-->

Minggu, 25 Maret 2012

Matchmaking Part 4

Ass! Ngareet pemirsaaah hehe sibuk sih *halah*. Kalian juga mintanya yang panjang. Ini saya udah berusaha keras buatnya panjang. Bagus tidaknya saya tidak tahu hoho. Eh tapi ada yang nunggu kah? Haha. Sama seperti part sebelumnya, semoga gak tedious alias boring-boring amat lah. *Amiin*. Emm punya lagu nya kk Tiffany idol – Benci gak? Entah cuma perasaan admin ato emang cerbung ini cocok dibaca backsound nya lagu itu. Hehe, tapi itu menurut admin yaw.
Hop hop langsung aja yaw, semoga isinya tidak mengecewakan pemirsah!
***
Tk..tk..tk..KRIIING!!
Jam beker di kamar Ify berbunyi setelah jarum-jarumnya telah mencapai posisi yang satu di antara angka 7 dan 8 kemudian yang satu lagi di angka 6. Setengah 8, begitulah kiranya. Ify sengaja memasang alarm itu agar ia tahu kapan waktunya keluar kamar. Ia menatap sekilas dirinya di cermin. Merapikan rambut, riasan, baju dan apa saja yang masih belum pas menurutnya. Hmm, lumayan. Batin Ify.
Tring! Baru saja ia hendak menyemprotkan parfum, tiba-tiba muncul sosok Rio di belakangnya. Ia dapat melihat itu dari cermin. Bukannya senang seperti biasa, ia malah menggerutu kesal dengan munculnya lelaki tampan itu. Ia pun menyemprotkan parfumnya ke bayangan Rio yang terlihat di cermin. Ia langsung keluar kamar.
“Fyyy, kamu udah siap beloom?” Teriak Papanya dari ruang tamu. Ify segera turun dan mendekati Papanya. “Udah, Papi-kuuu!” Katanya manja. Mereka kemudian beranjak dari ruang tamu menuju mobil. Papa Ify mengambil alih kemudi dan Ify sendiri duduk di sebelahnya. Ify duduk seraya memandangi riuhnya suasana Jakarta, padahal ini sudah malam. Ia menikmati permen lolipop yang selalu ia bawa, setidaknya satu buah. Tapi, sebelum lolipop itu bergumul di lidahnya, benda itu keburu direbut oleh Papanya.
“Khusus malam ini, NO LOLIPOP!” Tegas Papa Ify. Ify merengut dan merengek pada Papanya agar mengembalikan benda tersayangnya itu. “Papaa..” Rengeknya. Papanya tak bergeming seraya tetap fokus menyetir. Ify mencibir kesal.
***
“Ferdi! *ngarangya*” Sambut seorang lelaki paruh baya yang sepertinya seumuran dengan Papa Ify. Ia bersama istrinya menyambut Ify dan Papanya ketika mereka sampai di depan pintu. Papa Ify hanya tersenyum seraya membalas pelukan dari sahabatnya, orang tadi. “Malam Om Zeth, Tante Amanda.” Sapa Ify sopan. Ia sedikit membungkukkan badannya. Amanda dan Zeth, suami-istri tadi, tersenyum senang melihat Ify. “Jadi kamu Ify?” Tanya Amanda.
“Eh..iya Tante.” Jawab Ify canggung. “Manis! Ayo, Fer, Fy, masuk.” Ajak Amanda. Ferdi dan Zeth berjalan sambil mengobrol berdua. Ify masuk bersama Amanda. Ify melihat sekeliling rumah itu. Banyak foto keluarga Zeth terpajang di beberapa tempat. Satu foto yang ukurannya amat besar, disana terlihat ada Zeth, Amanda, seorang anak kecil dan Rio. Heh? Rio?! Oh my Allah, otak gue udah gak beres. Pikirnya.
Setiap foto yang Ify lihat, ada saja sosok Rio muncul di sana. Ify mengumpat sedongkol-dongkolnya dalam hati. Jika saja Amanda tidak berjalan di sampingnya, mungkin ia sudah mencak-mencak dari tadi. Ia berjalan menunduk. Sudah tidak ada lagi minatnya untuk mengikuti secara sempurna acara malam ini. Bagaimana mungkin ia bisa menerima laki-laki yang akan dikenalkan padanya hari ini, sementara baru saja menginjak kediaman laki-laki itu, ia masih sempat saja memunculkan sosok Rio di fikirannya. Bukan sekedar memunculkan namun mendominasinya pula.
Ify bengong melihat beberapa makanan yang disajikan keluarga Zeth untuk menyambut kedatangan dirinya dan Ferdy, Papanya. Entah apa yang Papanya dan keluarga Zeth perbincangkan, ia pun tidak tahu. Yang jelas, ia tidak melihat adanya sosok laki-laki lain selain Zeth dan Papanya di sana. Rio? Damn hurt feeling! Rutunya dalam hati. “Vanoo, ayo turun!” Amanda berteriak memanggil anaknya yang kemungkinan besar merupakan sosok laki-laki yang akan dikenalkan ke Ify.
Tak lama, orang yang dipanggil Vano tsb keluar kamar dan bergerak menuruni anak tangga yang berbentuk melingkar di rumah itu. Ia sampai di meja makan dan menyapa orang-orang yang sejak tadi menunggunya. Semua berdiri menyambut Vano, kecuali Ify. Ia masih setia melamun. “Ma, Pa, Om..” Sapa Vano menggantung, ia melirik ke arah Ify. “Fy.” Sambungnya. Ify masih belum menjawab membuat yang lain bingung.
“Fy?” Panggil Amanda mencoba membuat Ify sadar. Hening, tandanya Ify masih belum menjawab. Ferdi, Papa Ify pun menyenggol lengannya pelan. Ify akhirnya tergerak dan linglung melihat Amanda, Zeth, Ferdi dan..Vano. Rio lagi? Gue rasa..gue benar-benar udah gila! Ujarnya dalam hati ketika melihat Vano. Menurutnya, yang sedang ia lihat itu Rio bukan ah ia juga belum tahu siapa. Ia kan melamun sejak tadi. “Fy, kok ngelamun?” Tegur Amanda lembut.
“Hah..eh maaf.” Ujarnya. Ia ikut berdiri melihat sekelilingnya berdiri. “Nah Fy, ini Vano..”
“Rio!” potong Vano atau mungkin Rio. “Eh maksud Tante, Rio.” Ralat Amanda. Ify mengangguk dan sedikit menundukkan kepala menyapa Rio. “Hai, Rio..” Kata Ify tertahan. Aiss namanya sama pula! Eh, nama sama masa wajah juga sama? Hei, dia Rio yang mana? Jangan-jangan.. Ify dengan segera mendongak dan memperhatikan Vano atau Rio atau siapalah lelaki itu, sekali lagi. Seketika matanya membelalak tak lupa mulutnya juga terbuka dan mengeluarkan jerit tertahan.
Ia kaget melihat ‘Rio’ itu memang benar-benar Rio-nya, orang yang menebar wujud di benaknya sejak tadi. Ia melihat orang-orang di depannya bergantian dan terakhir ia menggeleng tak percaya. “Ri..Rio? Pa..Papa..di..dia yang..dia..” Kata Ify terbata. Ferdi menatap Ify bingung setelah sebelumnya mengangguk menjawab pertanyaan terbata anaknya itu. Sekali lagi, jeritnya tertahan di tenggorokan.
***
Tk..tk..KRIIING!!
Jam beker itu tetap bekerja dengan baik. Namun jasanya tidak dibutuhkan pagi ini. Ify, gadis yang seharusnya ia bangunkan telah mendahului dering kerasnya. Ify pun membekam mulut sang jam beker dengan menekan off di balik badan benda itu. Ia masih diam menatap langit-langit kamar, memikirkan apa yang baru saja ia jalani tadi malam. Unbelievable! Batinnya heran. Sekali lagi, ia memikirkan hubungannya dengan Rio sekarang.
Tiba-tiba, sebuah senyum menghias wajah manisnya. “Hei, itu artinya gue berhak atas Rio. Ngapain gue galau? Dasaar, Ify Alyssa! Lo memang bodoh!” Heboh Ify. Ia berjingkrak kegirangan tak jelas. Melihat jam, ia akhirnya bergegas untuk mandi dan melakukan persiapan lain menuju sekolah.
***
“SERIUUUSS?!!” Histeris Via, Agni dan Shilla setelah mendengar penuturan Ify mengenai ia dengan Rio. Ia mengangguk senang. “Ah, pasti Rio nolak! Mana mungkin dia mau?” Sanggah Agni. Ia menyeruput jus jeruknya. Air muka Ify berubah masam. Wajahnya merengut. “Maksud lo, dia gak mau sama gue? Gitu?” Ify lantas membuang muka dan mencibir kesal.
“Eee, bukan itu juga maksud gue!” Bantah Agni. Ia meletakkan jus jeruk yang dipegangnya ke atas meja. Ify masih setia memalingkan wajahnya. Agni mendengus melihat itu. “Iya Fy, mungkin maksud Agni itu Rio, seorang Mario Stevano, REAL, terkenal, mana mungkin lah mau yang kayak gituan.” Sambung Shilla. Via mengangguk begitupun Agni. Ify dengan segera menoleh ke arah teman-temannya. “Lo-lo pada jahat ih, bukannya doain malah nyumpahin.” Kata Ify manyun.
“Ya udah deh, kita doain semoga Rio mau nerima temen kita yang tulalit ini!” Doa Agni. “AMIIN!” Sahut Via dan Shilla. Mereka pun tertawa bersama. Saat itu pula Agni menangkap sosok laki-laki yang beberapa hari kemarin membuatnya penasaran itu. Ia pun mengambil siasat untuk pergi ke suatu tempat. “Eh gue cabut ntar ya!” Pamit Agni tanpa menunggu jawaban dari ketiga temannya. “Eh si Agni mau kemana?” Tanya Via bingung. Shilla dan Ify serentak mengedikkan bahu tak mengerti.
***
Agni berjalan memasuki sebuah ruangan yang cukup sepi. Basket Basecamp. Terlihat di da beberapa orang di dalamnya. Beberapa sedang beristirahat sedang 2 lagi duduk di sebuah meja. “Emm, permisi!” Ujar Agni saat berada di depan pintu ruangan itu. Beberapa sontak menoleh ke sumber suara. Agni perlahan melangkahkan kaki benar-benar masuk ruang Basket Basecamp. “Eh, Ni, ada apa?” Tanya seseorang yang mengenalinya. Ia satu kelas dengan Agni.
Agni garuk-garuk kepala agak grogi. “Gue...eh gue boleh gabung di ekskul basket?” Tembaknya. Ia akhirnya bisa juga mengutarakan maksud dan tujuannya datang ke tempat ini. 2 orang yang duduk di dekat meja saling berpandangan bingung. “Ya boleh lah, bagus kali! Nih, isi aja formulirnya.” Jawab salah satu dari mereka ramah. Agni tersenyum senang sambil mengisi formulir yang diberikan.
“Cakka! Cakka!” Panggil orang yang memberikan formulir pendaftaran pada Agni. Kebetulan saat itu Cakka lewat di depan pintu. Cakka yang mendengar kemudian berhenti dan berdiri di depan pintu. “Ya?” Sahutnya. Agni ikut menoleh ke arah Cakka. Ia menaruh pandangan mutlak kepada apa yang terpajang di leher cowok itu. Kalungnya..sama! Batin Agni. “Nanti siang lo yang trainer anak baru bisa gak? Kebetulan ada 3 orang. Gue mau TO di tempat les gue.”
Cakka menggerakkan kepala memberi isyarat seakan menanyakan mengenai anggota yang lain. “Mereka ikut TO juga. Atau kalo lo gak bisa, hubungi temen-temen lo kelas XI yang lain.” Cakka berpikir sebentar dan lantas menjawab. “Ok, gue bisa Kak!” Ia pun langsung pergi dari basket basecamp. Match! Pikir Agni. Ia juga ikut pamit dari beberapa orang disana dan pergi.
“Eh Ni, jam 3 siang. Jangan ngaret!”
“OK, siip!”
***
    Via menggaris-garis buku dobel folio di depannya dengan rapi. Banyak kolom-kolom yang ia buat. Masing-masing baris diberi judul yang berbeda satu dengan yang lain. Kas, perlengkapan, peralatan, sewa dibayar dimuka, prive dan banyak lagi. Tahukan apa yang sedang ia buat? Yap, dia sedang mengerjakan pr akuntansi yang diberikan Bu Sri di kelasnya tadi. Ia sedang menyelesaikan kertas kerja serta laporan keuangan. Hmm, memang aneh anak IPA tapi belajar akuntansi. Alasannya sih karena anak IPA juga harus bisa mengatur keuangan mereka. Begitulah kata pengantar yang disampaikan Bu Sri dulu.
Via mengerjakan prnya sambil menunggu jemputan.  Papa Via bilang, 1 jam lagi baru dapat menjemputnya. Daripada bosan, ia pun memilih melanjutkan prnya. Hitung-hitung mengurangi beban saat pulang ke rumah. Ia begitu konsentrasi mengerjakan sampai-sampai sebuah seruan keras sekalipun tak terdengar olehnya. “Nih anak konsen amat sih? Heran gue, ckck..” Kata orang yang memanggil Via itu. Ia geleng-geleng kepala heran melihat Via. Ia pun melangkahkan kaki mendekat.
Orang tadi lantas menduduki bangku taman yang kosong tepat di depan Via. Via sedikit tersentak karena tiba-tiba ada orang yang duduk di depannya. Ia beralih ke orang tersebut. Ia lebih kaget lagi mengetahui siapa sosok orang itu. “Iel?” Ujarnya. Iel, orang tadi menatapnya malas. “Haah, lo gue panggil dari tadi juga!” Keluhnya. Via nyengir seraya menggaruk-garuk tengkuknya menggunakan ujung pensil. “Sorry, hehe..”
“So, lo ngapain? Nyari gue?” Lanjut Via. Iel berganti dari air mukanya yang malas dan kesal menjadi lebih cerah. “Gue malas pulang.” Balas Iel nyengir pula. Yaelah, kirain nyari gue. Udah kepalang senang juga -_- Batin Via gondok. Ia dengan segera kembali pada tugas akuntansinya. Tangannya bergerak menulis angka-angka yang tak bisa dibilang bernilai sedikit. Ada yang ratusan ribu bahkan sampai puluhan juta. Melihat itu, Iel pun mendecak kesal. “Heh, gue gak lagi jual es kacang!” Kesal Iel dan langsung merenggut pensil yang tadinya Via gunakan. Via lantas mendongakkan kembali kepalanya menghadap Iel.
“Iiih, Yel, balikin. Setengah jam lagi bokap gue jemput!” Pinta Via sambil berusaha merebut kembali pensil angry bird-nya. “Ya udah, suruh bokap lo gak usah jemput!” Suruh Iel, lagi. Via mendesah pelan melihat Iel. “Trus, gue pulang sama siapa? Gimana sih!”
“Gue yang nganter.” Ujar Iel. Via diam menatap lekuk wajah cowok manis itu. “Jangan bercanda!” Balas Via. Ia merogoh kotak pensilnya mengambil pensil yang lain. Ia kembali menulis. Lagi-lagi, Iel merenggut paksa pensil Via itu. “Iss, apa sih?!” Rutu Via mulai kesal. Ia refleks menutup buku akuntansinya. Nih orang ganteng-ganteng rese! Eh? Batin Via. Iel pun tersenyum senang melihat itu. “Tanpa gue bilang lo udah ngelakuin.” Katanya senang.
Via merutuki dirinya sendiri. Bodoh! Katanya dalam hati. Ia hendak membuka kembali bukunya namun tangannya kalah cepat dengan tangan Iel. Satu lagi barang-barang Via yang diambil alih oleh Iel. “Nih sekalian kotak pensil sama tas gue lo ambil juga! Kasihan banget idup lo mulung barang orang, ckck.” Kata Via mengejek seraya menyodorkan tas nya ke Iel. Iel menerima dengan tangan terbuka benda-benda itu. Ia memasukkan satu-persatu Buku, pensil beserta tempatnya ke dalam tas Via. “O.K!” Ujar Iel sambil tersenyum nakal. Ia langsung lari membawa tas itu tanpa sepersetujuan sang empunya.
“HIYAAA IEELL BALIKIN TAS GUEE!” Pekik Via. Ia lantas mengejar Iel hendak mengambil tasnya. Hahai, mainan baru! Batin Iel girang.
***
 “Yo, ke cafe dulu yok sebelum pulang?” Bujuk Ify pada cowok manis di depannya. Rio sama sekali tak menggubris ajakan Ify. Ia teramat kesal dengan apa yang ia alami sekarang. Ia malah lebih menaruh minat membalas sapaan beberapa gadis yang berkali-kali menyapanya saat ia melintas. “Gue gak mau!” Tolak Rio. Ia tetap fokus berjalan menyusuri koridor sekolah yang masih agak ramai itu. “Laper. Ayolaah?” Bujuk Ify lagi.
“Gue gak.” untuk kedua kalinya Rio menolak. Ify mencibir kesal. “Tapi gue iya!” Ify pun tetap kekeh agar Rio menuruti permintaannya. Ia kini berjalan mundur sambil menghadap Rio. Rio masih keras kepala dan memalingkan wajahnya dari Ify. Hal itu membuat Ify menyerah membujuk Rio lagi. Ia menunduk pasrah namun masih dalam keadaan berjalan mundur. Ia hendak memutar badannya bertepatan dengan sebuah bola basket yang melambung menuju ke arahnya.
Buk!
Bola basket itu beradu keras dengan kepala Ify, tepatnya di bagian pelipis. Hal itu membuat kaki Ify berputar menyilang tak wajar dan badannya pun oyong. Pergelangan kaki kirinya terasa nyeri dan tak sanggup menahan setengah badannya. Lebih-lebih ditambah dengan kepalanya yang baru saja berciuman dengan bola basket. Jangan salah, bola basket itu cukup berat lo? Dan sakit juga kalau diadukan dengan kepala.  Entah ada angin apa Rio langsung menangkap tubuh Ify yang hampir terduduk.
Ify memegangi kepalanya yang terasa nyeri luar biasa. Pusing? Sudah pasti. Tapi tidak sampai pingsan, itu terlalu dan hiperbola. “Eeeh jangan pingsan dong! Berat nih!” Protes Rio. Ify menoleh ke sebelah, masih dengan mengelus pelipisnya. Ia seperti percaya tidak percaya dengan adanya Rio di sampingnya itu. Memegang bahunya. Baca itu, memegang bahu Ify! Ia melihat sekeliling yang rata-rata melihat ke arahnya, juga Rio. Kemudian ia memandang kakinya dan menggerak-gerakkannya pelan.
Merasa kakinya baik-baik saja ia pun menjauhkan tangan Rio dari bahunya. Baru setengah langkah, muncul rasa nyeri di pergelangan kaki kiri Ify saat dibawa berjalan. Ia hampir jatuh kembali dan untuk kedua kalinya Rio menahan Ify dengan memegang bahunya. “Apa yang sakit?” Tanya Rio mendadak lembut. Hei, the first time ever right? Kepala Ify masih pusing. Ia tak bisa berfikir apapun. Bahkan untuk merasakan senang dengan perlakuan Rio padanya saja tak bisa. Ia hanya memandang lesu kakinya itu. “Yo..kepala gue..pusing..” lirihnya.
“Terus kenapa lo gak bisa jalan?” tanya Rio lagi, agak bingung. Ify hanya merengut menunjukkan sifat khas anak kecilnya. “Kaki gue keseleo,” Kata Ify lemah, benar-benar seperti anak kecil. Yah, memang begitulah karakter Ify. Polos, layaknya anak kecil. Rio mendesah pelan. Ia mendudukkan Ify di sisi pembatas tepi koridor. Ify menurut saja karena ia pun merasa lelah sekali untuk berdiri lebih lama lagi, dengan satu kaki.
Sang pelaku pelempar bola lekas datang dan meminta maaf. “Eh Yo, Fy, sorry banget. Gue lepas kontrol tadi.” Ujar orang itu. Ia juga mengenali Rio dan Ify. “Gak papa, sana lanjutin main lo.” Kata Ify asal. Ia malas mendengar penuturan lebih lanjut dari orang itu. Rio memberikan bola basket tadi pada orang tersebut. Ia kembali fokus pada Ify. “Beneran gak bisa jalan?” Tanya Rio lembut, lagi! Ify menatap Rio bingung namun segera menjawab, “Mungkin.”
“Gue bantu?” Ify mulai merasa Rio aneh. Sungguh berbeda dengan Rio yang bersamanya beberapa menit lalu. Namun, ia juga tak begitu acuh akan hal itu. Ia lebih mengacuhkan diri dengan rasa pusing di kepalanya yang menderanya dan tak kunjung hilang. “Mungkin.” Kata itu lagi yang bisa diucapkannya. “Kosakata lo mungkin doang?” Ify menghembuskan nafasnya singkat. “Mungkin.” Pasrahnya. Mendengar itu, Rio cuma bisa menggelengkan kepala heran.
***
Shilla baru saja memasuki kamarnya. Ia meletakkan tas miliknya di sebelah meja belajar miliknya. Ia kemudian merebahkan badannya di kasur tanpa menukar pakaian terlebih dahulu. Hari ini sungguh lelah buat Shilla. Namun, hari ini juga menyenangkan untuknya. Jelas! Ini hari dimana hubungannya dengan Alvin tepat berusia 6 bulan. Setengah tahun yang lalu merupakan hari dimana Alvin menyatakan cintanya ke Shilla. Sayangnya, ia mengatakan itu pada saat ia harus pindah sekolah mengikuti sang ayah.
Senyum mengcoveri wajah Shilla ketika ia mengingat itu semua. Ia merogoh ponsel dan melihat ke galeri foto. Tepatnya galeri foto dirinya dan Alvin kemarin. Ada saat mereka meniup lilin, foto ketika mereka sama-sama menoleh dan tersenyum, Alvin memeluk Shilla dan yang terakhir terlihat Alvin mendaratkan sebuah kecupan tepat di pipi kanan Shilla. Shilla terlihat shock disana. Lagi-lagi Shilla tersenyum melihat itu.
Tiba-tiba ada sebuah panggilan masuk. Siapa lagi kalau bukan Alvin. Ia menekan tombol yes dan segera menempelkan ponsel itu di telinganya. “Happy Anniv yaa cantik-ku sayaang!” Seru Alvin di seberang sana. Shilla terkekeh geli mendengar itu. “Haha, iyaaa sipitkuuu! Happy anniv juga ya sayaaang!” Kata Shilla tak kalah heboh. Mereka sama-sama tertawa.
“Lagi apa?” Tanya Alvin lembut. Shilla kembali tersenyum sehingga wajahnya terlihat begitu manis sekarang. “Baru pulang sekolah, tayaang. Capeek!” Jawab Shilla manja. Terdengar tawa Alvin di telepon. “Masa? Mentang-mentang lagi anniv, manggilnya sayang-sayang nih? Biasa juga lo-gue.”
“Hehe, iya dong. Gak papa lah sekali-sekali!”
“Ya deh cantik-ku. Tadi katanya capek?”
“Emang capek ini,”
“Ya udah gih istirahat dulu. Ntar sakit lagi.” Suruh Alvin. Shilla masih setia dengan senyumnya. “Jadi, sipit gak suka teleponan sama cantik nih?”
“Yaah, bukan gitu sayangkuu.”
“Ya deh ya deh. Aku tidur dulu ya sipitku!” Ujar Shilla hendak mengakhiri pembicaraan. “Ok deh, tidur yang nyenyak cantiik. Mimpikan sipit lo ini yaa!”
“Iya deh iya.”
Klik. Shilla memutus panggilannya dengan Alvin. Ia melihat foto-fotonya dan Alvin kembali. Kapan ya gue bebas majang nih foto? Hmm..ya udahlah. Yang penting dia udah bikin gue senang selama ini. Batin Shilla. Ia merentangkan kedua tangan sekaligus meletakkan BB-nya asal. Ia tak bisa berhenti tersenyum, khususnya untuk hari ini. Dalam sekejab ia pun terlelap.
***
“Yel, balikin tas gue!” Rengek Via. Ia lelah mengejar Iel terus-menerus. Ia menyerah. Tenaganya cukup terkuras akibat cowok ini. “Lo sih cari perkara ama gue!” Sungut Iel. Via menghembuskan nafas cepat. “Hadeuh, gue nyerah deh. Capek, sumpeh!” Pasrah Via. Nafasnya masih tersengal-sengal akibat berlari tadi. Bukannya mengembalikan tas, Iel malah tertawa puas melihat Via. Tak ayal, Via mendelik ke arah Iel kesal.
Via baru mau buka suara namun ia kalah cepat dengan dering ponsel milik Iel. Iel menyampingkan tas Via sebentar seraya menjawab panggilan masuk di ponselnya. “Haloo sayaang, kenapa?” Ujar Iel pada si penelepon. Saat itu pula Via terdiam. Tak ada lagi nafas satu-satu dari Via karena semua seolah dibuat berhenti. Ia melihat nanar wajah Iel yang kini tersenyum sumringah. Entah apa yang Iel bicarakan ia sudah tidak begitu peduli, tak ingin malah. Sekarang Via hanya melihat Iel baru saja menutup telpon dan mengembalikan tasnya.
Via menerimanya lesu. Berbagai rasa berkecamuk di hatinya saat ini. Ia memalingkan pandangan ke tasnya saja, tak ada niat memandang se pemberi. Ada sih tapi...yah begitulah. “Gue cabut dulu piaa. Thank’s udah bikin gue ketawa!” Tak peduli komentar Via, Iel lantas pergi begitu saja. Via melihat Iel yang semakin lama semakin jauh dari pandangan mata. Bahkan kini sudah menghilang. “Mau ngantar pulang? Bullshit!” Via mengenakan tasnya dan beranjak dari tempatnya sekarang. Gue..cuma mainan. Batin Via lirih.
***
“Teknik mengoper bola itu ada 3, over pass, chess pass dan bounce pass. Over pass artinya operan kepala, mengoper bola dari atas kepala. Chess pass itu operan dada, dari dada ke dada. Lo, maju. Gue mau kasih contoh.” Cakka menjelaskan satu-persatu teknik-teknik dasar dalam permainan basket. Kemudian ia menyuruh 1 dari 3 juniornya maju membantu memberikan contoh. Cakka pun mendemonstrasikan bagaimana itu over pass dan chess pass. 2 juniornya hanya  membulatkan mulut membentuk huruf O. Sementara yang satu lagi, diam tanpa reaksi apapun.
“Lo..” Tunjuk Cakka pada juniornya yang diam itu seraya mengingat nama junior tersebut. ”Agni.” Potong Agni, junior tadi. Masa sih dia lupa sama gue? Tanya Agni dalam hati. Ia memandang Cakka biasa sementara Cakka memandangnya penuh tanya. Cakka menatap Agni lekat-lekat mencoba lebih mengenali. Ia merasa tidak asing dengan pandangan mata gadis itu. Bahkan sosok Agni. Ah, dia temen Shilla. Pantes gak asing. Pikirnya.
“Kenapa?” Tanya Agni yang kemudian bingung. Cakka menggeleng pelan seraya menjawab. “Gak, gue ngerasa kenal lo. Lo temen Shilla kan?” Agni pun mengangguk. Ia tipikal cewek yang malas untuk berbicara panjang. Maka tak jarang, orang-orang meragukannya apakah ia benar seorang cewek. Terutama kalangan cewek itu sendiri. Secara, ia tak pernah sekalipun terlihat mengenakan rok selain rok sekolah. Berdandan pun tidak. Setiap hari, ia ke sekolah dengan seadanya. Tanpa bedak, pita, gelang dan riasan apapun yang terpampang di badan. Hanya anting di telinga kanan-kirinya, satu-satunya yang bisa menunjukkan bahwa ia memang perempuan.
Agni tak fokus mendengarkan apa yang Cakka jelaskan. Ia hanya lebih terkonsentrasi pada kalung cowok itu. Kalung yang membuatnya ingin mencari tahu tentang cowok ini. Hingga satu jam berlatih, mereka pun beristirahat. Cakka mengambil air mineralnya dan duduk di tepi lapangan begitu juga dengan yang lain. Agni pun mengambil tempat di dekat Cakka. Sekali lagi, ia memperhatikan kalung cowok itu. “Kalung lo..bagus.” Pujinya.
Cakka berhenti meneguk air mineral dan menoleh ke samping, tepatnya ke Agni yang kini tengah meminum pocari sweat nya. Cakka memandangnya bingung. “Sebagus itukah makanya lo ngeliatin kalung gue daritadi?” Tanya Cakka. Agni menjeda acara minumnya dan menoleh ke Cakka sebentar kemudian beralih pada botol pocari di tangannya. “Gue ketahuan rupanya.” Balas Agni. “Tapi, kalung lo memang bagus.” Lanjut Agni.
Cakka mengedikkan bahunya tanpa membalas. Ia lalu menselonjorkan kaki dan menopang badan dengan tangannya di lantai. Sementara Agni, ia meletakkan botol pocari sweat yang tadi ia pegang kemudian menekuk lutut seraya memeluknya. Mereka sama-sama tenggelam dalam pikiran masing-masing. Masing-masing? Hmm, not at all guys. Cause at the fact, they are thinking about the same thing.
***
Akhirnya selesai juga part 4 nya. Next kayaknya ngaret lagi hehe. Mau mid semester jadi lagi sibuk-sibuknya ini o,o Terimakasih kepada yang sudah berniat membaca cerbung yang makin part makin gaje ini haha =D
Jelek ya? Haha, saya tahu kok. Maklum saya bukan penulis. Maafkan ke gajean dan ketidakbagusan cerita, ini hanyalah fiksi belaka. Makasih =)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar