-->

Minggu, 25 Maret 2012

Matchmaking Part 2

Ass. Cerbung ini datang kembali. Part ini amat sangat panjang ceman dan isinya emm yah begitulah. So bacanya di waktu santai saja. Ce part est special pour le Rify et le Cagni. Hope you like it guys =) oh ya yg kemaren salah tulis, bukan IX tapi XII hehe.
  Hop hop langsung aja yaw, semoga isinya tidak mengecewakan pemirsah!
***
“Fy..Fy pangeran lo tuh!” Seru Via ketika melihat Rio berjalan dari arah berlawanan tak jauh dari mereka, Via, Agni, Shilla dan Ify. Ify masih sedikit linglung dan tak mengerti dengan apa yang Via katakan. “Hah?..” Hanya itu kata yang keluar dari mulutnya.
“Ituu si Rio jalan ke arah sini!” Seru Via lagi. Ify malah garuk-garuk kepala dan makin bingung. Makin lama Rio makin dekat. Via pun mengambil inisiatif mendorong Ify ke hadapan Rio saat Rio benar-benar ada di hadapan mereka. Alhasil, Ify yang tak siap menubruk Rio. “Huwaa!” Panik Ify ketika merasa badannya terdorong ke depan tanpa bisa ia cegah.
“Aww!” Rintih mereka bersamaan. Ify menindih tubuh Rio yang sepertinya terlihat meringis menahan sakit. Mata Ify membulat besar. Mulutnya menganga lebar. Ia shock melihat apa yang sedang ia alami apalagi melihat siapa orang dihadapannya emm tepatnya yang ia himpit. Ia refleks menutup mulut dan lekas berdiri. “Maaf..maaf!” Ujar Ify merasa bersalah.
Rio dengan susah payah mencoba berdiri. Ify pun ikut membantunya dan tak henti-hentinya meminta maaf. “Duh sakit banget ya? Maafin gue, gue gak tahu tiba-tiba badan gue kedorong. Maaf, gue minta maaf banget sama lo!” Rio menatap Ify aneh dan bingung sendiri mau berkata apa. “Eh..iya..biasa aja kali.” Balasnya canggung.
Ify diam dan tak bicara lagi. Ia berhenti meminta maaf. Gue nindih Rio?! Gila! Pikirnya. “Lain kali, hati-hati!” Kata Rio dengan suara lembut khasnya. Ia mulai melangkah meninggalkan Ify yang sedang sibuk mengatasi pacu jantungnya yang kian meninggi. Namun, baru beberapa langkah berjalan, Agni kembali menahan Rio. Rio pun terpaksa berhenti.
“Eh eh yo, gue lupa..” Tahan Agni. Ia menepuk jidatnya sendiri karena ada hal yang ia lupakan. “Lo sama Ify dipanggil Bu Okky di TRC.” Lanjutnya. Alis Rio terangkat sebelah, ia bingung. Begitu pula dengan Ify karena sedari tadi ia bersama Agni, tapi Agni tak pernah bilang soal ini. Yah namanya juga lupa. “Kapan? Kok lo gak bilang ini dari tadi?” Tanya Ify.
“Lupa!” Jawab Agni santai. Ify mencibir pelan. Ia kesal, kesan ia dan Rio selalu tidak baik. “Thank’s!” Rio langsung pergi meninggalkan Ify dkk. “Fy, lola banget sih? Kejaar!!” Suruh Shilla. Ify mengangguk cepat dan segera menyusul Rio.
“Yoo, ke TRC kan? Bareng!”
***
  Ify mengikuti Rio dari belakang. Orang-orang disekitarnya banyak yang memperhatikan dan umumnya mereka adalah para siswa perempuan. Tentu saja, seorang Mario mana mungkin tidak mengundang sensasi. Rio berjalan dengan santainya sementara Ify, ia celingak-celinguk sana-sini. Ia kesal, berkali-kali ia mendengar ada siswi yang mencemoohnya ketika ia dan Rio melintas. Ify mencibir pelan dan merutu dalam hati.
“Eh eh itu siapa yang sama Rio?” heboh salah satu siswi yang melihat. “Emm, itu bukannya cewek yang sering ikut perbaikan ya? I..ya si Ify-Ify itu loh!” Sahut teman di sebelahnya. Kalau yang ini, Ify tak protes. Yah, memang kenyataan kalau dia sering ikut perbaikan. Mengingat nilai ulangan-ulangannya yang tak jarang di bawah rata-rata. “Aiss gak ada yang lebih bagus dikit apa?” gumam Ify pelan, sangat pelan malah.
“Ah dia gak cantik dan postur badannya gak memadai. Dia bukan tandingan kita! Masih hebatan kita-kita lah!” Nah kalau yang ini memang patut menyulut emosi. Telinga Ify panas, hidungnya pun mulai kembang-kempis. Tangannya sudah mengepal. Rasanya, pot bunga yang berjejer di koridor sekolah yang ia lewati, ditumpahkan segala isinya pada orang yang mengatainya itu. “Gak cantik? Gak memadai? Rrrr, badan tengil gitu aja berani ngatain gue! Rio aja santai kenapa dia yang sewot?! Kalo gak ada Rio, udah gu..”
BUK!
Tiba-tiba Rio berhenti dan lagi-lagi Ify menabrak Rio. Yah tentu saja, ia kan tak mengira ini sebelumnya. “Adoow!” Rintihnya. Ify sedikit terdorong ke belakang. Ia mengelus-ngelus keningnya yang terjeduk *gakenakbgtbhsanya* punggung Rio. Rio berbalik badan seraya memasukknya kedua tangannya ke saku celana. “Kok berhenti sih?” Tanya Ify bingung –masih mengelus-ngelus keningnya-. Rio menghela nafas dan menatap Ify datar.
“Gue tahu lo fans gue dan ini salah satu siasat lo buat deket sama gue kan?” ujar Rio tiba-tiba. Ify diam menatap cowok jangkung di hadapannya. Tangannya tak lagi bergerak mengelus-ngelus keningnya. Nafasnya tercekat dan sulit rasanya untuk bersuara. Ada setitik kesedihan mencuat di hatinya dengan Rio yang menyangkanya tidak-tidak seperti ini.
“A..pa?” Kata Ify setengah mati mencoba membuka suara dan memang hasilnya tak begitu baik. Ify mulai memelintir baju bagian depannya. Kebiasaan Ify saat sedang gugup bahkan takut.
“YO!” Tiba-tiba ada seseorang yang memanggil Rio. Rio pun menoleh dan didapatinya Iel sedang berjalan mendekatinya dan Ify. Ify pun ikut menoleh ke arah Iel. “Ada apa nih?” tanya Iel setelah sampai di hadapan Rio. Rio menghela nafas lagi seraya berkata, “Fanatik fans, biasalah. Yuk cabut!” dengan segera Rio berlalu meninggalkan Ify yang membeku bak batu es. Iel pun mengikuti Rio dari belakang seperti yang Ify lakukan sebelumnya.
Ify hanya memandangi punggung Rio yang kian menjauh. Sejenak ia mencoba untuk tenang dan menjernihkan fikiran. Mungkin memang kesan gue dan Rio gak pernah baik. Pikirnya. Ia pun memutuskan tetap pergi ke TRC, meski tidak bersama Rio.
***
Agni berjalan sendirian melewati koridor menuju kelas. Ini sudah masuk jam pelajaran ke 5 dan 6. Pelajaran pun sudah berlangsung sejak 30 menit yang lalu. Lalu mengapa ia di sini? Yah kalian tahu, hasrat alamiah yang sulit ditunda itu membuatnya harus meminta izin untuk keluar kelas. Yap! Ia baru saja keluar dari toilet, perempuan pastinya. Ia sengaja memperlambat tempo berjalannya. Wajar, saat ini matapel sejarah sedang berlangsung. Bukan masalah pelajarannya, tapi metode pengajaran yang dilakukan guru yang membuat gadis bergaya harajuku ini ingin berlama-lama menikmati suasana di luar. Bayangkan, sang guru hanya membaca tulisan-tulisan yang terangkai dalam slide power point-nya. Jadi, kesalahan tak sepenuhnya harus dititik beratkan kepada siswa, bukan?
Agni berjalan sambil menoleh ke kanan kiri memperhatikan ruang-ruang kelas yang ada. Ada sekitar 2 sampai 3 kelas yang kosong. Mungkin sedang di Lab atau bahkan sedang berolahraga. Ia terus melangkahkan kaki menapaki persegi keramik lantai koridor hingga seorang siswa, cowok, membuat durasinya di luar kelas menjadi lebih lama. Jalannya tersendat karena cowok ini. Ia melangkah ke kiri, cowok itu pun ke kiri. Ia melangkah ke kanan, cowok itu ikut ke kanan. Sekarang, ia berhenti, cowok itu malah berhenti juga.
Agni bingung harus apa dan mendecak kesal. Ia pun melangkah ke kiri dengan maksud mempersilahkan cowok di hadapannya agar jalan terlebih dahulu. Kali ini cowok itu tak mengikutinya lagi. Agni sedikit memperhatikan cowok itu selagi masih di depannya. Cowok itu pun melenggang pergi melalui jalan yang Agni sediakan. Agni kembali melanjutkan perjalanan tertundanya. Namun, setelah beberapa langkah berjalan ia tiba-tiba berhenti. Ia seperti baru mengingat sesuatu dan itu mungkin sangat penting. Kalung itu?! Batin Agni.
Ia berbalik badan berharap cowok yang menghambatnya tadi masih terlihat. Namun, ia hanya mendapati jalanan koridor yang sepi dan tak ada lagi orang melintas selain dirinya. Ia menghembuskan nafas berat sambil menggigit bawah bibirnya. Ia menjijitkan kaki dan masih berusaha mencari keberadaan cowok tsb. Tetap saja hasilnya nihil. Ia menghembuskan nafas berat dan ada sedikit rasa kecewa dalam hatinya. 
“Cakka..Diakah?” gumamnya pelan. Ia lalu berjalan lagi hingga benar-benar sampai di kelasnya. Haha, keadaan kelasnya masih sama. Sang guru masih setia dengan power point and her sleepy student.
***
“Halo Shill, kenapa?” ujar Ify saat menjawab telepon dari Shilla. Ia diam sebentar, sepertinya saat itu Shilla tengah berbicara.
“Gue di ruang lukis. Tenang aja bentar lagi gue ke kelas.” Ify pun mengakhiri telponnya dengan Shilla. Ia memasukkan ponselnya ke dalam saku rok. Ia berjalan menuju sebuah kursi yang di depannya sudah terpajang sebuah kanvas yang masih polos. Ia duduk di kursi itu sambil memandangi kanvas di depannya. Ia bingung dengan apa yang harus ia lakukan terhadap kanvas ini. Sejujurnya, ia pun tak terlalu pandai melukis.
Jadi, buat apa gue ke sini? Tanya ify pada dirinya sendiri. Ia menggeleng pelan dan masih menatap kanvas. Tiba-tiba muncul sosok Rio dalam lukisan itu. Ify mengucek kedua matanya memastikan apa yang ia lihat itu benar. Dan yah hasilnya, itu hanya daya imaginasinya saja. Mungkin karena ia terlalu memikirkan Rio. Ia merutuki dirinya sendiri sambil memukul-mukul kepalanya pelan. Ia benci dirinya yang seperti ini. Ia tidak suka. Ia ingin dirinya seperti biasa. Polos, ceria dan tanpa beban sama sekali.
Masih sibuk merutuki dirinya, tiba-tiba terdengar suara derap langkah kaki yang kian mendekat. Ify mendongak dan mendadak takut. Bukan takut karena hantu, melainkan jika ada guru piket yang melihatnya di sini, itu jauh lebih menakutkan. Memang sih, di kelasnya sedang tidak ada guru. Tapi tetap saja, siswa dilarang berkeliaran selagi jam pelajaran masih berlangsung. Ia panik dan langsung berdiri dari kursinya. Seperti biasa Ify memelintir-melintir bajunya sambil celingak-celinguk mencari tempat bersembunyi.  Ia pun memutuskan untuk bersembunyi di samping lemari peralatan. Ia tidak punya ide lain. Ia segera berjongkok sambil memegangi lututnya. Dalam hati ia berdoa semoga orang itu segera pergi.
Tap..tap..tap..
Kini langkah itu terdengar jelas sekali di telinga Ify. Ia makin panik. Ia pun memegangi lututnya makin erat. Bukannya pergi, tapi langkah itu terdengar berhenti dan sepertinya si pemilik sudah berada dalam ruang lukis. Tak ada perkembangan selanjutnya hanya ada suara bangku bergeser. Apa mungkin itu juga seorang siswa? Ify pun memberanikan diri melihat siapa orang yang baru datang itu.
Dari belakang ia dapat melihat dengan jelas sekali bahwa itu seorang cowok dan dia memakai seragam. Sudah pasti ia juga seorang siswa seperti Ify. Ify pun bisa bernafas lega. Ia melirik sekali lagi pada cowok itu yang kini terlihat mulai melukis. Seketika mata Ify melotot mengetahui siapa orang itu. RIO? Batin Ify. Ia kembali mengucek matanya memastikan bahwa ini bukanlah imajisinya lagi. Dan kali ini benar. This is real! Ia tersenyum senang bisa bersama Rio sekarang.
Rio asik mengarahkan pensilnya kesana kemari di atas kanvas. Sangat mudah rasanya melukis itu jika melihat pengerjaan Rio. Cukup lama ia menyelesaikan lukisannya itu. Otomatis cukup lama pula Ify berjongkok menungguinya selesai. Ify tak punya cukup keberanian lagi menghampiri Rio mengingat kejadian saat istirahat pertama tadi. Ia sangat bersyukur karena Rio selesai melukis dan pergi dari ruangan tersebut tanpa membawa hasil lukisannya.
Ify segera berdiri ketika Rio sudah pergi. Ia sedikit oleng karena berdiri terburu-buru setelah sekian lama berjongkok. Ia berjalan mendekati tempat dimana Rio melukis tadi. Sejenak ia memperhatikan lukisan apa yang ada dalam kanvas itu. Ia tersenyum miris melihat dalam lukisan itu adalah seorang perempuan. Ini ceweknya? Hmm, mukanya familiar. Pikirnya.
“Ngapain lo?” Ify terkejut setengah mati mendengar itu. Ia menoleh ke samping dan ada Rio disana sedang menatapnya tajam. Ia jadi takut sendiri bahkan kadar takutnya melebihi yang pertama tadi. “Hah? Gu..gue..” Jawab Ify gagu. “Lo ngikutin gue?” Tanya Rio dengan nada bicara yang sedikit marah.
“Eh..gue..gak ngikutin lo kok. Sumpah!” Bantah Ify seraya menyembulkan dua jemarinya membentuk huruf ‘v’. Rio menghela nafas panjang dan kini menatap Ify kesal. “Jangan bohong!” Tuduh Rio.  “Buang harapan lo jauh-jauh. Lo bukan tipe gue.” Katanya lagi. Ify benar-benar shock mendengar itu. Meskipun Rio tidak menyukainya, setidaknya Rio tidak harus mengatakan setelak itu apalagi di hadapan Ify secara langsung. Siapapun tak ada yang mau jika seseorang yang kita kagumi bahkan cintai berkata yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Benarkan?
Ify tak sanggup lagi menatap mata tajam Rio. Ia menghela nafas dan menghembuskannya pelan seraya memalingkan wajahnya. “Gue tahu.” Lirih Ify. Ia menatap Rio kembali. Matanya nanar dan pandangannya datar. Tapi, siapapun yang melihat itu, mereka akan tahu bahwa si pemilik dalam keadaan yang menyedihkan. “Tapi..sebenarnya lo masih punya pilihan buat gak sejujur itu sama gue.” Selesai mengatakan itu, Ify berjalan perlahan meninggalkan Rio.
***
Lagi, mengenai Ify, Shilla, Via dan Agni. Jam berakhirnya sekolah sudah berlalu dari 3 jam yang lalu. Seperti biasa, ke 4 gadis berbeda paras *halah* ini menikmati waktu senggangnya di rumah Ify. Kali ini bukan di gazebo lagi, melainkan kamar Ify sendiri. Tapi, bicara soal waktu senggang. Hmm, sepertinya mereka tidak benar-benar menikmati itu. Sampai di rumah Ify, mereka langsung memulai diskusi masalah pelajaran matematika. Bukan karena besok ulangan, tapi karena kebiasaan sang guru matapel yang terkadang suka memberikan ‘penghargaan’ mendadak. Sekali lagi, bukan penghargaan yang sebenarnya melainkan sebuah pertanyaan ulasan mengenai pelajaran yang telah mereka bahas.
Dan kini, mereka telah selesai dengan rutinitas mereka itu. Mereka benar-benar menikmati waktu senggang yang sesungguhnya. Ify berbaring di atas kasur bercoverkan seprei bergambar wajahnya itu. Papa nya khusus memesan seprei ini untuknya. Ini hadiah ulang tahun Ify yang ke 12 lalu. Ify memandangi langit-langit kamar miliknya. Pikirannya masih kacau, perasaannya pun tak jauh beda bahkan lebih buruk malah. Sejujurnya, ia ingin menangis. Tapi, ia bukanlah seorang yang terbiasa melakukan hal itu. Ia tidak suka air matanya tertumpah dengan percuma. Hal ini belum menjadi alasan terbesar untuk Ify melakukan itu. Ia pun berkali-kali menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan berharap rasa sesak di dadanya segera hilang.
Shilla duduk menyilangkan kaki sambil mendengarkan musik dari ipod pink nya. Agni pun sama namun posisinya berbeda. Agni duduk sambil menselonjorkan kaki dan menyender di tepi kasur Ify. Lalu Via? Hmm, anak ini masih setia dengan pensil dan catatan matematikanya. “Ni, lo masih nyari dia?” Ujar Shilla sekaligus memulai pembicaraan di antara mereka berempat. Agni menoleh ke arah Shilla. “Dia, siapa?” Tanyanya pura-pura bingung.
“Gak usah pura-pura gitu lah.” Komentar Shilla. Ia memalingkan wajah dan kembali pada ipod-nya. Agni berpikir sebentar seraya memandangi langit-langit kamar Ify. “Lo juga, gak usah pura-pura gak tahu juga lah sama apa yang bakal gue jawab.” Balas Agni. Kini ia beralih dari langit-langit ke cincin yang menjadi bandul di kalung yang ia pakai. Ia menatap cincin itu lekat-lekat. Melihat itu Shilla hanya menghela nafas. Ify dan Via hanya ikut mendengarkan tanpa berkomentar dan bereaksi apa-apa. Mereka masih setia dengan kesibukannya masing-masing.
“Gak pengen pindah haluan?” Tanya Shilla lagi dan menoleh ke arah Agni kembali. Agni pun segera mengalihkan pandangannya menuju Shilla. “Maksud lo move on gitu?” Sahutnya cepat.
“BTW, caranya move on gimana ya?” Tiba-tiba sebuah suara muncul dari belakang Agni dan Shilla. Agni dan Shilla agak kaget mendengar itu. Bahkan Via, pensil yang ia pegang terlepas begitu saja mendengar sahutan itu. Mereka serentak menoleh ke pemilik suara. Yap, dia Ify. Ify masih setia memandang ke atas tanpa peduli dengan tatapan heran dari sahabat-sahabatnya itu. Agni, Shilla dan Via kemudian saling berpandangan bingung.
***
Hiyaa, cukup sampai disini. Oh ya, TRC itu Teacher Room Center yaw.
Jelek ya? Haha, saya tahu kok. Maklum saya bukan penulis. Maafkan ke gajean dan ketidakbagusan cerita, ini hanyalah fiksi belaka. Makasih =)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar