kita masuk jam 9.” Jelas Rio. Ify hanya membulatkan mulutnya mendengar itu. Berhubung Ify ngantuk berat, ia pun menurut. Ia lalu menutup mata dan dalam sekejab tertidur.
Rio terus menatap Ify selama gadis itu tidur. Ify terlihat sangat manis sekarang, di mata Rio. Rio entah kenapa tak bisa membantah hal itu. Tangan kirinya pelan-pelan bergerak menyentuh wajah Ify. Ia memegang sebelah pipi gadis itu dan mengusapnya pelan. Jantungnya berdesir saat awal pertama ia menyentuhnya. Hmm, sepertinya ia sudah bisa menetapkan satu kesimpulan mengenai ketidaknyamanan hatinya selama ini, selama bersama gadis ini. Okey...gue suka sama lo. Batin Rio mengaku. Ya, Rio tidak bisa mengelak lagi. Ia kini mulai menyukai Ify. Yah, untuk saat ini, mungkin hanya sebatas itu. Ify, gadis ini telah berhasil membuka lapisan paling pertama dalam hati Rio yang semula merekat erat dan sulit dilepaskan satu dengan yang lain. Selamat!
***
Shilla berhasil bangun pagi hari ini tanpa bantuan Mamanya. Oh mungkin lebih tepat, ia berhasil dibangunkan oleh orang lain, bahkan benda lain. Ia dibangunkan oleh suara deringan BB-nya yang berbunyi tanpa meminta persetujuan. Meski sudah sedikit sadar, mata Shilla masih saja terpejam. Ia meraba-raba sebelah kanannya hendak membungkan speaker BB itu. Ia mengangkat sembarangan panggilan masuk dalam BB-nya. “Halo?” Sapanya malas-malasan. Ia masih belum mengetahui siapakah yang meneleponnya sepagi ini, pada jam setengah 5 subuh. “Cantiiik! Akhirnya lo aktif jugaa!!” Heboh di seberang sana.
Mata Shilla berhasil menguak sedikit celah akibat seruan itu. Ia lantas menjauhkan BB-nya dari telinga seraya melihat ke layar benda itu, melihat siapa sebenarnya orang itu. Saat itu pula matanya dapat membuka sempurna. Alisnya naik sebelah dan sesaat kemudian ia melengos kesal. Alvin? Arrghh! Ini masih setengah 5. SUBUH! Punya otak gak sih tuh orang?!! Gerutu Shilla dalam hati. Ia lantas memutus panggilan. Tidak peduli sesusah apa Alvin hingga bisa meneleponnya tadi. Bahkan ia sudah membuat BB Shilla hampir saja rusak dalam semalam akibat terlalu banyak menampung pesan-pesan dari Alvin yang datang sekaligus.
Shilla menaruh BB nya lagi di kasur. Ia ingin kembali tidur. Setidaknya ia bisa tidur untuk setengah jam lagi. Namun, bukan Alvin namanya kalau langsung menyerah begitu saja. Pemuda itu kembali menelepon Shilla, membuat Shilla harus kembali dilanda kebisingan. Ia mengerang dan menggaruk-garuk kepalanya kesal. Ia bangun dan duduk seraya mengambil BB nya lagi. Layar itu masih memunculkan nama yang sama. Ia lalu menekan yes menjawab panggilan itu kembali. “Gue mau tidur!!” Pekik Shilla dan memutus panggilan dari Alvin untuk yang kedua kalinya. Ia menghempas lagi benda itu di kasur dan kembali berbaring.
***
 Alvin hanya bisa pasrah seraya memandangi layar ponselnya. Ia tak tahu lagi apa yang harus ia lakukan agar Shilla mau merespon dirinya kembali. Dia bener-bener marah. Batin Alvin miris. Tangannya sudah teramat pegal untuk dibuat menari-nari lagi di atas keypad BB-nya. Ia menghembuskan nafas berat dan menaruh benda itu di sebelah. Namun, belum lama, BB Alvin berdering. Dengan cepat ia mengambil kembali BB-nya dan memeriksa siapakah gerangan si penelepon. Ia memiliki harapan besar bahwa itu adalah Shilla. Dan..seketika dengan cepat pula kehangusan melanda harapan tersebut. Yap, bukan Shilla. Tapi malah..Febby?
Astaga, nih orang masih punya nyali nelpon gue?! Geramnya membatin. Meski begitu, ia tetap menjawab panggilan itu. Yah, kasihan juga kalau diabaikan. “ALVIIIN!!” Suara teriakan gadis itu menggelegar dari dalam BB-nya. Ia langsung menjauhkan benda itu dari telinga. Ia geleng-geleng kepala sendiri karena tingkah Febby. “Gue mau tidur!!” Ujar Alvin, sama seperti yang Shilla katakan padanya. Ia juga memutus panggilan dari Febby dan menaruh BB nya asal. 5 menit berselang, benda itu kembali mengeluarkan suara. Alvin mengeceknya kembali dan pelakunya masih sama. Ia me-reject panggilan itu langsung dan mencoba kembali tidur.
Namun, sepertinya ia tidak bisa tidur tenang selama 20 menit terakhir. Setiap 5 bahkan mungkin 3 menit sekali, Febby mengulang panggilannya. Ia mana bisa tenang jika seperti ini terus. Panggilan terakhir Febby hanya terdengar sebentar. Setelah itu, BB Alvin tak berbunyi lagi. Benar-benar, benda itu tenang dalam posisinya. Alvin pun sedikit bernafas lega. Ia mencoba menutup mata sejenak sekaligus mengatur ritme nafasnya yang sempat tak beraturan. Namun, lagi-lagi ia tidak dibiarkan berlama-lama dalam ketenangan. Karena beberapa menit kemudian, BB Alvin kembali ditamui oleh nomor seseorang yang ia tebak masih oleh orang yang sama. Alvin, tanpa memeriksa lagi, menjawab panggilan yang entah sudah ke berapa kali.
 “Arrghh, lo bisa gak sih sehari aja gak ganggu gue?! Jangan hubungi gue dan jangan ganggu gue lagi!!” Bentak Alvin pada si penelepon. Ia belum mendengar sahutan dari orang itu. Sedetik kemudian orang tersebut bersuara. “Oh..okey..” Kata orang itu lirih. Nada suaranya terdengar seperti kaget, sedih, kecewa, saling bercampur menjadi satu. Dan..itu bukanlah suara Febby! Itu suara..itu suara.. “SHILLA?!” Kaget Alvin. Ia lalu memeriksa apa yang muncul di layar dan benar saja, ada nama Shilla terpampang disana. “Shill..Shilla?” Ujar Alvin kemudian tak menyangka. “Gue gak akan ganggu lo...lagi..” Lirih Shilla, orang tersebut diakhir pembicaraannya karena setelah mengatakan itu ia langsung memutus panggilan. Alvin tak bisa berhenti merutuki dirinya sendiri akan kecerobohannya barusan. Ya, ia kembali melakukan kesalahan, besar.
***
Shilla menaruh ponselnya tanpa tenaga. Tangannya terjatuh begitu saja ke kasur. Ia hanya menatap miris BB-nya. Vin, itu beneran untuk gue? Tanya Shilla dalam hati. Ia masih setengah percaya akan apa yang barusan Alvin lakukan padanya. Alvin..Alvin membentaknya. Ditambah lagi, Alvin menyuruhnya untuk tidak mengganggu pemuda itu lagi. Apa maksudnya? Apa maksud pemuda itu mengatakan itu? Jadi, 500 lebih pesan-pesan dari Alvin yang masuk ke ponsel Shilla sama sekali tak ada arti baginya?
Hati Shilla awalnya sudah terlanjur tersanjung akan usaha Alvin yang semula ia kira sebagai permintaan maaf. Dan sekarang, pemuda itu dapat dengan mudah membuatnya terjungkang kembali. Shilla menghela nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Ia lalu menggeleng pelan, mencoba mendinginkan hati dan kepala sejenak. Oh my Allah, masa pagi-pagi udah galau sih? Batin Shilla. Tak berapa lama, Alvin meneleponnya balik. Shilla hanya melirik layar BB-nya sebentar. Ia lantas menaruh BB itu di kasur membiarkan benda itu berdering lama. Sementara ia sendiri beranjak menuju kamar mandi. Baiklah, lupakan soal Alvin untuk hari ini. Pikirnya.
***
“Telpon dia lagi!” Perintah seorang gadis pada gadis lain di hadapannya. Gadis di hadapannya mendengus. “Oh Oik-ku sayang, lo bisa liat sendiri kan dia gak mau ngangkat?” Kata gadis itu kesal pada gadis yang ia sebut Oik. Oik, si gadis pertama, melipat kedua tangannya di depan dada. “Gue bilang telpon dia!” Oik tetap bersikukuh menyuruh gadis tadi menghubungi orang yang mereka maksud. Gadis di hadapannya kembali mendengus. “Lo bisa sopan dikit gak sih? Gue ini kakak lo!” Ujar gadis itu.
Oik memutar kedua bola matanya malas. “What ever!” Tolak Oik. Ia kemudian menatap gadis tadi yang juga merupakan kakaknya, kembali. Sang kakak balas menatapnya dingin. “Gue capek! Gue capek lo peralat terus-menerus!” Keluhnya. Ia berdiri menyamakan posisi dengan Oik. Oik kini tersenyum licik ke arahnya. “Febby Rastanty, lo gak bakal bisa lepas dari gue!” Ujarnya seraya memegang sebelah pipi Febby, kakaknya. Febby menepis tangan Oik kasar. “Siapa bilang?” Tantang Febby. Ia balas tersenyum ke arah Oik.
PLAK!
Sebelah pipi Febby itu kini memerah. Oik tiba-tiba menamparnya keras. Jejak-jejak jari Oik pun terlihat sedikit membekas disana. “Berani lo sama gue?!” Bentak Oik. Febby menoleh seraya memegangi pipinya. “Hh, sejak kapan gue takut?” Sungut Febby. Tangan Oik sudah bergerak hendak menamparnya sekali lagi. Kali ini Febby tidak membiarkan pipinya menjadi sandaran empuk bagi tangan Oik. Ia pun berhasil membuat tangan itu berhenti di tengah jalan. “Lo yang seharusnya takut sama gue.” Kata Febby datar. Ia mendorong tubuh Oik hingga terjatuh dan terbaring di atas tempat tidur. “PA..” Baru saja Oik buka suara, Febby langsung memotong tanpa permisi.
“Dasar pengadu! Silahkan lo lapor Papa. Gue udah gak takut. Gue siap mati kapanpun!”  Potongnya. Mereka saling diam untuk beberapa saat. Lalu kemudian, Oik tiba-tiba tertawa membuat Febby seketika mengangkat alis bingung. “Haha, lo pikir semudah itu? Dasar kakakku bodoh!” Kata Oik dan berusaha bangun dari tempat tidur. Tangan Febby sudah mengepal. Ingin rasanya ia membungkam mulut gadis di hadapannya ini. Beruntung ia masih dapat mengendalikan diri. “Ah! Gue punya kejutan buat lo!” Seru Oik. Febby masih diam menunggu apa yang akan dilakukan gadis itu.
Oik disibukkan dengan ponselnya sebentar. “Lo pasti seneng liat video ini!” Ujarnya seraya tersenyum licik. Ia kemudian memperlihatkan layar benda itu ke Febby. Seketika mata Febby melotot. Tangannya menghalau mulutnya yang kini sedikit terbuka. Oik lagi-lagi tersenyum melihat reaksi Febby. “Lo..” Kata Febby tertahan. Oik menarik ponselnya kembali dan pura-pura memainkan benda itu. “Gimana ya kalo video ini gue sebar? Hmm, biar gue tebak. Jabatan sebagai ketua Osis bakal dicabut. Oh ya gue lupa, Goldi anak beasiswa kan? Wah itu kayaknya bakal dicabut juga deh, haha..” Ujar Oik menakut-nakuti.
PLAK!
Kali ini Febby yang menampar Oik. Tak kalah keras dari yang Oik lakukan sebelumnya. Matanya memerah dan menatap tajam Oik. “Jangan ganggu Goldi!” Sentaknya. Oik menanggapi itu santai. Ia malah lebih leluasa memamerkan senyum di depan kakaknya. “Uu, you’re so sweet! Pacar yang baik!” Kata Oik mengejek. Febby semakin mengeratkan kepalan tangannya. “Oik!” Sentak Febby lagi. Oik langsung diam dan berjalan keluar dari kamar Febby. Sampai di pintu, Oik berbalik badan dan memanggil kakaknya kembali. “Hei, gimana rasanya ciuman sama Goldi? Sepertinya lo menikmatinya banget ya? 4 menit loh durasinya! Itupun gue telat datang dan gue juga terburu-buru ngerekamnya. Hmm, coba aja gue disana lebih lama. Pasti lo sama Goldi udah..”
“OIK!!”
***
Via memandang sekilas penampilannya di cermin. Entah kenapa ia ingin berdandan hari ini. Emm, bukan berdandan dengan bedak dan riasan seperti itu. Ia hanya ingin dirinya setidaknya berpenampilan baik hari ini, lebih rapi dari sebelumnya. Okey! Batinnya menilai. Ia keluar kamar dengan seragam batik sekolah. Baru satu anak tangga yang ia turuni, kakinya seketika tersendat melihat siapa yang sudah berada di ruang tamu. Seorang pemuda yang jika ia ingat, merupakan orang yang membuatnya harus terbaring di tempat tidur 2 hari lalu. Itu..Iel? Batin Via tak percaya.
Ia lalu kembali bergerak turun hingga benar-benar berada di lantai paling bawah rumahnya. Ia memberanikan diri menghampiri Iel meski diiringi dengan konser rock dalam jantung. “Iel? Lo..lo ngapain disini?” Tanya Via langsung. Iel tersenyum seraya menggaruk-garuk tengkuknya. “Gue..gue mau ngantar lo ke sekolah lah hehe..” Jawab Iel. Via kaget mendengar itu. Ada angin apa sehingga pemuda ini mau repot-repot datang untuk mengantarnya pagi ini? Hal itu menjadi topik pemikiran dalam otak Via sekarang.
Iel kemudian melihat seragam yang di pakai Via. Seragam yang berbeda dengan yang ia pakai saat ini. Ia memakai seragam pramuka sementara Via memakai baju batik. “Mm..Vi, lo gak salah kostum?” Tanya Iel kemudian. Via melihat ke arah seragamnya dan baru sadar apa yang ia pakai berbeda dengan Iel. “Hah? Bukannya ini hari kamis ya?” Ujar Via seraya garuk-garuk kepala bingung. Mukanya terlihat lucu saat ini. Membuat kekehan Iel keluar tanpa sadar. “Ini hari sabtu, Viaa!” Katanya seraya berdiri dan mencubit pipi Via yang sedikit berisi.
Mata Via membulat besar. Ia dengan segera menepis tangan Iel dari wajahnya. Pipinya pasti sudah memerah alias bersemu. Ia sedikit salting. “Masa sih?” Tanya Via lagi mencoba bersikap sebiasa mungkin. “Yaiyalah, nih gue pake baju pramuka!” Jawab Iel yang masih terkekeh melihat Via. Via memanyunkan bibirnya mendengar itu. “Rrr..terpaksa ganti deh!” Rutu Via. Ia berbalik badan dan kembali menaiki tangga menuju kamar. Saat itu pula, Fira keluar kamar dan langsung bingung melihat anaknya menaiki tangga. Bukankah seharusnya gadis itu bergerak menurun? Pikir Fira.
“Eh Via kenapa naik lagi, Yel?” Tanya Fira yang kemarin sudah sempat berkenalan dengan Iel. “Oh dia salah pakai seragam, Tante.” Jawab Iel sopan. Fira lantas geleng-geleng kepala melihat anaknya itu. Ia menoleh kembali ke arah Iel dan tersenyum. “Kamu udah sarapan? Ayo kita sarapan sama-sama!” Ajak Fira ramah. Iel mengangguk saja dan mengikuti kemana Fira melangkah. Tak menunggu waktu lama,Via turun kembali dan menghampiri Fira dan Iel yang sudah berada di meja makan. Ia menduduki kursi yang ada di depan Iel dan mengambil roti yang baru saja diberi selai oleh Mamanya. Sekali lagi, Fira hanya geleng-geleng kepala melihat itu dan tersenyum.
“Kalian berdua..pacaran?” Tanya Fira tiba-tiba. Pluk! Roti yang baru segigit di mulut Via terdorong begitu saja keluar. Iel pun tak jauh beda. Ia tersedak mendengar pertanyaan Mama Via tadi. Mata mereka saling bertemu tanpa sengaja. Sekarang malah Via yang tersedak. Fira bingung dan langsung memberikan segelas air untuknya. Via meminum itu tak sabaran dan dalam sekejab volumenya berkurang menjadi setengah. “Kalian kenapa?” Bingung Fira. Tangannya masih bergerak-gerak menyelai roti. “Mama yang kenapa? Ngapain nanya kayak gitu? Via sama Iel itu temenan, temen sekelas.” Dumel Via. Ia kembali memakan roti ditangannya.
Iel hanya ikut mengangguk mengiyakan perkataan Via. Fira tersenyum geli mendapati reaksi Via yang seperti itu. “Yah kan siapa tahu aja..” Goda Fira. Baik Via maupun Iel tidak berniat menanggapinya lagi. Mereka saling diam. Via berusaha keras agar matanya tak lagi menangkap sosok pemuda di hadapannya. Sementara Iel, matanya beberapa kali melirik ke arah Via. Seulas senyum tipis kemudian tertata di wajahnya. Gadis berambut pendek ini yang menjadi penyebab semua itu. Ia menggeleng pelan dan tetap saja tersenyum. Ia lalu memakan roti yang diberikan Fira.
***
Agni mendrible bola seraya mengedarkan pandangan ke sekitar. Melihat siapa anggota timnya yang bebas dari penjagaan lawan. “IFY SHOOTING!!” Pekik Agni kemudian. Ia melambungkan bola basket ke arah Ify yang terlihat paling ‘tenang’. Ify, dengan rasa kantuk yang masih saja mendera, kaget mendengar namanya dipanggil. Ia menoleh dan mendapati sebuah bola sedang bergerak menuju ke arahnya. Meski tidak siap, ia masih bisa menangkap bola itu dan memantul-mantulkannya ke lantai. Ia garuk-garuk kepala sendiri, bingung apa yang harus ia lakukan.
Agni melengos dan kembali berteriak. “SHOOTING!!” Pekiknya lagi. Ify yang mendengar itu kemudian langsung melemparnya ke arah ring. Ajaib! Masuk! Threepoint! Ketiga temannya melongo melihat itu termasuk dirinya sendiri. Selama ini, jika mereka bermain, Ify selalu gagal melakukan tembakan. Dan tiba-tiba kali ini ia berhasil. Tak ayal, ia langsung berjingkrak kegirangan. “WOAAH MASUK!!” Hebohnya. Ia melompat-lompat seraya bertepuk tangan tak jelas. Agni, Shilla dan Via cuma bisa geleng-geleng kepala.
Ify terus melompat hingga tak sengaja kakinya jatuh pada posisi yang salah. Ia terduduk akibat itu dan merasakan nyeri pada pergelangan kaki kirinya. “AWW!” Erang Ify seraya memegangi pergelangan kakinya itu. Agni, Shilla serta Via serentak menoleh kembali dan mendapati salah satu teman mereka itu terduduk dan meringis kesakitan. “Fy, lo kenapa?” Panik Via sesaat setelah sampai di hadapan Ify. Ify menoleh. “Hehe, keseleo kayaknya..” Cengir Ify. Agni dan Shilla mendesah malas. “Ahelah, bisa jalan gak?” Tanya Agni. Ify mengedikkan bahu seraya berusaha berdiri.
Ify merasakan nyeri di pergelangan kakinya kembali. Padahal ia hanya menapakinya ke lantai, belum dibawa berjalan. “Aw!” Rintihnya. Melihat itu, Agni lantas menyuruh Via memapah Ify ke kantin. Kebetulan pelajaran olahraga saat itu sudah selesai jadi mereka boleh beristirahat. Ify didudukkan di kursi panjang yang terdapat disana. Agni dan Shilla mengambil tempat duduk bersebelahan, di depan Ify dan Via. Via kemudian berdiri dan pergi memesan minuman. Tinggalah Agni, Shilla dan Ify yang saling diam di kursi itu.
Tak ada yang mau memulai topik perbincangan. Masing-masing malas untuk buka suara. Ify sibuk mengurusi kakinya, Shilla menatap layar ponsel tanpa tahu apa yang ingin ia lihat dari sana sementara Agni, ia masih setia memikirkan perkataan Cakka kemarin. Kata-kata yang dalam sekejab menggoyahkan dugaannya mengenai sosok lain dalam diri Cakka. “ASTAGA!” Ujar Ify tiba-tiba sekaligus mengagetkan Shilla dan Agni. Mereka serentak mengelus dada seraya menghela nafas singkat. “Lo tuh ya kalo ngomong kasih kode kek!” Rutu Shilla diikuti dengan tatapan persetujuan Agni. “Hehe, maap-maap gak sengaja..” Cengir Ify.
“Ada apaan sih? Heboh banget?” Tanya Agni. Air muka Ify berubah panik. “Besok Papa ulang tahun!” Serunya. Bertepatan dengan itu, Via baru kembali dengan membawa beberapa minuman. Ia lalu duduk dan memberikan minuman-minuman itu pada ketiga temannya. “Papa lo ulang tahun? Bukannya seminggu lagi ya? Sekarang kan masih tanggal 17?” Ujar Via bingung. Agni, Shilla dan Ify saling berpandangan bingung. “Vi..sekarang tanggal 24.” Kata Shilla. Via makin tak mengerti. Ia merasa ada yang aneh. Mulai dari tadi pagi, Iel datang untuk mengantarnya, ia salah memakai seragam dan sekarang bertambah lagi dengan ia yang salah mengira tanggal.
Via lantas mengedikkan bahu dan tak mau memikirkannya lebih lanjut. “Terus, rencana lo apa?” Tanya Agni lagi. “Yah seperti biasa. Gue bakal bikinin Papa kue tart.” Jawab Ify seraya tersenyum menerawang. Agni mendengus mendengar itu. “Terus kenapa lo heboh kalo cuma itu doang?!” Keluhnya. Ify menoleh ke arah Agni lagi. “Gue belum selesai! Gue juga mau ngasih Papa kejutan. Gue pengen ngasih kue tartnya tepat jam 12 malam. Dan karena itu gue mau minta bantuan sama lo semua. Lo pada bisa bantu gue kan?” Tanya Ify penuh harap.
“Bantu apa dulu nih?” Kali ini Shilla yang angkat bicara. Agni dan Via hanya ikut mengangguk. “Lo semua nginep ya di rumah gue? Ya ya ya? Besok kan libur?” Pinta Ify. Shilla dan yang lain saling berpandangan belum mengerti maksud Ify. “Trus kita ngapain?” Tanya Shilla lagi. Ify menghela nafas singkat sebelum kembali menjawab. “Lo semua bantuin ngias rumah gue. Lagi juga Papa gue kan gak pernah ulang tahunnya dirayain rame-rame. Jadi lo semua bantu gue ya?” Pinta Ify yang terakhir kali. Ketiga temannya saling berpandangan lagi dan serentak mengedikkan bahu. “Okedeh gue juga gak ada kerjaan di rumah..” Ujar Shilla menyanggupi diikuti dengan persetujuan Via dan Agni.
***
Waktu sudah hampir menunjuk ke angka 3. Itu berarti sudah hampir 2 jam Ify menunggui Rio selesai rapat. Dan sampai sekarang pun belum jua kembali menemuinya di kelas. Asal tahu saja, perut Ify sudah seperti ditusuk-tusuk dari tadi. Jelas, dari tadi malam hingga sekarang esofagusnya belum juga dilewati seonggok nasi bahkan satu butir pun. Badannya sudah lemas untuk dibawa berjalan kesana-kemari. Apalagi kakinya masih belum membaik. Belum lagi rasa kantuk yang terus saja mengusik ketenangan mata. Benar-benar lengkap penyakit Ify hari ini.
Tiba-tiba, ia merasakan ponselnya bergetar. Hanya satu kali. Ia segera mengecek ponselnya itu dan mendapati satu sms masuk ke dalam sana. Sebuah nomor tak di kenal. Dalam pesan itu, ia disuruh pergi ke ruang musik untuk menemui si pengirim yang mengaku bahwa dia Rio. Kening Ify berkerut setelah membaca pesan itu. Ia bingung, jika ini Rio, untuk apa menyuruhnya pergi ke ruang musik? Jelas-jelas pemuda itu sendiri yang menyuruhnya menunggu di kelas, tadi. Dan satu lagi, untuk apa Rio mengirim pesan padanya dengan memakai nomor lain?
Setelah lama mengingat, menimbang *halah* dan ia akhirnya memutuskan pergi juga memenuhi tuntutan dalam sms itu. Ia berjalan seraya memegangi dinding karena takut akan terjatuh. Langkahnya pun tak selalu mulus, beberapa kali ia berhenti seraya memegangi perutnya. Ia berjalan gontai hingga sampai di depan pintu ruang musik. Ify dengan mudah membuka pintu karena memang tidak dikunci. Ia melihat ke dalam dan tak ada siapapun yang ia temukan. Tiba-tiba, ia merasakan seperti ada benda tumpul menghujam cukup keras ke bagian punggungnya.
Badan Ify terhuyung begitu saja ke lantai. Ia benar-benar sudah tidak bertenaga lagi. Kesadarannya pun hampir bisa dibilang sudah mencapai nol. Sedikit-sedikit pendengarannya masih bisa diandalkan. Ada 2 orang yang membawanya masuk ke ruang musik lalu kemudian menguncinya dari luar. Ify merasakan salah seorang dari mereka menampar serta menendang beberapa bagian tubuhnya. Sebelum mereka benar-benar meninggalkan Ify disana, mata Ify terbuka sedikit. Ia bisa mengetahui kedua-duanya perempuan. Ia masih dapat melihat sepatu apa yang dipakai oleh salah satu di antaranya. Hanya sampai disitu, karena detik selanjutnya, tingkat kesadaran Ify sudah ada pada posisi nol.
***
Tak berapa lama setelah Ify pergi ke ruang musik, Rio kembali ke kelas dan mendapati ruangan itu kosong. Hanya tinggal tasnya yang tergeletak di kursi. Ia agak kaget karena Ify sudah tak menempatkan diri disana. Baru saja ia hendak menghubungi gadis itu, ponselnya tiba-tiba dimasuki sebuah pesan dan sangat kebetulan pesan itu Ify yang mengirimnya. Dalam pesan tersebut, Ify menginformasikan bahwa ia sudah terlebih dahulu pulang ke rumah.
 Rio berdiam diri sejenak seraya memandangi layar BB-nya, tepatnya memandangi tulisan-tulisan dalam pesan tadi. Ia lalu mendesah pelan dan memasukkan BB-nya ke kantong. Setelah mengambil tas, ia pun beranjak dari sana. Sempat terlintas perasaan tidak menenangkan dalam hati Rio. Entah apa dan untuk hal apa itu, ia juga tidak tahu. Ia terlihat beberapa kali menghela nafas seraya mencoba membuat pikirannya kembali dalam kesejukan.
***
Agni terpaksa datang kembali ke sekolah untuk latihan basket. Tidak seperti biasa, hari ini ia menjalani latihan pada jam 4 sore dikarenakan ada rapat tadi. Agni sudah sampai di sekolahnya dengan tak lagi memakai seragam. Kaos berwarna hijau bertuliskan ‘I’m not a girl, but i’m a female’, celana olahraga yang sedikit di atas lutut serta sepatu sport ‘Nike’ putih kini menempel di tubuhnya. Ia terus melangkahkan kaki menelusuri bagian depan hingga hampir sampai di tengah-tengah SMA PARFAIT.
Sedikit lagi menuju lapangan sekolah, kakinya berhenti seketika. Ia menjadi ragu untuk ikut latihan atau tidak. Apa lagi yang lo cari, Ag? Cakka bukan Aga..Ya, Cakka bukan Aga. Batinnya lirih. Sekian lama ia hanya berdiam diri sambil memandang ke arah lapangan. Melihat beberapa anggota lain sudah memulai bermain. Matanya menilik satu-persatu orang-orang disana. Ia tak mendapati adanya sosok Cakka. Okey..gue berhenti! Tegasnya dalam hati.
Agni memutar balik badannya. Ia sudah memutuskan tak akan lagi menyelidiki siapa Cakka. Toh, sudah jelas Cakka dan Aga itu dua sosok yang berbeda kegemaran. Dibuktikan dengan keterangan dari Cakka bahwa pemuda itu suka hujan. Bagi Agni, itu sudah cukup menunjukkan bahwa Cakka ya memang Cakka. Tak ada pribadi lain dalam diri pemuda itu. Saat berbalik badan, tanpa disangka orang yang menjadi objek perdebatan dalam otak Agni tadi berdiri tepat di hadapannya. Melihatnya dengan sorot mata penuh tanda tanya.
Cakka, orang tersebut, terlihat menggembungkan sebelah pipinya seraya menatap Agni dan lapangan basket secara bergantian. Agni diam melihat sikap Cakka itu. Sikap yang membuatnya bimbang kembali akan kesimpulan mengenai siapa sebenarnya pemuda ini. Menggembungkan sebelah pipi? Itu kan kebiasaan yang sering Aga lakukan jika ia sedang tidak mengerti atau kebingungan. Cakka membuang udara yang ada di mulutnya, membuat pipinya kembali dalam ukuran normal. “Lo ngapain berdiri disini?” Tanya Cakka heran. Agni masih diam dan terus memandang ke arahnya. Cakka balas menatap Agni seraya memiringkan kepala.
Agni seketika tersentak melihat itu. Satu lagi, yang Cakka lakukan ini juga sama dengan apa yang akan dilakukan Aga ketika ada seseorang memandanginya terus-terusan. Cakka..LO SIAPA?! Agni berteriak sepuasnya dalam hati. Ia dilanda kegalauan *halah* luar biasa akibat pemuda di hadapannya ini. Siapa dia? Aga..Cakka..atau malah Aga yang berusaha menjadi seorang Cakka, ia benar-benar bingung harus menjawab apa dalam pertanyaan itu.
***
Sudah hampir jam 8 malam. Ify belum juga pulang ke rumah. Ferdi sedari tadi mondar-mandir tak jelas. Tak peduli dengan rasa nyeri yang teramat sangat di bagian pinggangnya. Pikiran Ferdi hanya terfokus pada anaknya itu. Air mukanya terlihat begitu cemas dan khawatir. Tidak biasanya Ify pulang –terlalu– telat seperti ini. Apalagi gadis itu tak memberikan informasi apapun padanya. Berkali-kali ia mencoba menghubungi Ify, tapi tak juga diangkat. Putus asa menelepon Ify, Ferdi lantas beralih pada Agni, teman anaknya.
“Hallo, Agni?”
***
“Hallo..Om. Ada apa ya?” Tanya Agni sopan saat menjawab panggilan dari Ferdi, Papa Ify. ia agak bingung kenapa laki-laki itu meneleponnya tiba-tiba. “Sampai sekarang Ify belum pulang. Kamu tahu dia dimana?” Sahut Ferdi seraya bertanya balik. Kening Agni berkerut mendengar itu. Ify? Tanyanya dalam hati. Jelas saja, Agni bahkan baru saja hendak pergi ke rumah Ify. Sekarang Ferdi malah menanyakan soal keberadaan gadis itu. Tentu ia tidak tahu. “Ah dia ada di rumah Agni, Om. Tadi dia lupa ngasih tahu.” Bohong Agni. Ia tidak ingin membuat laki-laki yang meneleponnya ini khawatir. “Bener? Dia ada di rumah kamu? Dia baik-baik aja kan?” Tanya Ferdi memastikan. Agni menelan salivanya cepat. Ada rasa tidak enak dengan ia yang berbohong seperti ini.
“I..iya, Om.” Jawab Agni sekenanya. Helaan nafas lega terdengar disana. “Hhh, baguslah. Ya sudah, Om titip Ify sama kamu ya?” Kata Ferdi lagi. Rasa tak enak Agni kembali bertambah mendengar perkataan Ferdi barusan. “Iya, Om.” Jawab Agni, lagi. Suaranya entah kenapa menjadi pelan. Setelah itu, Ferdi menutup teleponnya dengan Agni. Agni menghembuskan nafas perlahan. Ia kemudian segera mengirim pesan pada Via dan Shilla untuk menanyakan perihal Ify. Tak perlu menunggu waktu lama, pesannya pun dibalas oleh kedua gadis itu.
Kedua-duanya sama-sama tidak tahu-menahu dimana Ify sekarang. Gadis itu tidak bersama mereka saat ini. Agni diam, berfikir apa yang dapat ia simpulkan. Sebelum itu, ia juga mengirim pesan pada Rio dengan menanyakan hal yang sama seperti yang ia tanyakan pada Via dan Shilla. Tak jauh beda, pemuda itu juga tidak mengetahui dimana Ify. Terakhir, Rio mendapatkan sms dari gadis itu yang menyebutkan bahwa ia sudah berada di rumah. Perasaan Agni sudah tak enak. Ia sudah mendapatkan satu dugaan tapi ia belum berani mencetuskan itu sekarang. Ia masih berharap besar bahwa dugaannya itu salah. Agni kemudian menyuruh ketiga orang yang ia kirimi pesan tadi agar segera menghadirkan diri di rumahnya.
Via dan Shilla tentu tidak masalah dan mengiyakan begitu saja. Berbeda dengan Rio. Pemuda ini pasti akan mencari alasan untuk menolak. Maka dari itu, bunyi sms-nya untuk Rio sedikit berbeda dari Via dan Shilla. Terkesan sedikit memaksa dan tidak memberi pilihan pada pemuda itu untuk tidak datang.
To : Riostev
Ke rumah gue sekarang. Penting! Gue gak main-main!
Send!
***
(Antique – Satu bintang on. Enak loh =D)
“Maa, Shilla ke rumah Agni diantar siapa??” Teriak Shilla dari lantai bawah rumahnya. Wiwid, Mamanya, balas berteriak pula. “Orangnya udah nunggu di luar!!” Seru Wiwid. Setelah pamit, Shilla pun langsung berlari keluar rumah. Sebuah mobil asing terparkir di halaman rumah itu. Tidak bisa disebut asing juga karena mobil itu sangat familiar dan ia sangat tahu siapa pemilik dari kendaraan tersebut. Seorang pemuda bersandar di samping salah satu pintunya. Dalam sekejab, jantung Shilla dibuat menggeletar karena sosok pemuda itu.
Shilla tetap diam dan tak bergerak sedikitpun. Ia terus menatap pemuda yang kini tengah menatapnya balik. Selama seharian penuh, ia tak berkomunikasi dengan pemuda itu. Orang yang telah membuatnya kesal sejak kemarin. Namun, ia juga sangat-sangat menantikan kehadiran orang ini. Alvin? Batin Shilla. Yap, pemuda itu tak lain dan tak bukan adalah Alvin. Alvin tersenyum canggung seraya menggaruk-garuk tengkuknya. Untuk kedua kalinya, setelah sekian lama ia tak merasa gugup seperti sekarang pada Shilla. Yang pertama terjadi saat ia menyatakan perasaannya dulu pada gadis ini. Dan sekarang, sepertinya kejadian itu terulang kembali.
“Emm..mau gue anter?” Tanya Alvin akhirnya. “Hah? Ee..ya..ya udah..” Jawab Shilla yang ikut canggung. Ia sendiri bingung kenapa rasa kesalnya sama sekali tak terluapkan saat ini. Ia berjalan perlahan menuju mobil Alvin. Alvin terlebih dahulu membukakan pintu untuk gadis ini seraya melemparkan senyum padanya. Setelah itu, ia ikut masuk ke dalam mobil dan melajukan kendaraannya segera.
Suasana tak bersahabat itu masih setia menyelinap di antara pasangan kekasih ini. Mereka tak saling bicara dan sibuk dengan pikiran serta perasaan masing-masing. Beberapa kali mereka terlihat saling melirik lalu kemudian mengalihkan pandangan segera. “Mm..kita berhenti sebentar disana ya?” Bujuk Alvin seraya menunjuk salah satu sisi jalan yang cukup sepi tapi masih terlihat terang. Shilla menoleh sebentar lalu kemudian menunduk. “Eh..iya..” Serah Shilla. Ia sepertinya sulit untuk berbicara panjang lebar.
Alvin pun lantas menepikan mobil. Ia melirik Shilla sekali lagi. Ia ragu untuk mengajak gadis itu bicara. Shilla juga sama. Ada satu hal yang ingin mereka tanyakan satu sama lain. Tapi, keduanya tak punya cukup keberanian melakukan itu. Alvin kemudian turun dari mobil diikuti Shilla yang kebingungan harus melakukan apa. Mereka duduk di sisi depan mobil Alvin dan masih saling diam. “Shill..”
“Vin..” Kata mereka bersamaan. Mereka menoleh sebentar dan sontak menggaruk pelipis masing-masing. “Lo aja duluan!” Serah Alvin seraya tersenyum lembut ke arah Shilla. Membuat pipi Shilla sedikit merona melihat itu. “Ah..okey..” Shilla menarik nafas dalam-dalam sebelum kembali buka suara. “Gue..gue mau minta maaf..” Ujar Shilla pelan. Kekesalannya pada Alvin entah kenapa raib begitu saja. Ia malah meminta maaf sekarang. Tak ayal, Alvin menatapnya bingung. “Maaf buat apa?” Tanya Alvin kembali lembut. Jantung Shilla semakin berdebar dibuatnya. Aduh..suaranyaa, ckck. Kata Shilla dalam hati. Ia menggaruk-garuk pelipisnya lagi dan memandang Alvin takut-takut.
“Emm..ya kan lo bilang gue selalu ganggu lo. Emang sih kayaknya gue jadi cewek sering banget buat lo kesal, jengkel, nyebelin, berisik, ribet emm apalagi ya?” Alvin masih diam namun tetap mengarahkan matanya pada Shilla. Shilla jadi gagu sendiri dilihat seperti itu. “Mm..kalo lo mau minta putus..ya..ya udah gak masalah. Gue juga gak mau nyiksa lo lama-lama, hehe..” Shilla mati-matian berusaha bersikap sebiasa mungkin. Meskipun hatinya agak mencelos saat mengutarakan kata-katanya barusan. Jelas, bohong jika ia merasa tidak masalah. Ia begitu mencintai sosok pemuda yang ada di sebelahnya ini. Ia hanya bisa menunduk menyembunyikan apa yang sesungguhnya ia rasakan sekarang.
Sedetik kemudian, Alvin terkekeh. Shilla lantas menoleh ke arah Alvin dengan pandangan tak mengerti. Tangan Alvin kemudian bergerak mengacak-ngacak puncak kepala orang yang masih menjadi kekasihnya itu. “Yang mau minta putus siapa?” Tanya Alvin tetap lembut seperti sebelumnya. Shilla kembali menunduk. “Abis..lo ngomongnya gitu kemarin..” Jawab Shilla manja. Alvin meraih wajah Shilla dan membuatnya terangkat. “Ngomong gimana?” Tanya Alvin lagi. Ibu jarinya bergerak mengusap-ngusap kedua pipi Shilla. Shilla hendak menurunkan tangan Alvin namun malah tangannya yang kini digenggam oleh pemuda itu.
Alvin lalu menempelkan telapak tangan kanan Shilla di dadanya. “Jantung gue berdebar kuat loh! Terasa?” Shilla melirik ke tangannya itu sebentar lalu mengangguk pelan. “Kuat banget kan?” Tanya Alvin seraya tersenyum sumringah. Shilla mengangguk lagi. Alvin kemudian menatap Shilla hangat. “Sekuat itu juga cinta gue ke lo. Lebih kuat malah!” Ujarnya. Shilla terpaku mendengar pernyataan Alvin padanya. Kata-kata itu secara otomatis membuatnya meluluhlantahkan kekesalan apa saja yang diakibatkan oleh kekasihnya itu. Tangan Alvin yang satunya kembali mengusap pipi Shilla, meski hanya sebelah. “Lo percaya?” Untuk ketiga kalinya, Shilla hanya bisa mengangguk.
Kelegaan menguap di hati masing-masing. Sudahlah, lupakan saja apa yang terjadi kemarin. Jika kemarin membuat hati menjadi dingin, maka lebih baik menyambut matahari hari ini yang dengan tangan terbuka serta lebih bisa memperhangat suasana di dalam sana. Pikir Shilla. Beberapa detik berjalan, Alvin dan Shilla masih betah mempertahankan posisi seperti tadi. Detik berikutnya, tak lagi sama. Alvin mulai bergerak maju mendekati wajah Shilla seraya memiringkan kepala sedikit. Shilla merasa tubuhnya makin kaku dan tak bisa bergerak sama sekali.
Pada akhirnya, untuk yang pertama kali, Alvin serta Shilla membiarkan tak ada lagi jarak yang menghalangi mereka. Hanya untuk malam ini, biarkan kehangatan itu benar-benar menyelimuti mereka berdua. Biarkan rasa tidak percaya yang sempat menghampiri lenyap seiring menipisnya jarak itu sendiri. Biarkan rasa rindu menguasai hati dan pikiran mereka khusus untuk sekarang. Setidaknya, setelah malam ini, tidak akan ada lagi keraguan dalam diri masing-masing terhadap perasaan satu sama lain.
***
Via terlebih dahulu sampai di rumah Agni. Mereka hanya diam sembari menunggu kedatangan beberapa orang selanjutnya. Tak berapa lama, secara kebetulan, Shilla yang tiba-tiba bersama Alvin sampai bersamaan dengan Rio. Sesaat, baik Shilla, Alvin maupun Rio sendiri saling memandang satu sama lain. “Rio? Lo ngapain disini?” Tanya Shilla bingung. Rio kemudian melirik ke arah Alvin sebentar. “Terus, nih anak ngapain tiba-tiba disini?” Tunjuk Rio pada Alvin. Alvin memukul bahu Rio pelan. “Dasar lo! Gue nemenin cewek gue lah!” Kata Alvin. Rio hanya tersenyum miring menanggapi hal itu. “So, lo ngapain?” Tanya Alvin kemudian. “Agni yang nyuruh. Katanya penting.” Jelas Rio.
Mereka lalu masuk bersama ke dalam rumah Agni tepatnya ke ruang tengah. “Nah, lo berdua datang juga!” Sambut Agni. Sementara Via, ia melihat ke arah Alvin bingung kenapa pemuda itu bisa disini sekarang. “Vin, kok lo tiba-tiba disini?” Tanya Via. Alvin melengos mendengar itu. “Emang gue jin apa muncul tiba-tiba? Gue punya proses kali sampe bisa datang kesini!” Sungutnya. Via hanya membulatkan mulut tanpa bertanya lebih lanjut. “Jadi ngapain lo nyuruh kita semua datang kesini? Sampe nyuruh Rio segala lagi?” Tembak Shilla langsung ke pokok masalah. “Lo beneran gak tahu dimana Ify?” Agni malah balik bertanya. Yang lain pun menggeleng termasuk Rio sendiri, yang biasanya hanya diam sambil ikut mendengarkan. Agni menarik nafas dalam dan membuangnya begitu saja.
“Ify hilang!” Pasrah Agni.
***
Hulalaa terselesaikan juga. Sedikit lebih cepat bukaan? Haha~ Silahkan caci maki saya kembali karena saya akui ceritanya semakin amat sangat jeleknya =D
Jelek ya? Haha, saya tahu kok. Maklum saya bukan penulis. Maafkan ke gajean dan ketidakbagusan cerita, ini hanyalah fiksi belaka. Makasih =)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar