-->

Minggu, 25 Maret 2012

Matchmaking Part 5

Hai-hai cerbung ini datang kembali. Gak ngaret kaan? *PLAK* Warning! Part ini sangaaatlah panjang. Jadi, bacanya di waktu senggang saja. Hmm, seperti biasa semoga gak tedious alias boring-boring amat lah yaw~ Eh eh btw, lagunya 2NE1 – It Hurts cocok juga kayaknya buat cerbung ini hehe.
Hop hop langsung aja yaw, semoga isinya tidak mengecewakan pemirsah!
***
(Agnes Monica – Rapuh on)
Minuet. Panti asuhan itu terlihat tenang. Ada sekitar 10 anak yang diasuh di sana. Pastinya dengan berbagai alasan. Ada yang karena kedua orang tuanya tidak mampu, ada yang karena sudah yatim piatu bahkan ada yang dengan sengaja meninggalkan mereka disana. Ironis memang. Tapi untunglah, mereka semua terlihat bahagia tinggal di panti asuhan Minuet ini.
Panti asuhan Minuet awalnya merupakan sebuah rumah milik bangsawan Prancis. Namun karena sudah tidak digunakan, ia pun menjadikan rumahnya itu sebagai panti asuhan, panti asuhan minuet. Minuet itu merupakan bahasa Prancis dari tengah malam. Ia menamakan itu karena mengandung arti kesunyian dan ketenangan. Karena setiap tengah malam suasana yang ada ialah sunyi dan tenang. Ia ingin kehidupan di panti ini kelak akan seperti itu.
Kembali pada penghuni panti asuhan minuet. Beberapa anak terlihat masih berada di ranjang masing-masing. Ada 3 orang yang sudah bangun dan membantu membersihkan serta membereskan panti. “Niii! Niaa!” Panggil sang ibu asuh, Lia, pada salah satu anak panti disana. “Ya bu, kenapa?” Sahut seorang anak kecil, perempuan, yang Lia maksud. Ia Nia, ya hanya Nia. Ia tidak punya nama lengkap, ia hanya suka dipanggil Nia. Jadilah semua orang memanggilnya Nia.
Nia menghampiri Lia yang terlihat sedang memeriksa isi kulkas. “Kamu bisa bantu ibu, nak?” Tanya Lia lembut. Ia kemudian menutup kembali pintu kulkas tersebut. “Bantu apa?” Tanya Nia balik. Lia tersenyum melihat gadis kecil yang manis di hadapannya. “Tolong belikan kangkung 2 ikat ya di pasar, kamu bisa kan?” Pinta Lia. Nia tersenyum dan mengangguk pelan. Ia menyodorkan tangannya seperti meminta sesuatu. Tentu saja uang untuk membeli kangkung itu. Lia kemudian memberikan selembar uang lima ribu dan Nia pun menerimanya. Dengan segera ia melangkahkan kaki menuju tempat yang Lia maksud. Pasar.
***
Nia baru saja membeli 2 ikat kangkung seperti yang dipesan Lia padanya. Ia dalam perjalanan pulang sekarang. Jarak pasar dari panti tidak cukup jauh. Namun, untuk seorang anak 5 tahun seperti Nia, mungkin agak jauh. Tapi itulah yang Nia sukai, berjalan di pagi hari itu sangat menyenangkan baginya. Ia menikmati udara pagi itu. Terasa segar dan menyejukkan. Lumayan dingin, ia pun mengeratkan sweaternya.
Tiba-tiba tangis alam menitik. Yap, hujan. Tidak deras, hanya rintik-rintik. Tapi cukup membuat Nia basah sampai di panti jika ia tak segera memakai payung. Lia sempat menyuruhnya membawa payung, jaga-jaga jika turun hujan. Nia segera membuka dan memakai payung yang dibawanya itu. Sekarang aman, ia bisa berjalan dengan tenang tanpa khawatir akan basah kuyup sampai di panti.
Beberapa meter berjalan, Nia melihat seorang anak kecil seumurannya berdiri di tepi jalan. Meringkik kedinginan. Bajunya terlihat sudah basah. Nia melirik pada anak cowok itu dan anak cowok itupun melihat ke arahnya. Hingga Nia melewatinya, anak tadi pun masih melihat ke arah Nia. Nia berhenti berjalan. Ia bimbang hendak menghampiri anak itu atau tidak. Ia akhirnya memutuskan berbalik badan dan menghampiri anak cowok tersebut. “Kenapa menunggu disini?” tanya Nia.
Anak tadi hanya menggeleng tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Nia pun dibuat bingung. “Disini dingin, nunggunya di sana saja.” Bujuk Nia seraya menunjuk sebuah gubuk yang ada di sekitar sana. Anak tadi masih diam. Nia menggaruk-garuk kepalanya, menatap anak cowok itu dari atas ke bawah. “Mm..duluan ya!” Pamit Nia dan hendak beranjak pergi. Belum selangkah, anak cowok tadi menahan lengannya. Nia dapat merasakan betapa dinginnya tangan anak itu. Ia ikut merinding dibuatnya.
“Jangan tinggalin aku!” Katanya. Lagi-lagi Nia menatapnya bingung. “Mm tidak bisa, ibu asuhku di panti serta teman-teman panti ku yang lain sedang menungguku, menunggu kangkung ini.” Jawabnya jujur seraya mengangkat plastik berisi 2 ikat kangkung yang ada di dalamnya. “Aku..sendirian. Sangat dingin. Boleh aku ikut dengan kamu?” Tanya anak cowok itu lagi. Nia diam sebentar berfikir. Ia lantas mengangguk dan menyuruh anak itu berpayung dengannya. Untunglah payung yang ia bawa cukup besar. Karena tak tega melihat anak itu kedinginan, Nia memberikan sweaternya. Kebetulan bajunya juga panjang, jadi ia tak akan terlalu kedinginan.
“Makasih..” Kata anak itu menggantung. “Nia.” Potong Nia. Ia tersenyum melihat orang di sebelahnya. “Aga, panggil saja Aga.” Kata Aga, anak cowok tadi tersenyum pula.
***
(Ini terserah lagu apa, kalo admin sih tetep lagu kak Tifanny Idol – Benci =D)
“Kak..Kak Cakka! Kak Agni!” Beberapa kali gadis ini menyerukan nama-nama itu, namun masing-masing pemilik nama sama sekali tak mendengar. Ia dan teman di sebelahnya berpandangan bingung. Mereka kemudian menghampiri kedua orang yang mereka maksud. “Kak! Kak! Woooy!” Panggil mereka lagi. Cakka dan Agni sama-sama kaget. Mereka segera melihat ke sumber suara. Terlihat 2 orang yang memanggil itu mendesah dan menatap malas ke arah mereka. “Lo berdua mikirin apaan sih? Kok kompakan gitu?” Tanya salah satu junior tadi.
“Eh..” Kata Cakka dan Agni salting. Mereka menoleh satu sama lain seakan bertanya ‘emang iya?’. Cakka...lo itu Aga atau bukan sih? Tanya Agni dalam hati. Si Agni mikirin apaan? Eh kenapa gue penasaran gini? Batin Cakka bingung. “Kak! Ahelah malah tatap-tatapan pula lo berdua.” Rutu junior itu kembali. “Eh..” Sekali lagi, Cakka dan Agni sama-sama salting. Mereka mengalihkan pandangan ke arah lain.
“Hmm, ya udahlah. Lo urus masalah lo berdua, kita cabut dulu. Udah selesai kan?”
“Oh..iya.” Jawab Cakka sekenanya. 2 juniornya pun segera pergi. Tinggalah kini hanya Cakka dan Agni saja. Mereka masih betah duduk di tepi lapangan. Suasana mendadak canggung. Masing-masing tak ada yang mau memulai pembicaraan. Cakka kemudian memainkan ponselnya. Mati gaya. Yap, gue mati gayaa! Batin Cakka. Agni sepertinya sudah tak berniat berlama-lama. Ia berdiri dan hendak pamit pada Cakka. “Ka, gue juga cabut duluan ya!” Pamit Agni.
Cakka pun menoleh dan mengangguk. Baru beberapa langkah, Cakka memanggil Agni. “Ni, lo..tadi mikirin apaan?” Tanya Cakka tanpa sadar. Agni berhenti sebentar dan berbalik badan. “Kenapa?” Tanya Agni balik. Cakka bingung harus menjawab apa. Ia lantas menggaruk-garuk kepala. “Hmm..entahlah.” Agni tersenyum tipis melihat itu. Ada sedikit rasa senang mencuat di hatinya. “Lalu, lo mikirin apaan?” Kini Agni yang bertanya. Cakka pun tersenyum seraya mengulang pertanyaan Agni sebelumnya. “Kenapa?”
Sama seperti Cakka. Agni juga mengulang jawaban Cakka sebelumnya. “Hmm..entahlah. Haha,” Mereka tertawa satu sama lain. “Gue duluan!” Pamit Agni untuk kedua kalinya. Cakka mengangguk pasti membiarkan Agni benar-benar berlalu dari hadapannya sekarang. Ia memandang sosok Agni dari belakang lekat. Sejurus kemudian ia tersenyum sambil menyentuh dada kirinya. Lucu juga! Batinnya.
***
Alvin terlihat tergesa-gesa memutus pembicaraannya di ponsel. Ia langsung memasukkan ponsel itu ke saku, seperti biasa. Pandangan Alvin tertuju pada seorang gadis yang berjalan makin dekat  ke arahnya. Gadis itu tersenyum manis dan lantas menduduki kursi kosong di depan Alvin. “Hai!” Sapanya ramah. Alvin tersenyum membalas sapaan gadis cantik itu. Gadis yang hampir saja membuat hubungannya dengan Shilla retak. Febby.
“Udah lama?” Tanya Febby kemudian. Alvin tak lantas menjawab melainkan melirik ke jam yang melingkar di tangan kirinya. “Lo telat 15 menit.” Kata Alvin. Febby hanya nyengir seraya menggaruk-garuk pelipisnya. “Hehe, sorry. Ada sedikit urusan tadi.” Katanya. Alvin tersenyum kembali. Entah kenapa, mudah saja bagi Alvin memamerkan senyum di depan gadis ini. Ia sendiri agak bingung, tapi ah sudahlah. Mungkin memang gadis ini berbakat membuatnya tersenyum.
 “So, lo ada perlu apa nyuruh gue nunggu disini?” Tembak Alvin langsung pada pokok masalah. Febby kembali tersenyum, tapi kali ini sedikit malu-malu. Ia kemudian menatap Alvin yakin. “Gue..suka sama lo!” Tuturnya mantap.
“HAH?!” Shock Alvin.
***
“Bukannya lo mau pulang? Ya udah pulang aja sana.” Rutu Ify. Ia kesal dengan keadaan tubuhnya sekarang. Kaki yang tak bisa dibawa berjalan dan tak lupa pusing yang diidapnya. “Terus?” Tanya Rio seraya melipat kedua tangan di dada. “Terus-terus ntar nabrak!” Jawab Ify asal. Ia mengambil ponsel dan mengetik sebuah nama disana. Kemudian ia menempelkan ponsel itu ke telinga.
“Heh, lo mau nelpon siapa?” Tanya Rio lagi. Ify kembali menoleh ke arah Rio. “Papa gue lah, siapa lagi yang mau jemput gue?” Mendengar itu, Rio dengan segera mengambil ponsel Ify dan membatalkan panggilan. “Lo itu pulang sama gue!” Tegas Rio.
“Lo gak mau kan? Ya udah sini ponsel gue, biar Papa aja yang ngantar gue pulang!” Bantah Ify dan meminta dikembalikan ponselnya. Rio diam sebentar. Ia lalu mendekat ke arah Ify dan membantu Ify berdiri. “Eh..” Gumam Ify kaget sekaligus bingung. Ia diam saja dengan Rio yang memapahnya melewati koridor. Lumayan banyak orang di sekitar mereka yang berbisik-bisik tentu saja membicarakan mereka. Kebanyakan adalah perempuan dan belum tentu suatu hal baik yang mereka perbincangkan.
“Yaelah tuh cewek pura-pura pasti. Iss, gak banget lah!” Cerca salah seorang gadis saat Rio dan Ify lewat. Rio dan Ify dapat mendengar dengan jelas hal itu. Rio menoleh, bukan ke gadis itu melainkan Ify. Sementara Ify, ia sedikit tersentak dan menoleh perlahan kepada gadis yang mencemoohnya. Ia kemudian menunduk dan berhenti. Ia menjauhkan tangan Rio darinya. Sekali lagi, ia memeriksa kakinya itu, menggoyang-goyangkannya pelan. Apa gue lebay ya? Tanya Ify dalam hati.
Ify mencoba berjalan sendiri dan cukup baik. Masih nyeri sih, namun dengan sedikit terpaksa ia tahan. Sudah cukup dengan pusing di kepalanya sekarang, ia tidak ingin hal itu diperparah seiring akan bertambahnya omongan miring yang ditujukan padanya. Pulang! Gue mau pulaaang! Teriaknya dalam hati. “Kalo gitu gue duluan. Lo, jangan lama-lama sampenya!” Kata Rio datar dan melangkah cepat mendahului Ify. Ify sempat melongo melihat sikap Rio itu. Heh? Gue kira dia bakal iba sama gue. Apa tuh dia biasa aja! Oh God, kapan gue diizinin move on? Ckck...
***
“Kita ke resto dulu, gue laper mau makan.” Ujar Rio setelah ia dan Ify berada di dalam mobil. Ia menatap ke jalan raya dan fokus menyetir. Ify menoleh sekilas namun segera mengalihkan pandangan ke kaca mobil di sebelahnya. “Turunin aja gue di halte dan lo bisa pergi makan.” Pinta Ify. Kening Rio berkerut dan alisnya pun naik sebelah. Ia bingung dengan sikap gadis yang juga jodohnya itu. “Bukannya lo laper?” Tanyanya kemudian.
“Gak jadi.” Jawab Ify jutek. “Lo udah makan siang?” Tanya Rio, lagi.
“Belom.” Jawab Ify masih dengan juteknya. “Kenapa lo gak ikut makan?”
“Makan di rumah.”
“Di rumah lo ada makanan?”
“Gak.”
Rio mendengus namun tidak menoleh sedikitpun ke Ify. “Kalo gak ada makanan, lo mau makan apa? Ha?”
“Makan hati.” Jawab Ify tanpa sadar. “Apa?” Bingung Rio. Ify refleks mengaduh dan menutup mulutnya. “Hhh, lo kenapa jadi banyak tanya gini sih?” Gerutu Ify. Hal itu akhirnya membuat Rio menoleh namun hanya sebentar. Ia kemudian kembali menatap ke jalan raya. “Gue gak mau lo sakit.” Tuturnya.
Angin, desirannya mungkin sampai ke hati Ify sekarang. Tak dapat disembunyikan lagi semburat merah di pipinya. Makhluk itu langsung muncul tanpa terjadwal sebelumnya. Ify tersenyum dan menoleh ke Rio. “Emangnya kenapa?” Tanya Ify polos seraya bermain dengan kuku-kukunya. Lagi-lagi Rio menoleh dan itu hanya sebentar pula lalu menggeleng pelan. “Ya kalo lo sakit, bokap sama nyokap pasti nyuruh gue jagain lo. Gue kena repotnya lah!”
Lengkungan di bibir Ify melurus seketika. Bahkan sekarang sudah mengerucut. Ia mencibir pelan mendengar alasan Rio itu. “Iss, jahat!” Rutunya. Ia lantas menopang dagu dengan kedua tangannya. *Chibimodeon*. Rio terkekeh pelan melihat tingkah Ify itu sembari geleng-geleng kepala singkat.
***
“Aduh, gue selipin dimana ya?” Ify menggeledah semua bukunya baik yang ada di dalam laci maupun tasnya. Ia sedang mencari daftar buku yang diambil oleh siswa di kelasnya. Maklum ia seorang sekretaris. Ia lupa menyelipkannya di buku yang mana. Ia lantas membuka lembar-lembar buku-buku tebal itu kemudian menggoyang-goyangkan keras. Berharap selipan itu akan terjatuh. Sudah dua buku yang ia periksa namun hasilnya masih nihil.
“Beneran lo bawa gak sih?” Rutu Rio tak sabaran. Ia berkacak pinggang melihat Ify. Air mukanya tak baik alias kesal. “Ini juga lagi dicari. Sabar!” Sungut Ify jengkel. Ia menggoyang-goyangkan buku cetak fisikanya. Seet! Sebuah benda asing melayang dari dalam buku itu. Sebuah amplop. Warnaya kuning dengan bentuk yang lucu keluar dari sana. Ify menatap benda asing itu bingung. Seingatnya ia tak lagi berkiriman surat dengan siapapun semenjak ia dibelikan ponsel. Lagian untuk apa ia lakukan itu?
Ia mengambil amplop itu dan menerawang isinya. “Hh, lo masih main surat-suratan? Ah atau jangan-jangan itu undangan ulang tahun lo? Haha,” Ledek Rio. Ia tak habis pikir ternyata masih ada juga orang yang menggunakan metode ‘unik’ itu. “Yee, bukan punya gue kali!” Bantah Ify cepat. Ia masih melihat-lihat amplop nyasar itu. Nyasar? Hmm, mari kita lihat.
Gak tahu kenapa gue suka sama lo. Karena itu, jangan kaget kalo memo-memo ini bermunculan lagi. Untuk hari ini, hanya satu hal. MORNING MESMERIZES SMILE! You’ve made me smile and you did it!
Mulut Ify menganga kecil setelah membaca memo itu sementara Rio terkekeh geli. “Haha, tuh kan apa gue bilang. Ckck, jadul banget lo!” Ledek Rio lagi. Ify memandang Rio manyun. Tanpa membalas, ia lalu memasukkan kembali memo itu ke dalam amlop imut tadi. Ia diam menatap benda itu. Ini memo buat gue? Hmm gak mungkin ah. Tunggu bulan jadi dua ini mah! Batinnya. “Heh! Malah bengong, daftar pengambilan bukunya mana?” Kejut Rio. Ify kembali ke alam nyata dan menepuk jidatnya pelan.
Ia kembali mengobrak-abrik bukunya. Tring! Akhirnya lembaran-lembaran itu ia temukan, terselip di dalam buku sejarah. Ify pun menghembuskan nafas lega. “Nih!” Ify menyodorkan kertas itu ke Rio. Rio lantas mengambilnya kasar. “Daritadi kek!” Rutunya. Ify hanya merengut mendengar itu. Mereka pun segera pergi menuju TRC.
***
“Eh gue mau nunjukin memo itu.” Tukas Ify. Shilla dan Via memandangnya antusias. “Mana-mana?” Heboh Via. Shilla hanya mengangguk semangat. Ify pun menunjukkan memo nyasar yang ia temukan dalam bukunya. Shilla dan Via membacanya sejenak kemudian saling berpandangan penuh arti. “Ciieeee!” Kata mereka kompak. “Iiih kalian apaan sih!” Balas Ify salting. Pipinya sedikit memerah karena malu.
“Cieee yang punya secad! Hahai!” Goda Shilla seraya menoel dagu tirus Ify. Membuat kemerahan di pipi Ify semakin kentara. “Idiih-idiih pipinya meraah! Hiyaa haha!” Timpal Via.
Ify hanya tersenyum kecut dan hendak membalas. “Yee, lo pada apaan sih? Nih ya, surat ini tuh belum tentu buat gue kali!” Bantahnya. Ia menyeruput jus jeruknya santai. Shilla kembali pada BB-nya. Sementara Via menumpu sikunya di bahu Shilla. “Gak mungkin lah! Bego amat tuh orang kalo salah sasaran!” Ujar Via.
“Nah, betul tuh!” Sambung Shilla mengiyakan. “Terserah deh, yang pasti itu mustahil buat gue!” Bantah Ify lagi. Ia terus menyeruput jus jeruknya hingga ia sadar mereka kurang 1 orang. “Eh si Agni mana? Tumben, padahal bel istirahat udah dari 5 menit yang lalu.” Tanyanya. Shilla beralih dari layar ponselnya dan memandang sekitar sejenak.
“Tau tuh, katanya sih tadi mau ke toilet bentar.” Ify hanya membulatkan mulutnya mendengar kata Shilla barusan. “Bagus tuh dia telat, kalo gak kan lo pasti habis diledekin sama dia. Haha,” Ledek Via lagi. “Yee lo mah gitu!” Rutu Ify. Hmm, apa iya ya nih memo buat gue? Tanya Ify dalam hati.
***
Koridor sekolah tampak ramai, tentu saja, sekarang jam istirahat. Waktu yang paling ditunggu seluruh umat sekolah khususnya para siswa. Masing-masing berbeda kegiatan, ada yang bermain basket, ada yang mengobrol ria, bahkan ada yang masih saja membaca buku hmm mungkin mau ulangan dan masih banyak lagi. Seperti gadis harajuku ini, ia berjalan santai menyusuri koridor sekolahnya. Ia melihat ke arah lapangan basket, seperti biasa mencari si pemilik kalung.
“Agni!” Seseorang tiba-tiba memanggilnya dan suara itu bersumber dari laki-laki yang berada beberapa meter di depannya. Orang yang ia cari! Agni, gadis tadi tersenyum tipis menyambut sosok lelaki itu. Entah kenapa, ia selalu mendahulukan penglihatan pada kalung yang terpasang di leher lelaki tersebut. Cakka, ya siapa lagi. “Lo gak berubah, masih sama.” Ujar Cakka seraya memasukkan kedua tangan ke saku celana. Ia tersenyum miring.
Hah? Apa dia udah inget gue? Tanya Agni dalam hati. Tentu saja ia berharap bahwa Cakka memang sudah mengingatnya. Ia menatap Cakka bingung menyembunyikan efek debaran jantungnya yang tiba-tiba menjadi tidak normal. Haha, gue udah lama gak berdebar kayak gini. Batin Agni. “Lo masih bengong liat kalung gue. Kenapa, lo naksir?”
“Hah?” gumam Agni. Batinnya mencelos mendengar penuturan Cakka barusan. Seolah-olah harapan yang tadi hendak di tembakkan ke matahari tak benar-benar sampai ke sana. Melainkan meleset jauh ke dalam jurang yang dalam dan gelap. So, gue ke-GR-an? Hmm i’m not Agni anymore. Siapa saja, kembalikan Agni! Rutunya dalam hati. “Iya, ada apa sih dengan kalung gue? Kayaknya lo tertarik banget?”
“Oh, hehe hiperbola lo! Gue cuma seneng aja, kalung lo...” Ia tiba-tiba berhenti, ia sadar akan satu hal. Ia tidak lagi merasakan ada yang menjuntai-juntai di lehernya. Ia menunduk memeriksa dan memang benar. “Kalung gue?!!” Panik Agni. Ia lantas berbalik badan dan berlari menuju taman, tempat yang ia jajaki sebelum ke koridor. “Eh eh lo mau kemana?” Tanya Cakka bingung melihat Agni berlari begitu saja. Ia pun menyusul gadis itu.
***
Alvin baru saja keluar kelas. Pelajaran jam ke 4 baru saja berakhir sekitar 2 menit lalu. Ia sampai di pintu dan memilih berjalan ke arah kiri, ke kantin. “ALVIN!” Panggil seseorang dari arah belakangnya. Alvin berhenti sebentar dan menoleh. “Febby?” Gumamnya pelan. Cewek ini lagi. Ckck, sadar gak sih tuh orang kemarin baru nembak gue? Pikirnya. Ia menatap Febby heran. Ya mana mungkin tidak, gadis itu baru saja menembaknya kemarin. Dan sekarang, gadis itu malah mendekatinya tanpa ada rasa canggung sama sekali.
Febby semakin dekat pada Alvin dan langsung menyapa seperti biasa. “Hai Vin!” Kata Febby santai, sangat santai malah. Alvin masih menatapnya bingung. “Vin..Vin! Kok bengong sih?” Heran gadis itu. Ia melambaikan tangan ke muka Alvin. “Eh..enggak kok.” Elak Alvin. Ini kenapa malah gue yang canggung? Batin Alvin bingung. Yah memang sangat terlihat bahwa bahasa tubuhnya kurang bersahabat dengan kehadiran Febby, gadis yang dengan anggun berani (?) telah menembaknya itu.
“Lo masih mikirin masalah kemarin?” Telaah Febby. Alvin sedikit tersentak mendengarnya. Ia lantas bingung apa  yang harus ia jawab. “Hah?” Ragu Alvin. “Lupain aja, ganggu kan?”
“Hah?” Kata Alvin masih sama. “Ah lo hah-hah doang. Udah yuk, ke kantin!” Tukas Febby dan langsung menarik lengan Alvin. “Eh?” Kaget Alvin namun ia hanya pasrah dengan lengannya yang ditarik itu. What’s wrong with me heh? Batinnya.
***
Agni mengedarkan pandangan ke segala arah dan berusaha mencari kalungnya itu. Cakka pun ikut-ikutan melakukan pencarian. Agni sedikit merunduk. Badannya bergerak kesana-kemari. Ia panik. Ia sangat takut jika kalung itu benar-benar hilang. Sementara Cakka, ia pun bingung mengapa gadis yang sedang bersamanya ini selalu saja terkait dengan masalah kalung, baik kalungnya maupun kalung gadis ini sendiri.
Beberapa menit Agni mencari, kalungnya masih belum ditemukan. Berbeda dengan Cakka, tiba-tiba matanya menangkap sesuatu yang mungkin merupakan satu hal yang membekas dalam benaknya. Sebuah kalung perak berbandulkan cincin tergeletak di tanah berumput disana. Cakka mengamati kalung itu sejenak kemudian menyelamatkannya dari rerumputan. Ia menegakkan tubuhnya menatap kalung itu. “Ini kalung lo?” Lirihnya.
Mendengar itu, Agni berhenti mencari kalungnya, menoleh pada Cakka seraya menormalkan keadaan tubuhnya. Ia kaget melihat kalung itu tergenggam pada orang yang notabenenya memiliki kaitan pada benda tersebut, lebih-lebih dengan tatapan Cakka sekarang. Tatapan itu seperti...ah sulit dijelaskan. Entah kenapa hal itu membuat Agni merinding. Ia lalu mengambil kembali kalungnya, meskipun agak ragu. “Eh..iya..i..ini kaling gue.” Kata Agni terbata. Ia melingkarkan lagi kalung itu ke lehernya seperti semula.
“Mm..thank’s ya!” Kata Agni lagi dan langsung pergi tanpa pamit. Berat baginya untuk lebih lama lagi berada disana. Kenapa ini? Kenapa tiba-tiba gue gak pingin Aga tahu siapa gue? Hei, dia juga belum tentu Aga. Rrr, gue harus gimana?! Batin Agni galau. Cakka hendak memanggil Agni namun lekas ia urungkan. Jadilah, ia hanya menatap punggung gadis itu yang terlihat semakin samar oleh jarak mereka sekarang. Agni..lo memang Agni kan? Batin Cakka bertanya-tanya.
***
Hiyaa, lagi dan pasti selalu mengenai ke 4 gadis bersahabat ini. Mereka pastinya sedang bersantai ria di kamar Ify, like usual lah. Agni bersender di tepi tempat tidur dan masih setia melihat kalungnya. Via tak lagi belajar, ia memilih bertwitter ria melepas penat. Ia berada di atas tempat tidur bersama Ify sambil membaca majalah berdua. Sementara Shilla, migal mereka ini, sedari tadi sibuk mengetuk-ngetuk ponselnya dan mengumpat dalam hati.
“Aiss, Vin lo kemana?? Iklan simpati juga lo nih!” Rutunya pelan agar tak terdengar. Tapi tetap saja terdengar, suasana saat itu sedang sunyi. Agni menoleh ke arah Shilla. “Huh, kenapa lagi si sipit lo itu?” Tanya Agni. Shilla manyun dan masih saja mengetuk-ngetuk BB-nya dengan telunjuk. “Dia gak hubungin gue daritadi.” Agni menekuk lutut dan memeluknya. Ia menumpu dagu disana dan menatap Shilla.
“Lagi sibuk mungkin?” Shilla berfikir sebentar, menimang-nimang perkataan Agni itu. “Tapi, masa iya gak sempat ngabarin?” Sanggahnya. “Ya namanya juga sibuk, kan?” Kata Agni. Shilla menghela nafas panjang dan menghempasnya begitu saja. “Tahu ah! Dia punya cewek lain kali,” Kesalnya. Ia mengambil posisi seperti Agni, hanya saja ia menunduk membenamkan kepala. Agni hanya geleng-geleng kepala. Ia tak merebut BB Shilla dengan mengirim sms palsu ke Alvin seperti sebelumnya. Ia tidak bisa terlalu ikut campur dalam hubungan Alvin dan Shilla. So, biar mereka selesaikan masalah mereka sendiri.
***
(Agnes Monica – Rapuh on)
“Buu, Nia pulang!” Pekik Nia sesaat setelah sampai di panti. Ia mengajak Cakka masuk. Lia datang dari arah dapur dan mendapati Nia sedang menyodorkan handuk pada seorang anak lelaki yang ia belum tahu siapa. “Nia, ini siapa nak?” Tanya Lia lembut. “Namanya Aga, tadi Nia liat dia kehujanan dan sendirian. Jadi Nia bawa dia kesini.” Jelas Nia. Aga masih meringkuk kedinginan dan menggigil.
“ya sudah, Aga kamu ganti baju dulu ya? Baju kamu basah, kalau terus dipakai kamu bisa sakit.” Bujuk Lia. Aga hanya mengangguk dan masih menggigil. Lia membawanya ke kamar anak panti dan memberikannya baju ganti. Setelah itu, Aga pun ikut makan bersama anak panti yang lain. Mereka saling berkenalan. Dari sana mereka tahu bahwa Aga ditinggalkan oleh mamanya di jalan. Entah apa alasan wanita paruh baya itu, yang jelas untuk anak sekecil Aga itu teramat memilukan. Karena itu, Aga diizinkan Lia menjadi salah satu penghuni tetap panti asuhan Minuet, salah satu dari anak-anak malang yang ada disana.
Selesai makan, anak-anak dibiarkan beristirahat. Tapi, mereka lebih memilih bermain. Berbeda dengan Nia, ia dengan cepat melangkahkan kaki ke dekat jendela melihat ke luar. Itu merupakan ritual wajib yang ia lakukan jika hujan turun. Ia suka sekali melihat bagaimana hujan itu turun, membuat sekeliling alam melecah dan dingin. Begitu pula hatinya. Dingin itu masih saja setia meringkuk di dalam sana. Setiap kali melihat hujan, ia tak pernah absen di dekat jendela. Ia hanya ingin mengetes, apakah hatinya sudah cukup menghangatkan kedinginan di dalamnya atau mungkin malah bertambah dingin bahkan membeku.
“Hei, Nia mana?” Tanya Aga pada salah satu teman barunya di panti Minuet. “Dia di dekat jendela. Cari saja, dia pasti sedang melihat hujan.” Jawab temannya itu. “Melihat hujan?” Bingung Cakka. Temannya tadi hanya berdehem dan melanjutkan kegiatan membacanya. Aga kemudian berjalan mendekati jendela dan didapatinya Nia disana.
“Nia!” Panggil Aga pelan dan mendekat ke Nia. Nia menoleh sebentar lalu kembali melihat jendela. “Hmm?” Nia berdehem menjawab panggilan itu. Aga memandangnya bingung. “Kamu ngapain?” Tanyanya. Nia menghembuskan nafas singkat. “Hari sedang hujan,” Jawab Nia.
“Lalu?” Lanjut Aga yang masih tampak bingung. “Aku ingin melihatnya,” Jawab Nia lagi, kali ini ia tersenyum tipis. “Kenapa?” Nia memegang dada kirinya dan menghembuskan nafas lagi. “Saat hujan, entah itu mimpi atau tidak, ibu menyelimutiku sehingga aku tidak dingin lagi. Aku suka hujan karena aku teringat akan mimpi indah itu...” Gantung Nia. Ia menatap Aga yang juga menatapnya balik.
“Dan..aku ingin tahu, apakah selimut itu masih menghangatkanku atau tidak.” Lanjut Nia sambil memegang dada kirinya. Aga mendengarkan perkataan Nia baik-baik. Ia berbalik badan dan tidak mau menatap jendela. “Aku..tidak suka hujan.” Kata Aga. Air mukanya keruh dengan nanar matanya menerawang. Nia kembali menoleh ke arahnya, kali ini dengan tatapan bingung. “Aku benci mengingat ibuku meninggalkanku saat hujan.” Lirih Aga.
***
Sebelumnya, Cakka dan Iel yang asyik bermain basket sementara Rio hanya berbaring di gazebonya. Kali ini, Iel dan Rio lah yang bermain basket sedangkan Cakka mengambil posisi sama seperti yang Rio lakukan waktu itu. Ia juga menatap awan namun sepertinya ia tidak benar-benar menatap benda putih itu. Ia sedang melamunkan sesuatu.
“Si Cakka kenapa tuh?” Tanya Rio sembari mendrible benda bulat di tangannya. Iel hanya mengedikkan bahu tak mengerti. Rio kemudian berhenti mendrible dan memberi isyarat untuk menghampiri Cakka. Mereka pun berjalan mendekat. Cakka masih belum sadar, ia setia pada lamunannya. “Kka..woy Cakka!” Panggil Iel. Ia menyenggol lengan Cakka pelan.
“Hah? Eh..” Respon Cakka karena merasa ada yang menyentuhnya. “Hiyaa dia ngelamun! Kenapa lo? Galau? Halah, pacar aja gak punya sok-sok galau pula!” Ledek Iel. “Yee asem lo! Siapa bilang gue gak punya?” Bantah Cakka.
“Masa sih? Haha,” Sungut Iel. Rio hanya tertawa melihat kedua sahabatnya itu.
***
“HHK!” Tiba-tiba Ify terbangun. Ia tidak tahu apa yang membuatnya seperti itu. Ia bahkan tidak ingat mimpinya tadi. Ia melihat jam beker dan benda itu menunjukkan sekarang jam setengah 1 malam. Ify kemudian merasa haus. Ia pun beranjak dari tempat tidur menuju dapur. Suasana di luar kamarnya sangat sepi. Semua lampu dimatikan. Agak takut sih, tapi mau bagaimana lagi. Hasrat ingin minumnya jauh lebih kuat dan menepis ketakutan itu sendiri.
“Hah, legaaa.” Ujar Ify setelah meminum segelas air. Saat hendak menaruh kembali gelas yang ia pakai barusan, ia melihat kompor gas nya tak lagi kosong. Ada sesuatu yang bertumpu disana. Sebuah panci berisi telur. Tak hanya itu, ia melihat sebuah piring yang terdapat banyak kulit telur. Heh? Papa ngerebus telur? Buat apa? Batinnya bertanya-tanya. Ia kemudian beranjak menuju kamar papanya.
Sampai di depan pintu, ia membukanya pelan-pelan agar Papanya tidak terbangun. Ia melihat Papanya masih terlelap. Ia berjalan masuk ke dalam, melihat-lihat isi kamar Papanya. Disana masih terpajang foto Papa dan Mamanya saat menikah dulu dan ada juga saat Mamanya menggendong dirinya saat bayi. Ia tersenyum melihat itu. Miss you, Mom! Really! Batin Ify. Ia melangkahkan kaki lebih dalam (?) Suatu ketika, matanya menangkap beberapa sobekan kertas di atas meja rias.
Ia mendekat ke benda itu. Ngapain Papa nyobek-nyobek kertas? Papa kan orangnya bersih? Batin Ify bingung. Ia memungut sobekan-sobekan itu dan langsung pergi keluar menuju kamarnya kembali. Kira-kira..ini kertas apaan ya?
***
Oalaaah akhirnya selesai juga part 5. Haha sudah admin bilang kan, makin part makin gaje. Hehehehe ;DD Eh eh hari senin admin mau UTS, doakan admin yaa semoga nilainya bagus *amiin* Hoho~
Jelek ya? Haha, saya tahu kok. Maklum saya bukan penulis. Maafkan ke gajean dan ketidakbagusan cerita, ini hanyalah fiksi belaka. Makasih =)

1 komentar: