-->

Minggu, 25 Maret 2012

Matchmaking Part 8

Part panjang kembali datang. Bosan ya bosan ya? Kalo iya biar tak tamatin aja hehe. Part ini agak galau, so persiapkanlah lagu yang galau juga sembari membaca.
Hop hop langsung saja yaw, semoga isinya tidak mengecewakan pemirsah!
***
Mati deh guee!! Teriak Via dalam hati. Ia panik bukan sekedar karena terkunci di ruang musik melainkan dengan siapa ia terkunci. Yap, bersama Iel. Itu jauh lebih membuatnya panik. Via menarik nafas dalam-dalam sambil mencoba menenangkan dirinya sejenak. Ia kembali mencoba membuka pintu di hadapannya. Dan, yah memang pintu itu benar-benar di kunci dari luar. Via meringis sambil menempelkan keningnya di permukaan pintu.
“Vi, lo ngapain berdiri depan pintu? Mendingaan, lo duduk di sebelah gue dan nyanyiin lagi tuh lagu.” Ujar Iel seraya menepuk-nepuk kursi seperti menyuruh Via mendudukinya. Via menegakkan kembali kepalanya dan berbalik badan. Ia tak punya pilihan lain. Ia lalu mengikuti saran Iel untuk kembali duduk di kursi itu. Via berjalan gontai hingga benar-benar sampai dan duduk.
Via menghentakkan telapak kaki kanannya ke lantai. Ia kesal, niatnya ke ruang ini kan hanya untuk menghilangkan kebosanan? Bukan untuk terkurung bersama Iel. “Heh, lo kayak TKW disiksa tahu gak cemberut gitu?” Ledek Iel. Ia terkekeh sambil mengatakan itu. Via menatapnya sinis. “Dan gue bakal bikin lo ngerasain jadi TKW itu, mau lo? Hah?” Mangas Via. “Yee santai aja kali!” Balas Iel. Ia berdiri menghadap Via dengan kedua tangan yang dimasukkan ke saku. Ia memandang gadis yang kini sedang menumpu dagu itu heran.
“Lo kenapa sih? Juteek mulu! Salah gue apa coba?” Via sedikit terkesiap mendengar itu. Ia menoleh dan menatap remeh Iel. Salah lo? Yel, Yel, apapun salah lo ke gue, lo juga gak bakal peduli! Batinnya miris. “Lo gak merasa salah kan? Ya udahlah!” Kata Via melengos ke arah lain. “Justru itu, gue nanya salah gue apa ke lo? Kenapa lo tiba-tiba jutek sama gue?” Desak Iel. Ia kembali duduk di kursi. “Iss, gak nganggu lo juga kan? So what?!” Kata Via mengelak.
“Gak nganggu gimana? Tiap ketemu gue, lo buang muka. Tiap ada gue, lo pergi. Gue risih kali!” Ujar Iel tak terima. Via menatapnya datar. Risih? Oh..cuma itu. Kirain, ckck. Batin Via. “Hmm, inget-inget sendiri lah salah lo apa. Gue malas jelasin. Ujung-ujungnya lo bakal bilang ‘Oh’ dan ‘Ya udah gue minta maaf’. Ckck, basi tahu gak!” Via mengambil Ipodnya lagi dan mulai memilih-milih lagu. Iel menyerah terus memaksa Via mengatakan kesalahannya. Ia akhirnya berusaha sendiri dengan mengingat-ngingat kejadian-kejadian yang melibatkan dirinya dan gadis itu.
Ia pun ingat kejadian di koridor lalu saat Via menabraknya yang berakhir dengan sorakan-sorakan orang di sekitar. Ia sudah tahu kesalahannya sekarang. “Jadi lo marah karena kejadian di koridor itu?” Tanya Iel memastikan. “Hmm, pinteer!” Jawab Via malas seraya tersenyum dipaksa. Iel menghela nafas singkat. “Yaelah, itu kan cuma masalah sepele?” Via menoleh kembali dan kali ini benar-benar tersenyum.
“Sepele? Hmm, berdiri di depan umum, di soraki habis-habisan. Kemanapun lo melangkah, setiap pasang mata memandang lo, mencibir lo, meledek lo bahkan ada yang mencerca lo. Haha, menjadi bahan tertawaan memang masalah sepele.” Kata Via tertawa hambar. Ia melipat kedua tangannya di dada. Sedetik kemudian, ia meraba-raba bagian kantongnya hendak mengambil ponsel. Tapi sialnya, ia baru ingat tadi pagi ia menaruhnya di tas. Ia hanya bisa meringis meratapi kemalangannya hari ini.
“Okedeh gue ngaku salah meskipun gue ngerasa gak salah!” Ujar Iel terpaksa. Ia tidak melihat ke arah Via karena sudah agak jengkel dengan perilaku gadis itu. “Hh, apa nih? permintaan maaf?” Cerca Via. Ia jadi ikut jengkel, lebih parah malah. Ia geleng-geleng kepala sendiri melihat pemuda di sampingnya itu.
“Vi, tolonglah! Gue berasa jadi pelaku tindak kriminal tahu gak?!” Sungut Iel yang mulai putus asa menghadapi Via. Via sendiri hanya menatapnya tanpa ada rasa bersalah sedikitpun. Ya jelas, toh pemuda ini yang bersalah bukan dirinya. “Lah, hubungannya sama gue apa?” Balas Via. Iel melengos dan membuang nafasnya kesal. “Iss, lo kayak anak kecil aja sih ngambek-ngambekan?!” Ujar Iel lagi.
“Yee, emang gue masih anak kecil! Kalo gue udah gede, gue udah punya anak kali!” Kata Via mengiyakan saja. Iel melongo memandang gadis ini dengan tatapan tak percaya. Ya biasanya kan kalo cewek dibilangin seperti itu langsung mencak-mencak dan marah-marah gak jelas. Tapi kali ini beda, sang cewek malah bersikap biasa dan asal terima tudingan itu. “Argh gue frustasi gimana lagi ngadepin lo! Lebih-lebih dari ujian nasional ini mah, ckck..” Serah Iel dan geleng-geleng kepala sendiri.
“Siapa suruh?!” Sungut Via lagi-lagi ia melengos. Ia masih setia melipat kedua tangannya di dada. “Nih ya, daripada lo frustasi ngadepin gue, ngomel-ngomel gaje, mending lo telpon siapa kek gitu, suruh tuh orang ngeluarin kita dari sini!” Lanjut Via. Ia kembali berdiri dan menghadap ke arah Iel. Iel balas menatapnya sambil berkacak pinggang. “Maafin gue dulu!” Sungut Iel yang terkesan memaksa. Via lalu menatapnya datar. “Ada palu gak?” Tanya Via dengan nada datar pula.
“Gak usah ngalihin pembicaraan! Buat apa nyari palu-palu?” Bantah Iel.
“Buat ngetok kepala lo tuh, biar gak keras! Biar sekalian gue buat lo amnesia dan gak nganggu gue lagi, lahir batin!” Via melangkah turun kembali dari panggung. Ia malas berdebat lagi dengan Iel. “Lo kate suami-istri bawa-bawa lahir batin segala?” Serah Iel. Ia hanya memandangi kemana gadis itu melangkahkan kaki. “Amin!” Celetuk Via namun samar-samar terdengar oleh Iel. “Lo ngomong apa barusan? Amin?” Tanya Iel langsung. Via langsung menutup mulutnya dan tak berusaha menoleh ke arah Iel.
“Bukan! Gue bilang Tukimin!” Bantah Via asal. Kening Iel mengernyit bingung. “Siapa tuh, pacar lo?” Celetuk Iel. GUBRAK! Batin Via. Ia menepuk jidatnya heran. “Serah, pacar pacar deh..” Sahutnya yang terdengar pasrah. Pacar? Ahelah muka kota, pacar orang dusun! Gak, gue gak rela. Enak aja mainan gue diambil?! Sama siapa lagi tuh tu..tu apa? Tukimin? Ah serah deh Tukimin kek, Parmin kek, Paijo ah pokoknya gue gak rela! Batin Iel berontak. Ia ikut turun menyusul Via yang sudah duluan.
 “Vi..” Panggil Iel. Via seketika berhenti mendengar itu. Suara Iel terdengar dingin dan..sedikit membuatnya merinding. Ia mencoba bersikap biasa dan berbalik badan menghadap Iel. “Ap..” Kata-katanya terpotong melihat Iel yang menatapnya datar namun tajam dan terus saja mendekat. Ia menelan salivanya sendiri dan mulai merasa ketakutan. Ia masih diam dan mencoba berfikir jernih. “Apaan sih?” Tanya Via pura-pura jutek. Iel terus saja mendekat tanpa mengindahkan pertanyaan Via.
Melihat itu perlahan-lahan kaki Via melangkah mundur satu demi satu. “Lo..lo kenapa?” Via mulai kelihatan panik dan takut-takut. Ia masih berjalan mundur sementara Iel makin maju mendekatinya. Iel masih saja setia dengan tatapan ‘mematikan’ itu. “Eh lo..lo jangan..macem-macem ya? Gue laporin lo ke..”
“Lapor ke siapa? Lo bisa apa dengan terkunci disini sekarang hah?” Potong Iel. Ia menatap Via makin tajam, setajam silet mungkin (?) Buset dah ni anak mau ngapaiin?! Tukimiiin eh siapapun tolongin gue! Batin Via ngelantur. Ia memegang tengkuknya yang sudah merinding dari tadi berikut sekujur tubuhnya. “Lo..lo..mau..ngapain?” Kata Via terbata mengingat ia semakin dekat ke dinding. Iel tersenyum nakal. “Gue? Gue mau lo!” Ujarnya.
Dan tepat pada saat itu, Via sudah mentok ke dinding. Ia terpojok sekarang. Jantungnya sudah berdebar tak karuan. Ia menggeleng keras berharap pikiran buruknya tidak benar-benar kejadian. Air mukanya sudah sangat-sangat terlihat panik + ketakutan. Iel semakin dekat dan kini tangan kanannya menumpu di dinding. Sementara tangan yang satu lagi bergerak mengelus-ngelus wajah Via mulai dari kening sampai pipi. Ia sesekali menghalau rambut Ify yang menjuntai ke depan dan yang ia rasa ‘mengganggu’.
“Heh, lo mau ngapain?!” Bentak Via yang sudah kalap. Ia ingin menepis tangan Iel dari wajahnya namun malah tangannya yang tertangkap. Ia masih berusaha tenang karena masih ada satu lagi tangannya yang bebas. Via kembali berusaha melepas cengkraman Iel pada tangan kanannya dengan menggunakan tangan kiri. Sial! Bener-bener mati deh gue! Batin Via. Ia sudah pasrah kini. Ya, mau buat apalagi? Kedua tangannya sudah tergenggam.
Iel kemudian menghentakkannya ke dinding. Jadilah, Via seperti tawanan sekarang. “SIAPAPUN DI LUAR TOLONGIN GUE!!” Teriak Via berusaha meminta tolong. Iel kembali menatapnya tajam. “Diem atau gue berbuat ‘lebih’ dari ini?!” Ancam Iel. Via tersentak dan diam seketika. Ia ketakutan melihat Iel. Ia membuang muka dan membuat Iel geram. “Liat gue!” Paksanya. Via hanya menggeleng keras. “Liat atau..” Gantung Iel. Via memaksakan diri menoleh dan menatap Iel lagi. Ia sudah keringat dingin, wajahnya pun terlihat pucat ditambah dengan kulitnya yang sudah putih.
Via kemudian lebih memilih menutup mata dibanding harus melihat Iel lagi. 1..2..3 detik berikutnya.. “HAHAHA!!” Tawa Iel meledak dan sepertinya begitu terngiang di kepala Via. Ia terdiam. Tubuhnya terasa kaku. Matanya membuka seketika dan memandang dengan pandangan kosong. Kedua tangannya sudah bebas dan terjuntai ke bawah. “HAHAHA MUKA LO VI HAHA LUCU ABIS!!” Iel masih saja terbahak tanpa peduli dengan perubahan sikap Via.
Perlahan tapi pasti tubuhnya turun ke bawah. Ia berjongkok seraya menekuk lutut. Ada sesuatu yang baru beberapa detik lalu merasuki fikirannya, sesaat setelah ia mendengar Iel tertawa. Tubuhnya bergetar dan ia terlihat mulai menangis. Tak hanya itu, Via juga mengucap-ngusap beberapa bagian tubuhnya kasar. Ada sesuatu yang membuatnya jijik yang mungkin melekat di sana. Iel kemudian melihat dan mulai menyadari ada yang tidak beres dengan Via. Ia ikut-ikutan berjongkok menghadap gadis itu.
“Vi! Vi! Lo kenapa?” Panik Iel. Ia memegang pundak Via. Via menatapnya sebentar. Ia seperti orang linglung. Sejurus kemudian, ia mendorong keras Iel agar menjauh darinya. “Vi, lo..lo kenapa? Gue cuma bencanda lagi!” Jelas Iel. Via tak peduli dan masih meringkuk di dekat dinding. Ia berhenti mengusap dan kembali memeluk lutut seraya menundukkan kepala.
***
“Via..” Gumam Ify tiba-tiba. Heh? Kenapa tiba-tiba inget Via? Batin Ify bingung. Ia menggaruk-garuk pelipisnya yang tak gatal. Rio menoleh dan lantas bertanya. “Kenapa?” Tanya Rio meski terlihat tidak begitu tertarik. Tapi, sebenarnya itu hanya bohong belaka. Dalam hati, ia sangat menunggu apa yang akan dikatakan gadis di sebelahnya. Hahai, sudah mulai bertunaskah rasa itu di hatimu pemuda manis? Entahlah, hanya ia dan Tuhan yang tahu.
“Ah..enggak. Gue keinget Via, gak tahu kenapa.” Jawab Ify sekaligus membuat Rio berhenti dengan aksi menunggunya. Ia tidak bereaksi lagi dan fokus menyetir. “Eh cepetan turunin gue, gue musti cepet-cepet nemuin Via. Perasaan gue gak enak.” Pinta Ify. Air mukanya terlihat gusar. Ia sudah mengambil ancang-ancang akan membuka pintu mobil. Rio menoleh sekilas. “Lo turun bareng gue di dalem!” Kata Rio datar namun terdengar tegas. Satu lagi perubahan sikap Rio padanya, yang membuat Ify makin bingung.
“Hah? Baiklah..” Serah Ify. Benar saja, Rio dengan santai memasuki sekolah dan memarkirkan mobil. Tak sampai disitu, baru saja Ify hendak membuka pintu mobil, Rio sudah terlebih dahulu membukanya dari luar. Ify sempat melongo melihat perlakuan Rio itu. Ia menatap pemuda itu dari bawah ke atas. Rio yang bingung dengan Ify tak juga keluar pun menoleh. “Lo mau keluar atau gue kunci?” Ujar Rio.
Ify mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali. “Eh iya-iya..” Ify lekas turun dan menunggui Rio menutup pintu mobil serta menguncinya. Rio kemudian menoleh ke arahnya dan kembali bingung. “Apa?” Tanya Rio datar. Ify tersentak dan langsung menjawab. “Hah? Eh..enggak.” Katanya salting. Ia berjalan duluan. Dari belakang, Rio terkekeh pelan melihat tingkah Ify itu. Ia pun berjalan sekitar satu meter di belakang Ify.
Ify merogoh ponsel yang ada di sakunya dan segera menghubungi Via. Ia menjentik-jentikkan jari sembari menunggu panggilannya di respon. Ini sudah kedua kalinya dan Via tak jua menyambut. Ify menghembuskan nafas panjang. Tak biasanya Via tidak mengangkat telpon darinya. Tiba-tiba ponselnya bergetar. Tanpa memeriksa lagi ia langsung menjawab panggilan yang masuk ke ponselnya itu. Ya, ia kira itu Via. “Halo Vi..”
“Hai..” Kata-kata Ify terpotong oleh suara yang muncul dari dalam ponselnya. Seorang cowok. Suaranya lembut tapi..mengerikan. Ify sendiri sempat merinding saat pertama kali orang itu buka suara. Ia menatap layar ponselnya dan bukan nama Via yang tertera di sana, melainkan sebuah nomor yang tak dikenal Ify. Sementara itu, Rio sedari tadi memperhatikannya dari belakang. Ia bingung dengan Ify yang tiba-tiba berhenti.
Ify memberanikan diri menempelkan kembali ponselnya ke telinga. “Ha..halo? Si..siapa ya?” Tanya Ify takut-takut. “Gak usah takut gitulah. Eh gue bisa ngeliat lo, loh!” Seru orang itu. Ify mengernyit bingung. “Hah?” Hanya itu yang keluar dari mulutnya. “Haha, iya. Sekarang, di sebelah lo pasti ada Rio!” Kata orang itu. Ify terlonjak sedikit dan refleks melihat ke samping. Dan..benar saja, Rio sedang berdiri menatapnya heran. Ia mengalihkan pandangan ke arah lain.
“Rambut lo terurai ke samping, cantik deh!” Goda orang itu. Ify memegang rambutnya dan baru sadar rambutnya dominan berada di sisi kanannya. “Lo gak pake dasi, baju lo juga keluar. Wah nakal yaa!” Orang itu terkekeh. Kembali, Ify memandang ke bawah memastikan apa yang dikatakan stalker itu. Ify menjauhkan ponselnya dari telinga dan memandangi benda itu bingung. Ia lalu bergidik ngeri. “Lo siapa sih? Jangan ganggu gue!” Gerutu Ify. Ia memutus panggilan segera.
“Lo kenapa?” Tanya Rio yang sedari tadi bingung. Ify menoleh dan menjawab. “Ada orang aneh nelpon gue, hiii!” Ujarnya sambil mengedikkan bahu. Rio hanya geleng-geleng kepala dan kembali berjalan, begitu pula Ify. Ia menumpu dagu dengan menggunakan ponsel. Tiba-tiba benda itu kembali berdering. Ia begitu terkejut dan hampir saja menjatuhkan BB-nya. Pasti orang aneh itu lagi, hiii! Batin Ify menduga-duga.
Ify menjauhkannya segera dan memberikan BB itu pada Rio. Sedikitpun tak ada niat Ify untuk mengangkat panggilan baru di BB-nya.  “Heh, kenapa di kasih ke gue?” Ify menoleh dan menunjuk-nunjuk BB-nya. “Itu..itu pasti orang aneh tadi! Gue takut ngangkatnya.” Jelas Ify. Rio mendengus dan memeriksa BB yang berdering di tangannya. Seketika itu pula ia memutar kedua bola mata jengkel. “Ini Gabriel, bego!” Rutu Rio. Ify lagi-lagi kaget dan segera memeriksa ponselnya. Sebelum itu, ia menyempatkan diri menghela nafas karena lega.
“Halo?” Sapa Ify pada Iel yang tiba-tiba menelpon. Ia diam sebentar. Sesaat kemudian, matanya membelalak mendengar apa yang Iel katakan disana.
***
“Eh lo beneran ya mereka bakal baik-baik aja di dalam sana? Kalo sampe kenapa-kenapa, ada sahabat gue tuh!” Rutu Agni yang merasa khawatir dengan tindakan Cakka mengunci Via dan Iel di ruang musik. Cakka hanya tersenyum dan terkekeh pula. “Heh, malah ketawa nih orang! Itu nasib temen gue gimana?” Sentak Agni, menunjukkan sikap aslinya, galak dan ‘laki’. Cakka masih saja terkekeh melihat Agni. Agni menjadi bingung sendiri dan garuk-garuk kepala.
“Apaan sih lo? Gue manis? Emang iya, lo baru sadar, hah? Tapi kalo lo bilang gue cantik, gue tonjok lo! Gue tahu gue gak cantik.” *Juststory-_-V* Tawa Cakka pun meledak. Agni makin tak mengerti dengan sikap Cakka itu. “Ni anak kenapa sih?-_-” Gumamnya. Cakka sudah berhenti tertawa dan menghadap Agni. “Gila, gue baru tahu lo aslinya galak haha. Gue kira lo tuh cewek feminim tahu gak!” Ujar Cakka disisa-sisa tawanya.
“Lo baru sadar? -_- Darimana pula lo nyimpulin gue feminim? -__- Wong jalan aja ngangkang gini, ckck..” Agni geleng-geleng kepala lagi. Ia heran kenapa Cakka bisa menyimpulkan dia gadis feminim. “Nah, kalo gini kan enak. Gak ada canggung-canggungan, gak ada salting-saltingan! Haha” Tawa Cakka lagi. Agni memandangnya heran. “Salting? Emang lo salting depan gue? Kapan? Waktu lo mau nyium gue?” Tanya Agni polos.
Saat itu pula tawa Cakka meredam. Nih cewek polos bener daah! Aib gue ituu -_- Febby tahu bisa jadi bola basket ntar gue. Batinnya. Cakka lalu nyengir kembali. “Lo kali salting depan gue??” Goda Cakka. Agni, kesekian kalinya gadis ini dibuat tak mengerti. “Lah kok gue? Kan waktu itu gue yang nahan lo buat gak nyium gue? Lo yang garuk-garuk kepala kan?” Polos Agni, lagi.
GUBRAAK! Gigit meja gigit meja dah guaa -__- Batin Cakka gondok. Kalau di kartun-kartun mungkin ia sudah tertimpa besi 24 karat eh 24 kilo atau mungkin sudah terjungkang dari kursi. Sayangnya dia manusia bukan kartun dan jikalau ada yang menimpanya yang pasti bukan besi melainkan dedaunan mungkin atau malah kotoran burung yang kebetulan terbang ke arah sana. “Iya..iya serah lo deh, Ag. Nyesel pula gue bahas ini, ckck..” Serah sekaligus pasrah Cakka yang terlihat meringis.
Drrt..
BB Agni bergetar karena ada panggilan masuk. Ipii. Nama itu lagi yang muncul. Agni segera menjawab panggilan itu. “Halo, Fy?” Sapa Agni. Ia diam sebentar lalu kembali bersuara. “Ke..ke ruang musik? Ngapain?” Tanya Agni gugup. Ia langsung menoleh ke arah Cakka yang kini sedang memandang ke arahnya pula. Ia diam lagi. Sedetik kemudian matanya membelalak. “APA?!”
***
“Vi..Vi..lo kenapa?” Tanya Ify lembut yang langsung berjongkok memastikan keadaan Via. Via perlahan mendongak dan menoleh pada Ify. Melihat Ify, Via langsung saja memeluk gadis itu dan menangis. Ify yang tak tahu apa-apa hanya menepuk-nepuk punggung Via agar segera tenang. Tapi ia salah, tangisan Via makin keras seiring dengan semakin kuat pelukan Via padanya. Ify menatap garang Iel seakan-akan bertanya ‘Lo apain temen gue?!’. Dipandang seperti itu, Iel pun jadi takut sendiri. Ketakutannya double sekarang.
“Gu..gue cuma becanda, Pii. Sumpah!” Ujar Iel takut-takut sambil menyembulkan jari telunjuk dan tengahnya membentuk huruf V. Ify menghela nafas singkat dan masih menepuk-nepuk punggung Via. Tak lama kemudian, Shilla, Agni dan juga Cakka datang. Shilla dan Agni tentu saja langsung panik melihat salah satu sahabatnya menangis ketakutan. “Yong, Piem kenapa? Kok jadi gini sih?” Tanya Agni. Ify menoleh dan menatapnya kesal. “Yong-yong, emang gue keong apa?!” Sungut Ify tak terima.
Agni mendesah dan balik menatap Ify malas. “Leletnya sih mirip.” Cibirnya. “Apa lo bilang?!” Mangas Ify. Samar-samar ia mendengar cibiran Agni itu. “Ck, lupakan! Sekarang fokus sama Via. Kenapa nih anak?” Tanya Agni lagi, mulai serius. Ia sudah berjongkok seperti Ify begitu juga Shilla yang hanya manggut-manggut dari tadi. “Tuh, tanya sama tuh orang!” Tunjuk Ify pada Iel menggunakan dagunya. 
Agni langsung berdiri dan menghampiri Iel. “Heh, lo apain temen gue?! Lo pasti udah macem-macem kan? Ngaku lo!” Desak Agni seraya berkacak pinggang menghadap Iel. Kedua lengan bajunya sudah ia naikkan. Hmm, jiwa premanismenya keluar deh! Iel berkali-kali buka mulut tapi tak ada satupun kata-kata yang terlontar. “Gu..gue..arghhh!” Frustasi Iel. Ia bingung haruskah ia jelaskan apa yang tadi ia lakukan bersama Via? Haruskah ia beri tahu tadi ia hendak..emm hendaaak...
***
 Ify, Shilla dan Agni beserta Cakka dkk mengantarkan Via pulang ke rumahnya. Ify tentunya juga Via dan Shilla ikut di mobil Rio. Sementara Agni dan Iel ikut dengan Cakka. Lain mobil, lain ceritanya. Di mobil Rio, Ify hanya diam sambil mendengarkan Rio dan Shilla mengobrol. Tepatnya Rio yang mengajak Shilla melakukan itu. Via sudah berhenti menangis namun ia masih saja lengket pada Ify dan tertidur di bahu gadis itu. Mungkin karena terlalu lelah.
Ify beberapa kali menghela nafas dan memegang perutnya. Perutnya itu sebentar-sebentar terasa ‘sakit’. Ia merutuki dirinya sendiri. Kenapa ia tak seberani Agni? Jika ia seperti itu kan ia bisa saja menerobos masuk ke dalam obrolan yang sepertinya sangat mengasyikkan bagi Rio itu. Kenapa ia tak secuek Via? Jika ia seperti itu kan tak ada masalah baginya Rio melakukan apapun kini meskipun tanpa mengikut sertakan dirinya. Dan terakhir, kenapa ia tak seberuntung Shilla? Bisa mendapatkan seseorang yang benar-benar mencintai dirinya dengan tulus.
Ia lalu meraba-raba saku Via. Seet, ia mengambil Ipod beserta headset yang tersembunyi disana. Pinjem yah! Hehe.. Batin Ify. Ia memasangkan headset itu ke telinga sambil memilih-milih lagu yang menarik minat untuk didengarkan.
***
Via dibaringkan di kasurnya oleh Agni. Shilla langsung menutupi tubuh gadis itu dengan selimut. Sementara Ify memeriksa laci-laci yang ada di kamar itu, mencari obat, obat biasa ketika Via ‘kambuh’. Ini memang bukan kejadian yang pertama kali, tapi bukan berarti hal ini sering terjadi. Lebih tepatnya sekarang adalah kedua kalinya Via ‘kambuh’. Setelah berhasil ditemukan, Ify mengambil satu dari puluhan pil yang ada di dalam botolnya. Ia lalu menyuruh Via meminum itu.
Dengan cepat, Via tertidur kembali. Ify, Shilla dan Agni sedikit merasa tenang. Sedikit? Tentu saja, karena sejurus kemudian mereka sama-sama meringis dan menghela nafas pasrah. Rio, Cakka dan sudah pasti Iel hanya melongo melihat ketiga gadis di hadapan mereka. “Bakal budek gue seharian. Pulang-pulang periksa THT deh!” Celetuk Agni. “Lo budek gue apa? Kenyang ini perut, gak makan gak makan gue ntar siang.” Miris Ify. Ia yang paling terlihat tersiksa di antara mereka bertiga. “Gue..gue gak tahu mau ngomong apa hehe..” Cengir Shilla tapi tetap saja mukanya meringis.
“Lo udah hubungin Tante Fira? *ngarangya*” Tanya Agni menoleh pada Ify. Ify mengangguk lemah. “Gue hari ini jadi orang lain bisa gak? Jadi apa aja, banci pun asal jangan jadi Ify. Sehari aja ya Allah!” Ify mulai ngelantur dengan berdoa gak jelas sangking stresnya. “Gue ikutan!” Agni geleng-geleng kepala mengingat hadiah ‘besar’ akan segera datang. “Seseorang harus tanggung jawab soal ini..” Kata Shilla tiba-tiba. Agni, Ify maupun Shilla serentak menoleh ke satu orang. “LO!” Tunjuk mereka pada Iel. Iel cengo melihat ketiga gadis itu serentak menunjuknya.
***
“Yo..” Panggil Cakka. Rio hanya berdehem singkat. “Kasihan Iel, ckck..” Ujarnya pura-pura sedih. Rio mengernyit bingung. “Heh? Kenape?” Tanya Rio. Ia menoleh ke arah Cakka. “Gue gak percaya dia bakalan pergi secepat ini..” Lantur Cakka. “Lo kira dia mau mati apa? Jahat lo, ngedoain temen sendiri!” Cakka hanya nyengir dan Rio sudah maklum akan hal itu. “Hehe, canda yo! Lagian, tuh anak udah kayak jadi santapan tuh cewek bertiga. Sangar mamen! Gak ngebayangin ntar punya istri kayak gitu, bisa gak ganteng lagi gue!” Kata Cakka narsis.
Alhasil, hal itu membuat Rio menganugerahinya sekali toyoran. Tak ayal, Cakka pun meringis sambil mengusap-ngusap bagian kepalanya itu. “Emang loe ganteng? Gue kemana-mana kali!” Ujar Rio ketularan. Mendengar itu, bukannya membalas, Cakka malah tersenyum. “Ngeh, kenapa lo? Kesambet? Sorry, gue masih normal!” Rio bergidik ngeri dan bergeser selangkah agar menjauh dari Cakka. “Ciee yang udah bisa narsis. Jarang-jarang lo kayak gini. Cie-cie ada apakah gerangan? Suka sama cewek ya? Ngaku lo! Atau jangan-jangan lo udah mulai suka nih sama Ify? Eciee, besok bagi-bagi PM, Yo! Pajak move on haha..” Ledek Cakka. Ia terkekeh pelan melihat ekspresi Rio sekarang.
“Eh eh apaan sih lo? Gak nyambung, konslet malahan! Ify? Hhh, sampe gak ada cewek lagi di dunia ini juga gak bakal kejadian gue suka sama dia!” Tolak Rio mentah-mentah. Ia melipat kedua tangannya di dada. “Heh, kalo dia denger gimana? Parah banget lo triwear deh!” Komentar Cakka. Ia mendecak melihat sahabatnya itu. “Bodo amat! Udahlah, gue mau menikmati pertunjukan. Mendingan lo diem!” Suruh Rio. Ia kembali fokus melihat Iel. “Tadi bilangnya gue yang parah sama temen sendiri. Trus lo apaan? Hah?” Sungut Cakka tak terima. “Sekali-kali. Habis, dia mulu yang nyela gue. Gue juga boleh dong, haha!” Cakka hanya bisa geleng-geleng kepala lagi dan lagi. “Ape lu kate dah!”
“Sekarang lo jelasin, kenapa Via sampai kayak gitu!” Perintah Agni. Ia menatap Iel tajam. Sekedar informasi, mereka sudah berada di ruang tengah rumah Via dan menempati sofa yang ada di sana. “Tapi..” Iel hendak membantah tapi terurung melihat tatapan-tatapan ‘dahsyat’ dari ketiga cewek di depannya. Pasrah, akhirnya ia pun menceritakan kronologis kejadian hingga Via seperti sekarang. Ify, Agni dan Shilla melengos mendengar penjelasan Iel. Mereka tidak tahu lagi harus berkomentar apa tentang nasib mereka jika nanti Fira, Mama Via..
“VIAA!!” Datang. Yap, itu suara Fira. Ia masuk ke dalam rumah dan melihat semua berkumpul di ruang tengah, kecuali Via. Ia menghampiri gerombolan itu dan duduk di sova. “Bismillah deh, amin!” Celetuk Ify. “Ngeh, doa apaan tuh?” Tanya Agni bingung. “Entah, gak tahu juga gue.” Jawab Ify seraya garuk-garuk kepala. “IFY! AGNI! SHILLA!” Sentak Fira membuat semuanya terkejut. “Hah? Nambah satu lagi?!” Bisik Cakka tak menduga. Rio hanya mengisyaratkan sekali lagi agar ia diam. “Iya tante!” Sahut IAS lemas namun kompak. Seperti sudah terbiasa melakukan hal ini. “Kalian ini gimana sih, tante kan suruh kalian jagain Via. Sekarang kenapa dia sampai kambuh lagi?” Kata Fira mulai mengoceh. “Tapi tante..” Kata mereka kembali namun segera dipotong oleh Fira. “Tante belum selesai ngomong!” Ujarnya yang membuat IAS semakin menunduk. “Iya tante!” Kompak mereka lagi. Mereka benar-benar pasrah menerima semua omelan dari wanita itu.
Sekitar setengah jam mereka duduk di sova dan disuguhi dengan nyanyian-nyanyian ‘indah’ Fira. Untunglah, ia sudah bosan ngomel dan beranjak ke atas. Yah meskipun awalnya marah-marah, tapi pada akhirnya ia melunak dan meminta maaf pada ketiga teman anaknya yang sudah berbaik hati mendengarkan nyanyian itu. IAS bisa bernafas lega. Sejurus kemudian, Agni menatap Iel tajam. “Lo..sekali lagi..gak selamet lo! Dunia akhirat!” Ancam Agni. Iel menelan salivanya cepat-cepat. Benar-benar, cewek satu ini membuatnya ketakutan.
“Wah, Fy, salut gue! Tahan lo diomelin gitu, mana lo pula yang paling panjang ckck..” Kagum Cakka. Ify hanya tersenyum miring. “Udah biasa.” Kata Ify sekenanya. Ia kemudian bersender di badan sofa sambil menengadahkan kepala dan menutup mata. Too tired guys.. Batinnya lirih. “Tunggu, gue masih belum ngerti. Si Via emang kenapa sih?” Tanya Iel memberanikan diri. Shilla memberi isyarat agar Agni saja yang menjelaskan. Agni menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. “Dulu, Ify sama Via itu diculik. Nah disana, Via hampir diperkosa sama penculiknya. Maka jadilah dia seperti ini.” Jelas Agni. Cakka hanya membulatkan mulutnya sementara Rio tetap diam tapi pandangannya tertuju pada Ify.
“Sebenarnya yang mau diculik itu Ify. Kebetulan dia sama Via jadi..ya begitulah..” Lanjut Agni. “Terus Ify gak diapa-apain?” Tanya Iel lagi. Masih ada raut kebingungan terpancar di wajahnya. “Karena dia sasaran, dia disekap. Dipukuli habis-habisan karena Mamanya telat datang bawa tebusan. Mungkin karena itu dia jadi lemot kayak gini haha..” Jawab Agni dan terkekeh kecil. Ia melirik ke arah Ify yang tak bereaksi. Agni kemudian menoleh ke Shilla bingung. “Kenape?” Tunjuk Agni pada Ify tanpa mengeluarkan suara. Shilla melirik Ify sebentar dan mengedikkan bahu. Tapi ekspresi wajahnya terlihat gugup.
“Eh gue cabut dulu. Yel, Ni, lo bedua ngikut gak?” Pamit Cakka sekaligus bertanya pada Agni dan Iel. “Gue ikut!” Sahut Iel cepat. Ia kapok lama-lama di ruang itu, di rumah Via. “Gue..ya udah deh..” Serah Agni. Mereka bertiga pun pamit dari situ. Tinggalah kini Ify, Shilla dan Rio. Shilla dan Rio terihat sama-sama canggung sementara Ify, ia masih diam. “Emm..Fy!” Panggil Shilla pelan. Ia masih saja gugup. Ify hanya berdehem ria menjawab panggilan Shilla. “Lo..beneran gak denger kan tadi?” Tanya Shilla hati-hati. Ify membuka matanya sebentar memikirkan pertanyaan Shilla barusan.
***
 “Shill..” Panggil Rio. Shilla terlonjak dan melirik Ify sebentar. Ia mendapati Ify sedang memandang ke arah jendela mobil. “Hah..i..iya?” Jawab Shilla takut-takut. Baru kali ini seorang Rio mengajaknya ngobrol. “Lo..udah berapa lama sama Alvin?” Tanya Rio. Shilla menatapnya bingung. Untuk apa Rio menanyakan tentang hubungannya dengan Alvin? Bukankah Rio pasti sudah tahu?
“6 bulan. Lo kan udah tahu.” Jawab Shilla lagi. “Ngapain lo nanya-nanya tentang Alvin?” Lanjutnya. Rio tersenyum tipis. Sesekali ia melirik ke kaca di sampingnya, memperhatikan reaksi seseorang. “Gak ada topik lain.” Ujar Rio. Gantian Shilla yang tersenyum dan menatap Rio tak percaya. “Lagian, tumben-tumbennya lo ngajak gue ngobrol? Hmm, seorang Rio ternyata bisa juga kayak gini Haha..” Tawa Shilla. Rio pun tak jauh beda. Ia terkekeh sebentar.
Sedetik kemudian, kadar tawanya berkurang mengingat ada Ify di belakang. Ia melirik ke gadis itu sekali lagi dan didapatinya Ify telah memakai headset sambil memegang Ipod. Ify terlihat menggerak-gerakkan kepalanya menikmati lagu. Ia sedikit bernafas lega. “Shill..” Panggil Rio lagi. Kali ini nadanya terdengar serius. “Lo kenapa sih? Aneh banget!” Heran Shilla sembari geleng-geleng kepala. “Gue masih suka sama lo!” Kata Rio terdengar yakin. Masih? Rio pernah suka sama Shilla?
Tring! Shilla cengo mendengar pengakuan Rio itu. *Halahceritanyakokjdgini-_-* Pengakuan itu benar atau hanya sebuah kebohongan, entahlah ia pun tak tahu. Ia masih larut dalam keterkejutannya. Ia lalu melihat ke Ify yang sepertinya tidak mendengar perkataan Rio karena masih terhipnotis oleh lagu pada Ipod. Sekali lagi, ia dapat bernafas lega. “Fy!” Panggil Shilla. Ify masih belum mendengar. “Fy! Ify!” Panggil Shilla lagi. Ify akhirnya tergerak. Ia melepas headset di telinganya. “Hah? Apa? Kenapa?” Heboh Ify. Shilla hanya geleng-geleng kepala. Dalam hati ia bersyukur bahwa gadis itu tak mendengar sama sekali perbincangannya dengan Rio. Dari situ, terjadi keheningan dalam mobil. Masing-masing tak ada lagi yang mau bicara.
***
“Denger apaan?” Tanya Ify seperti biasa. Dari nada bicaranya sepertinya ia memang tidak tahu. Shilla menghela nafas lagi lalu menggeleng dan tersenyum. “Gak, lebih baik lo gak denger. Hehe..” Cengir Shilla. Ify cuma garuk-garuk kepala tak mengerti. “Eh gue liat Via dulu ya, ntar gue kena semprot lagi hehe..” Cengir Ify. Ia langsung berlari ke atas menuju kamar Via. Dan kini, Rio dan Shilla benar-benar berdua di ruang itu. “Shill, soal yang tadi..itu bohongan.” Ujar Rio mengaku. Shilla mendengus. “Gue tahu! Gue tahu lagi siapa yang lo suka dan mati-matian lo kejar. Lo cuma pengen Ify ngindarin lo kan?” Serah Shilla. Ia lalu menatap Rio sinis.
Rio tak menjawab dan mengalihkan pandangan ke arah lain. “Yo, Ify tuh sahabat gue. Dia anak baik, polos, gak pantes lo gituin! Lo bisa ngomong baik-baik kan?” Ujar Shilla lagi. Rio beralih menatapnya. “Gue udah pernah ngomong baik-baik sama dia dan lo liat. Dia masih pura-pura polos sampe sekarang.” Balas Rio. “Yo, Yo, Ify itu emang polos! Setidaknya masih ada cara lain. Lo bisa aja ngancurin persahabatan gue sama Ify tahu gak?!” Kesal Shilla. Ia benar-benar geram dengan tingkah pemuda ini. “Udahlah gak usah dibahas.” Serah Rio. Mereka kembali diam, ya karena tak ada lagi yang mesti dibicarakan.
***
“Jadi apa yang mau lo omongin sama gue? Tumben, biasanya kan gue mulu yang ngajak lo ketemuan hehe..” Cengir Febby. Ia tersenyum menatap pemuda berwajah khas asia di depannya. Siapa lagi kalau bukan Alvin. “Gue minta..lo jauhin gue!” Kata Alvin tegas. Ia menatap lurus ke arah Febby. Seketika senyum Febby luntur. Ia tak menduga bahwa Alvin akan mengatakan itu padanya. “Ke..kenapa?” Lirih Febby. Suaranya bergetar. Ia meremas rok bagian sampingnya kuat-kuat.
“Gue gak mau hubungan gue sama Shilla goyah lagi. Jadi pliss, jauhin gue. Lupain perasaan lo itu ke gue, karena lo salah orang.” Pinta Alvin. Ia memalingkan wajahnya tak sanggup melihat Febby yang mungkin sudah menangis sekarang. Entah kenapa, hatinya sedikit nyeri jika melihat Febby seperti itu. “Gue gak mau!” Tentu saja Febby menolak keras permintaan Alvin padanya. Dengan terpaksa, Alvin menoleh lagi ke arah Febby. “Feb, dewasa sedikit bisa? Hati gue udah terisi dan udah jadi milik orang lain.” Pinta Alvin, lagi.
Febby tetap tak terima. Matanya sudah memerah memaksa butiran-butiran itu agar segera terjun keluar. “Gue gak bisa. Gue gak bisa jadi dewasa. Gue egois. Itu semua karena cinta gue ke lo, Vin!” Sungut Febby. Ia mengusap air matanya yang baru saja keluar. Alvin tak tahu harus jawab apalagi. Febby keras kepala, sebanyak apapun kata mutiara yang keluar dari mulutnya tak akan berpengaruh apa-apa. “Feb, gue mohon sekali lagi, lo..”
Tiba-tiba Febby langsung memeluk Alvin, erat sekali. Ia menangis dalam pelukannya itu. Alvin kaget dan sempat berontak. “Feb, lo..apa-apaan sih?!” Ronta Alvin seraya mendorong Febby agar menjauh darinya. Ia pun terlepas dari pelukan gadis itu. Dan kini, Febby menatapnya tajam. “Lo jahat! Lo kejam, Vin! Lo tega sama gue!!” Pekik Febby dan langsung berbalik badan pergi. “Jahat, kejam, tega? Berat banget kayaknya salah gue? Arrghh!!” Kesal Alvin. Ia meremas kuat rambutnya. Entah bisikan dari siapa, ia seolah disuruh mengejar gadis itu.
Terpaksa atau tidak, Alvin juga tidak tahu. Yang jelas ia sudah menyusul Febby. Ia memutar tubuh Febby agar menghadapnya. “Apa lagi, hah?! Gue udah nurutin kemauan lo kan?” Bentak Febby. Ia menepis kasar tangan Alvin yang memegang bahunya. Alvin mendengus. “OK OK! Lo gak perlu jauhin gue..” Pasrah Alvin. Febby mendongakkan kepalanya dan menatap Alvin. “Lo boleh deket-deket sama gue, tapi untuk perasaan lo, sorry gue gak bisa bales. Lo tahu kan alasannya?” Kata Alvin lagi.
Febby mengusap cepat basahan bekas air matanya. “Beneran kan? Gue gak mesti jauhin lo kan?” Tanya Febby. Alvin mendecak kesal. “Iyaa, kan udah gue bilang tadi.” Geram Alvin. Febby kembali memeluknya. Kali ini tidak menangis, melainkan tersenyum senang. Alvin semula ingin berontak tapi Febby tetap saja memeluknya. Ia pasrah dan tidak bisa berbuat apa-apa. Gadis ini sangat dan sangat membuatnya jengkel. “Makasih Vin. Gue bisa deket-deket sama lo aja gue udah seneng. Makasih Vin, makasih!” Haru Febby.
Alvin geleng-geleng kepala dan akhirnya ia bisa membuat gadis itu menjauh. “Iya-iya serah deh. Tapi, jangan pernah peluk gue lagi! Gue gak suka dipeluk kecuali sama cewek gue. Ngerti lo?!” Kata Alvin jutek. Febby tak begitu mengindahkan. Ia hanya mengangguk dan masih saja tersenyum. Tadi nangis, sekarang senyum. Bener-bener nih cewek, bikin gue pusiiing!! Gerutu Alvin dalam hati. Ia kemudian berjalan meninggalkan Febby berharap gadis itu tidak mengikutinya. Tapi tetap saja Febby menyusul. So, ia bisa apa sekarang?
***
(Galau dimulai. Setel lagu Soyu SISTAR – Should i confess aja, ost playfull kiss itu lo, menurut admin sih.)
Malam hari sekarang sudah resmi menjadi saat galaunya para remaja. Seperti 2 sejoli berlainan jenis ini. Mereka sama-sama termenung di tempat tidur masing-masing. Berbeda hal yang mereka fikirkan namun masih berkaitan satu sama lain. Mari kita telusuri apa yang dilakukan si gadis. Ia menatap langit-langit kamar yang sepertinya selalu terlihat menarik saat melamun. Tak lupa tangannya juga bergerak memelintir baju. Ya, dia Ify.
Ify mengingat kembali apa yang ia alami tadi siang. Mulai dari Rio menjemputnya, emm hampir menciumnya, mengantarnya ke sekolah, membukakan pintu untuknya dan semua perubahan sikap Rio padanya. Ia tersenyum lirih. “Itu saat lo baik.” Gumam Ify. Beberapa saat kemudian, ia mengingat kembali kejadian di dalam mobil Rio saat mengantar Via. Seketika lengkungan di bibirnya melurus. Kata-kata Rio berputar-putar di fikirannya.
“Lo suka sama Shilla, ckck.” Gumam Ify lagi. Loh, kenapa ia bisa tahu? Bukannya ia tidak dengar? Ify menghunuskan nafasnya keluar. “Gue denger, Shill. Gue denger semuanya..” Lagi-lagi Ify bergumam. Ya, sebenarnya Ify mendengar apa saja yang Shilla dan Rio bicarakan tadi siang baik di mobil maupun di rumah Via. Saat di mobil, Ipod Via tiba-tiba macet. Pada saat yang bersamaan pula Rio memberikan pengakuannya. Sesaat Ify terpaku mendengar itu. Namun, ia berusaha kembali seperti biasa dan pura-pura tidak mendengar. Beruntung usahanya berhasil.
Lalu kemudian di ruang tamu. Saat ia mengatakan hendak melihat Via, Ify tidak benar-benar melakukan itu. Ia hanya ingin menghindari Shilla agar tidak bertanya macam-macam. Ia lantas memperhatikan Shilla dan Rio dari atas. Ia pun dapat mendengar dan sekarang tahu Rio benar-benar tidak menyukainya. Ditambah lagi, tanpa disangka, ia juga mendengar apa yang Rio katakan pada Cakka di ruang itu pula. Mendengar bahwa pemuda itu tidak akan pernah menyukainya. Garis bawahi, tidak akan pernah. “Itu saat lo jahat..” Gumam Ify yang kesekian kali.
“Lo kenapa sih? Sebentar-sebentar baik, sebentar-sebentar jahat? Kalo jahat-jahat aja, jangan pernah jadi baik. Jangan ngasih gue harapan untuk berharap.” Lirih Ify. Ia menghembuskan nafas berat. Hari ini lelah sekali ya? Setidaknya bagi Ify. Tanpa sadar, setetes air mata Ify menitik. Ia mengangkat tangannya perlahan dan memegang ujung matanya. Basah. Ia menatap jarinya yang ikut berair. “Hah? Apaan nih? Gue...nangis?” Katanya tak percaya.
Sudahlah, mari kita lihat insan yang satu lagi. Orang yang notabenenya membuat si gadis menitikkan air mata, Rio. Kegiatannya tak jauh beda. Berbaring di atas kasur, menatap langit-langit dan melamunkan kejadian akan dirinya dan Ify. Ia mengingat kembali masa-masa ia dengan gadis itu yang kebanyakan memang menonjolkan bahwa ia seorang yang jahat. Kejadian tadi pagi kemudian menjadi pusat pemikirannya. Yang paling ia fikirkan ialah saat ia hendak mencium Ify.
“Apa yang sudah gue lakuin? Gue mau nyium Ify, hah?” Ujar Rio pada dirinya sendiri. Ia tak habis fikir dengan apa yang sudah ia lakukan itu. Setan apa pula yang merasuk dalam dirinya? Ia juga tidak tahu. “Ify..Ify..” Gumamnya beberapa kali. Ia mengingat-ngingat lagi akan gadis itu. Saat itu pula ia sadar, saat bersamanya, gadis itu jarang sekali tersenyum. Kebanyakan hanya ekspresi sedih, kesal bahkan ketakutan. Ah pernah! Ya, Ify pernah tersenyum yakni saat ulangan matematika. Ya, hanya itu sepertinya. “Apa gue udah keterlaluan jahat ya sama tuh anak?” Tanya Rio pada dirinya lagi. Rio mendecak dan geleng-geleng kepala.
Selanjutnya, ia teringat akan kejadian di mobilnya hingga ke rumah Via. Ia mengingat semua yang ia katakan yang mungkin sangat menyakitkan jika didengar Ify. Lalu, pertanyaan Cakka yang menghawatirkan itu terjadi kembali diingatnya. “Bener juga, kalo sempat Ify dengar gimana?” Ia pun terlihat khawatir sekarang. Ia bangun dari tidurnya dan duduk sambil menggaruk-garuk kepala kesal. “Arrghh, bego!” Gerutu Rio. “Hah, bego? Kenapa sama gue?” Rio lagi-lagi bingung akan perubahan sikap serta mungkin hatinya. Ia kembali berbaring dan menatap langit-langit kamar.
Cukup lama ia diam dan berfikir. Apa hati gue udah mulai berubah? Batin Rio bertanya-tanya. Ia lalu mengambil sebuah foto terbingkai yang diletakkan di lemari samping tempat tidurnya. Ia memandangi foto itu lama. Fotonya bersama seorang perempuan, entah siapa itu. “Cepetan lo pulang, cuma lo yang bisa bantu gue mastiin hati gue..” lirih Rio pada foto itu.
***
Ify menuruni tangga rumahnya malas. Tak ada semangat baginya hari ini. Ia lalu melihat Ferdi tergeda-gesa keluar kamar dan hendak keluar rumah pula. Ia cepat-cepat menahan Ferdi sebelum benar-benar pergi. “Emm, PAPA!” Teriaknya. Ferdi lantas berhenti sebentar melihat anaknya itu. “Kenapa sayang? Masalah yang nganter? Papa gak bisa lagi hari ini.” Sesal Ferdi. Ify menggeleng dan mencoba tersenyum. “Pa, Ify nanya boleh gak?” Tanya Ify hati-hati. Ferdi menatapnya bingung.
Ify menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. “Papa..berharap banget ya Ify bisa sama Rio?” Ferdi sedikit kaget mendengar anaknya bertanya itu. Ia kemudian tersenyum menatap Ify dan memegang bahu anaknya itu. “Kalo kamunya gak bisa yah gak usah dipaksain.” Kata Ferdi lembut, khas seorang ayah. “Hmm, dibilang berharap yah berharap. Tapi kan kamu yang ngejalanin, kamu yang berhak milih. Jadi untuk apa Papa maksain, ya kan?” Lanjutnya.
Ify menatap Ferdi penuh rasa bersalah. Selama ini, Ferdi tidak pernah sekalipun meminta padanya. Selalu dan selalu Ify. Ia sedih disaat Papanya memiliki permintaan tapi ia tidak bisa mewujudkan hal itu. Ia ingin tapi bagaimana? Ia tidak bisa memaksa Rio menyukai dirinya. Ia pun hanya menunduk pasrah. “Maafin Ify, Pa..” Lirih Ify. Ferdi kembali bingung dan segera menegakkan kembali wajah anaknya yang ditundukkan.
“Hei, kamu gak salah apa-apa sayang. Kenapa sedih? Udahlah gak usah difikirin!” Ujar Ferdi memperlihatkan senyumnya. Sebisa mungkin Ify membalas senyum Papanya itu. “Nah gitu dong! Ya udah, Papa duluan ya!” Pamit Ferdi. Ify hanya mengangguk pelan. Setelah Papanya pergi, ia kembali masuk ke dalam. Setidaknya ia harus sarapan terlebih dahulu sembari menunggu. Ia mengambil sehelai roti yang sudah diberi selai dan memakannya. Pahit! Batin Ify lirih. Tak lama, Rio pun datang menjemput. Tanpa ba-bi-bu ia langsung berlari dan masuk ke mobil.
Sesampainya di sekolah, Ify dengan segera keluar dari mobil dan menunggui Rio keluar pula. Sepertinya ada sesuatu yang ingin ia utarakan. “Mm..Yo!” Panggil Ify karena Rio yang langsung pergi. Rio berhenti dan menoleh ke arah Ify. Seperti biasa, ia terlihat ketus pada gadis itu. “Apa? Cepetan! Gue males lama-lama sama lo.” Katanya ketus. Ify lagi-lagi menarik nafas dalam-dalam sebelum berbicara lebih lanjut. Ia lalu tersenyum menatap Rio dan mengulurkan tangan hendak berjabat dengan pemuda itu.
Karena tak jua membalas, ia lekas meraih tangan Rio dan menjabatnya sebentar. Rio menatap Ify bingung. “Selamat ya, hari ini jadi hari terakhir lo ngantar jemput gue. Mulai besok lo gak perlu repot-repot lagi. Juga, lo gak perlu pusing-pusing karena dijodohin sama gue. Gue udah bilang sama Papa buat ngebatalin itu. Gue tahu kok lo gak bakal pernah nerima gue apalagi sampai ada rasa sama gue. Jadi lo tenang aja, gue gak bakal ngusik lo lagi. Selanjutnya, kalo emang lo gak suka sama gue, anggep aja kita gak pernah kenal. Tapi, karena kita sekelas, so kenalin, gue Alyssa Saufika Umari, lo bisa manggil gue Ify.” Ify tersenyum mengatakan itu, kembali ke sifat aslinya polos dan tanpa beban.
Rio terpaku mendengar kata demi kata yang keluar dari mulut Ify. Secepat ini? Batin Rio tak menduga. Untuk pertama kalinya ia melihat serta benar-benar memperhatikan Ify tersenyum dan ia baru mengakui kepolosan Ify. Tapi kenapa disaat gadis ini hendak memisahkan diri darinya? Pertanyaan itu muncul seketika dan seperti menusuk dalam batin Rio. Ia sendiri tak tahu apa yang ia rasakan sekarang. Tapi, yang ia sadari, ada setitik rasa bersalah bercampur penyesalan melumer di dalam dirinya. “Hah?” Lirih Rio. Hanya itu yang mampu ia katakan.
“Lo gak perlu ngenalin diri, secara siapa sih yang gak tahu lo? Hehe.” Cengir Ify. “Oh iya, Gue minta maaf sudah merepotkan, mengesalkan, mengganggu emm apalagi yah ah pokoknya dkk deh. Juga makasih atas kerelaan hati lo melakukan itu semua. Eh gak tahu juga lo rela atau gak, yang penting makasih aja deh. Sekali lagi selamat! Gue duluan!” Ujar Ify lagi. Diawali dengan senyum, ia pun mengakhiri penuturannya dengan senyum pula. Ia berbalik badan dan segera berlalu dari hadapan Rio. Rio sempat maju selangkah ingin menahan Ify tapi tidak jadi. Ia gengsi untuk melakukan itu. Jadilah, ia hanya terdiam memandangi punggung –mantan– calon gadisnya yang semakin samar.
***
Eaea part galau, gak tahu deh feel nya dapet atau gak. terimakasih kepada kalian sudah membaca MM dari awal sampe part ini. Oh ya kalian maunya part nya panjang atau pendek? Pendek aja lah ya biar gak ngeberatin saya? Heheh :DD
Jelek ya? Haha, saya tahu kok. Maklum saya bukan penulis. Maafkan ke gajean dan ketidakbagusan cerita, ini hanyalah fiksi belaka. Makasih =)

4 komentar: