-->

Minggu, 25 Maret 2012

Matchmaking Part 7

Assalamu’alaikum! Karena part ini panjang jadi langsung saja. Semoga tidak mengecewakan guys!
***
“Lo beneran gak suka dijodohin sama gue?”
Kata-kata itu terus terngiang dalam benak Rio. Entah sudah berapa menit waktu berjalan pikirannya masih saja jalan di tempat, pada hal yang sama pula. Ia terlihat beberapa kali menghela nafas dan menepuk-nepuk dada kirinya. Ada yang aneh dengan jantungnya sekarang. Akhir-akhir ini, ia seringkali berdebar. Entahlah pada saat itu ia sedang atau memikirkan apa. Tapi..mungkin jika ia sadari, apa yang sedang ia lakukan sekarang, ia sudah berhasil memperoleh satu petunjuk akan misteri debarannya itu. Sayangnya, cowok manis ini terlalu lamban meyakinkan dirinya sendiri. Ia terlalu sibuk mencari clue-clue yang lain sementara jawaban dapat dengan mudah ia temukan jika ia menyadarinya lebih cepat.
“Ya udah sih, lo udah jujur bahwa lo emang gak tertarik sama perjodohan ini. Apalagi?! Kenapa dengan lo?” Ujar Rio pada dirinya sendiri. Ia meremas rambutnya kesal. Ia frustasi menghadapi ketidakjelasan akan hatinya. Silang opini antara iya dan tidak itu terjadi di dalamnya. Rio bukannya tidak mau tahu tentang penyebab benda vital itu bergejolak. Akan tetapi, belum ada keberanian dalam dirinya menelusuri itu semua. Makanya, untuk saat ini, ia hanya berpura-pura untuk buta analisa.
***
“Lo gak tahu basket sama sekali?” Langsung Cakka sembari mendrible benda bulat, orange dan agak berat miliknya. Agni mengangguk pelan. Dalam hati, ia merutuki dirinya sendiri akan kebohongannya barusan. Kebohongan bahwa ia tidak tahu basket. Jelas, bagaimana mungkin ia tidak mengetahui permainan 5 lawan 5 itu?
Agni tahu bahkan sangat akrab sekali dengan basket. Ayah angkatnya ialah seorang basketholic, tentu sangat menyukai basket. Kiki, Rizky Patrick Egeten, dalam dunia olahraga terutama perbasketan, siapapun tahu siapa dia. Salah satu atlit basket berbakat yang sudah beberapa kali mengantongi kemenangan telak bersama timnya. Dan yang teramat penting, pemuda ini sering mengajak adik tirinya duel. Siapa lagi kalau bukan Agni? So, that’s so imposible jika Agni seorang yang awam terhadap basket.
Cakka tersenyum seperti menantang Agni. “Kalo gitu, gue bisa dong pamer kemampuan dengan lo.” Ujarnya. Agni memasang tampang tak mengerti. Alis sebelahnya terangkat. “Maksud..lo?” Tanya Agni. Cakka tak menjawab. Ia malah menyodorkan bola basket yang tadi ia pantul-pantulkan. Agni mengambilnya ragu-ragu. Namun sedetik kemudian, Cakka kembali merenggut bola itu. “Gak semudah itu!” Kata Cakka mendrible bola mendekati ring dan melakukan shooting. Masuk! 1-0 untuknya.
Agni mulai mengerti maksud Cakka. Pemuda tampan ini berniat mengajaknya duel. Cakka kembali mendrible bola dan Agni menghalaunya dari depan. “Curang!” Tuduh Agni. Ia tersenyum menatap Cakka. “Oh ya?” Tantang Cakka. Ia hendak bergerak ke kiri namun Agni dapat dengan mudah membaca hal itu. Agni dengan santainya merebut bola yang semula ada di pihak Cakka. Shooting dan yap masuk. Three point!
Cakka melongo melihat apa yang dilakukan gadis di hadapannya. Three point? Bagaimana mungkin gadis yang –pura-pura- tidak tahu basket sama sekali melakukan itu? Jangan bercanda! Pikirnya. Agni berbalik badan dan mendapati Cakka masih bengong. Ia menggaruk tengkuknya gugup. “Emm, permainan gue jelek ya?” Tanya Agni.
“Lo bohong sama gue?” Tanya Cakka balik. Agni masih pura-pura tak mengerti. “Hah?”
“Lo, bukan gak bisa main basket kan?”
“Emang gue gak bisa, kali!” Elak Agni. Cakka menggelang pelan. “Trus, yang tadi?” Kata Cakka semakin menyudutkan Agni. Agni bingung, otaknya berfikir keras mencari jawaban yang tepat. “Emm..refleks!” Kata Agni nyengir, berusaha agar Cakka tak curiga lebih lanjut.
“Refleks?” Tukas Cakka. Agni mengangguk cepat. “Yah meskipun gak tahu, tapi kan gue sering liat orang main basket. Setidaknya, gue bisa mempraktekkan apa yang gue lihat lah!” Cakka menghela nafas singkat seraya mengedikkan bahu. Setidaknya alasan Agni masih bisa diterimalah.
“Okey..” Kata Cakka tersenyum lagi. “Gue gak akan ngalah kalo gitu!” Lanjutnya. Bola itu kembali berada di bawah penguasaan Cakka. Duel pun dilanjutkan kembali. Dan kali ini, Agni tak lagi menunjukkan keahliannya. Ia sengaja mengalah. Alhasil, sepanjang pertandingan Cakka terus menerus menambahkan point. Masing-masing dari mereka terlihat sangat menikmati permainan itu, khususnya Cakka. Ia sesekali tertawa melihat air muka kelelahan dan putus asa Agni. Sekali lagi, ia sangat menikmati hal itu.
***
Nia dan Aga, mereka ibarat artis panti, panti Minuet. Mereka juga tak pernah lepas satu sama lain, dimana ada Aga pasti ada Nia, begitu pula sebaliknya. Benar-benar seperti perangko. Mereka sering membuat gaduh suasana panti. Bukan gaduh karena masalah, tapi mereka lah yang membuat panti itu selalu terasa ramai. Mereka sering menciptakan permainan dan mengajak seluruh penghuni panti memainkan bersama, bahkan Lia sang ibu asuh pun terkadang di ajak ikut serta.
Nia dan Aga dijuluki sebagai pasangan Hujan dan Matahari. Yang satu fanatik terhadap hujan sementara yang satu lagi sangat suka melihat matahari baik terbit maupun ketika hendak menyelundupkan diri. Mereka bukan pasangan satu-satunya, karena semua anak di panti minuet memiliki pasangan masing-masing. Dalam artian teman yang paling dekat satu sama lain, meski diantara mereka semua memang sudah dekat dan akrab sekali. Ada pula pasangan Semut hitam dan Semut merah, Air dan Udara, Awan dan Langit bahkan Bawang putih dan Bawang merah. Mereka sendiri yang memilih julukan itu. Namun ada juga yang dipilihkan oleh Lia, contohnya ya Nia dan Aga ini.
Suatu ketika, Lia memberikan 2 buah kalung masing-masing untuk Aga dan Nia. Itu sebagai hadiah untuk mereka sebagai pembangkit keceriaan di panti. Anak panti yang lain, satupun tidak merasa iri akan hadiah yang diberikan Lia itu. Mereka malah ikut senang seolah-olah mereka itu Aga dan Nia. Pada Nia, Lia memberikan kalung berbandulkan cincin dengan guratan garis-garis lurus di permukaan depan. Hal itu diumpamakan seperti rintik hujan karena Nia menyukai hujan. Dan di lengkungan dalamnya terukir 3 buah huruf yang tersusun menjadi sebuah nama,namanya. Dan pada Aga, Lia memberikan sebuah kalung dengan bandul berbentuk matahari sesuai kesukaannya dan ditengahnya juga terukir sebuah nama, namanya pula.
Kalung itu sangat mudah dikenali terutama kalung Aga. Mereka dengan senang menerima itu dan memakainya. “Jaga kalungnya baik-baik karena ibu gak bisa memberikannya setiap saat jika itu hilang.” Pesan Lia saat memberikan kalung itu. Nia dan Aga masing-masing mengangguk semangat. “Siap ibuku yang cantiik!” Seru Aga tersenyum lantang. Nia hanya ikut tersenyum.
Tapi, sepertinya Tuhan tidak menginginkan panti itu selalu terisi akan keceriaan. Sebulan setelah pemberian kalung itu, Aga kembali diambil oleh orang tuanya. Semula, tentu awalnya Aga sangat-sangat tidak menginginkan itu. Aga membenci orang tuanya terutama ibunya yang menurutnya tega secara sadar dan pikiran normal meninggalkannya begitu saja. Dan juga, ia tidak ingin berpisah dengan seluruh penghuni panti, khususnya Nia. Lia sendiri tidak bisa menahan Aga karena Aga masih punya orang tua. Merekalah yang paling berhak atas Aga.
Aga pada akhirnya tidak bisa berbuat apa-apa. Ia meminta kedua orang tuanya untuk menunda satu hari acara penjemputannya kembali. Ia ingin berkumpul dengan teman-teman barunya di panti, mengadakan sebuah perpisahan kecil lah bersama mereka. Kedua orangtuanya pun mau tidak mau harus menuruti permintaan malaikat kecil mereka. Jadilah, satu harian penuh itu dihabiskan Aga bersama teman-teman pantinya dan juga Lia.
  Siang itu, tak seperti biasa. Suasana mendadak sunyi. Meski semua telah berkumpul di ruang tengah, tapi tetap saja panti itu terasa sepi sekali. Tak ada wajah-wajah bahagia terlihat pada diri masing-masing. Anak-anak panti begitu sedih mengetahui siang itu adalah siang terakhir mereka bersama Aga. Teman yang meski baru mereka kenal beberapa bulan.
Lalu Nia, bagaimana dengan gadis kecil itu? Jika diperhatikan, hanya ia sendiri yang masih terlihat bersemangat. Tak ada kesedihan terlukis di lekuk-lekuk wajah manisnya. “Baiklah..” Kata Nia mulai buka suara membuat semua beralih menatapnya. “Ini siang terakhir kita bersama Aga. Setidaknya siang ini harus kita pergunakan dengan baik. Tidak boleh ada satu detikpun terlewat dan menyia-nyiakan dirinya.” Katanya menggebu-gebu. Sementara teman-temannya yang lain masih saja merunduk dan tak bersemangat sama sekali.
“Heei, ayolaah!” Pancing Nia lagi. Keadaan teman-temannya masih sama. Belum ada yang tergerak. Nia masih belum menyerah. Ia memikirkan sebuah cara yang bisa membangkitkan kembali semangat orang-orang disana. Ia lalu mendapat ide dan tahu apa yang harus ia lakukan. Nia berdiri menghadap ke semua orang-orang di depannya. Ia menatap satu-persatu dari mereka yang kini juga menatapnya.
“Dulu kita sahabat..teman begitu hangat..mengalahkan sinar mentari..”
Ia bernyanyi! Ya, dalam benaknya hanya itu yang paling mudah dan mungkin ia lakukan. Bernyanyi menurutnya merupakan cara jitu membangkitkan semangat yang terkubur dalam diri teman-temannya. Namun, mereka masih saja diam sambil memandangi Nia yang baru memulai bernyanyi. Sekali lagi, ia belum menyerah. Ia harus bisa mengembalikan keceriaan di panti itu seperti semula.  
“Dulu kita sahabat..berteman bagai ulat..berharap jadi kupu-kupu..”
Kali ini usahnya sedikit memunculkan kemajuan. Teman-temannya mulai menikmati alunan lagu yang ia lantunkan. Mungkin didukung dengan suaranya yang boleh diakui merdu itu. Mereka mulai menggerak-gerakkan kepala mengikuti irama dan tempo lagu berjudul kepompong yang ia nyanyikan.
“Kini kita melangkah berjauh-jauhan..kau jauhi diriku karena sesuatu..”
Nia tak hanya sekedar bernyanyi, ia mulai menggerak-gerakkan tubuhnya kesana-kemari membentuk sebuah tarian yang meski asal-asalan tapi masih terlihat bagus. Sedikit senyum terulas dibibir teman-temannya. Ia pun ikut tersenyum melihat itu. Semangatnya menjadi berlipat ganda sekarang.
“Mungkin ku terlalu bertingkah kejauhan..namun itu karena ku sayaang..”
Nia berhenti bernyanyi membuat semua yang ada disana memandangnya. “Semangatlah! Karena siang ini tak akan datang lagi. Tersenyumlah! Karena siang ini seharusnya menjadi siang yang menyenangkan.” Suaranya bergetar saat mengatakan itu pada seluruh anak panti. Bukannya bersemangat seperti yang ia pinta, anak-anak panti itu satu persatu malah mulai menangis, termasuk Aga. Meskipun tidak terlalu keras. Tapi ya tetap saja, kesedihan itu memang tak bisa diukur dari seberapa keras mereka mengeluarkan suara saat menangis kan?
Nia melihat pemandangan menyedihkan itu dan tak tega lebih lama menyaksikan teman-temannya menangis. Sejujurnya, ia lah yang paling sedih dengan kepergian Aga. Ia orang yang paling dekat dengan Aga, jadi bagaimana mungkin bisa ada yang mengaku merasa lebih sedih daripada dirinya. Setetes air matanya keluar dan membuat pipinya menjadi agak basah. Ia kemudian menggeleng cepat. Ia menghapus basahan di pipinya segera.
“Jangan menangis! Jangan membuat Aga atau siapapun disini menjadi lebih sedih!”
“Tapi, kita tidak mungkin bertemu dengan Aga lagi.” Kata salah satu teman Nia yang masih terisak. “Siapa bilang tidak mungkin?”
“Kita ini berbeda, tidak seperti anak-anak diluar sana yang dapat dengan mudah mengunjungi tempat mana saja yang mereka mau. Sementara kita, 9 orang disini tak mungkin mengunjungi Aga sering-sering, apalagi Aga akan pergi ke Jakarta. Butuh uang yang banyak. Uang-uang itu pasti lebih dibutuhkan disini.”
“Sudahlah. Bersahabat meski dalam jarak yang jauh, tapi hati kita ini bisa membuatnya tetap dekat.”
“Apa bisa begitu?”
“Iyaa. Percayalah!” Teman-temannya diam, tak ada lagi yang menjawab. Mereka diam tapi tidak menangis lagi. Nia kembali tersenyum. “Ayo, lanjutkan lagunya!” Kali ini, kesedihan mereka tak terpancar lagi. Air muka mereka menjadi lebih cerah dan bersemangat. Mereka juga mulai ikut bernyanyi bersama Nia sambil bertepuk tangan. Aga berdiri dan ikut bernyanyi serta menari di sebelah Nia. Suasana pun cair kembali.
“Persahabatan bagai kepompong..mengubah ulat menjadi kupu-kupu..”
Mereka melanjutkan menyanyikan lagu itu hingga akhir. Keceriaan di panti Minuet sudah kembali seperti semula.
***
Drrt..drrt..
Dua pesan masuk secara bersamaan membuat ponsel Agni bergetar lebih lama. Belum sempat ia membuka pesan itu satu-persatu, sudah muncul pula satu panggilan lagi. Ipii. Nama itu yang tertera di layar ponselnya. Ia menjawab panggilan tersebut dan menempelkan ponselnya ke telinga. “AGNIII!!!” Pekik Ify, membuat Agni sedikit menjauhkan ponselnya. Ia memandang ponselnya bingung beberapa saat. “Ni anak baru punya hape apa? Ckck..” Gumamnya heran. Cakka yang sedang duduk beristirahat di sebelahnya terkekeh pelan.
“Apaan sih? Lo lagi belajar jadi kenek angkot, hah?”
“Hehe, mangap-mangap!” Kata Ify nyengir.
“MAAAAP!” Sekarang gantian Agni yang berteriak. Terdengar Ify terkekeh di seberang sana. “Ah serah deh. Ada yang lebih penting. Ini gawat Ni, gawat!” Agni mengangkat sebelah alisnya bingung. “Gawat kenapa? Kucing lo mau melahirkan lagi?” Katanya asal.
“Yee, bukan itu kali! Ini tentang Alvin dan juga pasti menyangkut Shilla.” Kata Ify, lagi.
“Alvin? Kenapa lagi tuh anak bedua?” Tanya Agni bingung. Cakka pun tak jauh beda. “Yaelah, lo gak update. Sekarang lo check deh berita terbaru tentang dia.”
“Iyeee, ntar gue check dulu!” Kata Agni dan memutus panggilan dari Ify. Ia kemudian mencari berita yang Ify bilang tadi. Saat itu juga matanya membelalak. Ia tak percaya melihat apa yang terpampang di artikel yang ia buka. Alvin Jonathan dan Febby Rastanty? Berikut judul artikel tersebut. Tak hanya tulisan itu, ada yang lain yang lebih membuat shock. Disana terdapat foto Alvin bergandengan dengan seorang gadis yang tak ia tahu siapa itu. Mungkin itu yang namanya Febby seperti yang tersebut dalam judul artikelnya.
Agni menggeleng tak percaya. Ia lalu menghubungi Shilla. Tak butuh waktu lama panggilannya itu disambut Shilla. “Agnii..” Sahut Shilla manja. Suaranya terdengar parau, seperti sedang terisak. Agni menghela nafas panjang. “Gue kesana ya?” Kata Agni lembut. Jarang-jarang ia melakukan itu. Meskipun ia terkadang sering jutek pada ketiga sahabatnya, tapi ia juga punya satu sisi yang sangat disukai oleh mereka. Ia pribadi yang perhatian dan ia tahu kapan harus melakukan hal itu dengan tidak berlebihan tentunya.
“Hmm..” Shilla mengangguk meski tidak terlihat oleh Agni. Setelah mengakhiri panggilan ia hendak memasukkan ponselnya kembali sebelum seseorang kembali menghubunginya. Ia mendesah melihat itu. “Halo, kenapa Via?” Kali ini, Via yang menelpon. “Lo udah liat berita itu?” Tanya Via. Agni berdehem menjawab pertanyaan tersebut. “Gue mau ke rumah Shilla sekarang.”
Agni benar-benar memasukkan ponselnya ke kantong. Ia berdiri hendak pamit. “Kka, gue cabut dulu!” Cakka malah ikut berdiri. “Mau ke rumah Shilla? Emang ada apaan sih?” Tanya Cakka yang sedikit tak mengerti masalah apa yang dibicarakan Agni beserta sahabat-sahabatnya tadi. “Biasa, temen lo bikin temen gue galau.” Kata Agni seraya tersenyum miring.
“Hmm..mau gue anter?” Tawar Cakka. Agni memandangnya tak percaya. “Serius lo? Haha, gak usah la, ngerepotin!” Tolaknya.
“Ah gak masalah. Ayok!” Cakka langsung menarik tangan Agni tanpa bertanya lagi. “Eh!” Kaget Agni. Tapi, ia tak berontak dan mengikuti saja tangannya itu ditarik kemana oleh Cakka.
***
“Makasih, Kka!” Agni keluar dari mobil Cakka setelah mengatakan itu. Ia berjalan mendekati pagar rumah Shilla dan menekan bel. “Siapa?” Tanya sebuah suara dari bel itu. Suara itu terdengar malas-malasan. Agni mendengus lalu menjawab. “Gue, Agni!”
“Agniii, akhirnyaa!” Seru Shilla, si pemilik suara. Pagar pun terbuka secara otomatis sehingga Agni dapat masuk ke dalam. Tanpa mengetuk lagi, Agni langsung membuka pintu rumah Shilla dan berjalan menuju kamar gadis itu. Ia membuka pintu itu perlahan. Didapatinya seorang gadis, menekuk lutut sambil bersandar di papan atas tempat tidur. Gadis itu melihat Agni dan tersenyum seperti dipaksakan. Agni menghela nafas singkat dan berjalan memasuki kamar. Ia kemudian duduk di dekat gadis itu, Shilla.
“Apa kabar lo?” Tanya Agni. Kedengarannya memang seperti basa-basi, tapi Agni tidak benar-benar memaksudkan itu dalam pertanyaannya. Shilla menggeleng lemah tanpa menoleh ke arah Agni. “Emm berita itu, lo..”
“Gue udah tahu..” Potong Shilla. Suaranya terdengar pelan. “Terus?” Tanya Agni lagi. Ia mengambil posisi bersila tepat di hadapan Shilla, menatap gadis itu lekat-lekat. Shilla menghunuskan nafasnya cepat. “Kira-kira, berita itu bener gak ya?” Tanyanya balik. Ia kini menatap Agni mengharapkan sebuah atau berapapun kata yang akan keluar dari gadis itu yang bisa membuatnya tenang.
“Lo percaya?” Lagi-lagi Agni bertanya. Mata Shilla menerawang memikirkan pertanyaan Agni itu. Ia lalu mengedikkan bahu putus asa. “Lalu, lo percaya Alvin?” Hmm, sepertinya saat ini Shilla menjadi objek interogasi Agni. Shilla mengangguk meskipun terlihat ragu-ragu. Melihat itu, Agni pun tersenyum lega. Ia memegang pundak gadis di depannya. “Shill, selama lo percaya, berita dengan kemiringan sederajat apapun gak bakalan ada artinya. Berita-berita kayak gitu cuma bisa memanaskan telinga tapi gak untuk hati, ya karena lo percaya.”
Shilla diam sambil mencoba meresapi dalam-dalam pikirannya dengan kata-kata Agni barusan. “Beneran?” Tanya Shilla memastikan. Agni tersenyum lagi. “Iya, Shillaku sayang. Lagi juga, yang kayak gini tuh bukan sekali dua kali. Coba deh lo itung-itung berita sebelum-sebelumnya.” Kata Agni. Shilla mulai mengingat-ngingat gosip-gosip terkait kekasih yang sangat ia cintai itu.
“Hehe, banyak..” Kata Shilla nyengir tertahan (?) Ia menggaruk-garuk pelipisnya yang tak gatal. “Nih ya, Ourel, Irva, Olivia, Osa, Aren, Ze..Zevi eh Ze apa tuh?”
“Zevana?”
“Nah itu!” Seru Agni. “Ya udah, lo telpon gih.” Suruhnya kemudian. Shilla memandangnya bingung sekaligus menunjukkan sikap penolakan. Ia menggeleng keras. “Ck, ayolah!” Paksa Agni. Shilla menggerutu kesal. Mau tak mau ia melakukan apa yang Agni katakan. Ia mengambil ponsel dan mencari nama Alvin di kontaknya. Oh mungkin lebih tepatnya Sipitrese di kontaknya sebab ia belum mengganti nama itu hingga kini. “Nii..” Rengek Shilla, berharap Agni tak benar-benar meminta hal itu. Namun Agni tetap kekeuh memaksanya menghubungi Alvin.
“Iss iya-iya! Tapi, lo mesti tutup kuping!” Kata Shilla pasrah sekaligus berbalik memaksa Agni.
“Tutup kuping? Ah biasa juga lo terang-terangan,” Ujar Agni bingung. “Tapi ini beda masalahnya!” Sungut Shilla.
“Aiss, apa bedanya sih? Sama aja kali!” Kata Agni tak mau kalah.
“Iii..tutup aja. Lo mau gue nelpon dia atau gak?” Ancam Shilla. Alis Agni terangkat sebelah. “Lah, kenapa lo jadi ngancem gue?”
“Yaudah, tutup aja apa susahnya?” Agni mendengus dan kemudian memasang earphone miliknya. “Iya-iya! Nih, puas?” Kata Agni yang sudah mengambil posisi tiduran. Shilla tersenyum menang dan segera menelepon kekasihnya, Alvin. Jari telunjuknya bergerak mengetuk-ngetuk dagu sembari menunggu panggilannya itu dijawab.
Cukup lama Shilla mendengarkan deringan di ponselnya bahkan sampai bunyi itu berhenti, Alvin tak kunjung mengangkat. Ia lalu memandangi ponsel itu dan ragu untuk melakukan panggilan lagi. “Kenapa?” Tanya Agni bingung. Shilla hanya menggeleng lemah. Agni memaksanya menghubungi Alvin lagi. Ia melakukannya kembali meski ragu-ragu. Dan..hasilnya tak berbeda. Alvin masih belum mengangkat panggilan itu.
“Nih, makanya gue gak mau. Pasti gak diangkat!” Gerutu Shilla. Ia mendecak kesal lalu menghempas ponselnya kasar di atas kasur. “Tunggu aja bentar, dia pasti nelpon lo balik.” Ujar Agni. Shilla tak mau tahu lagi. Ia bersender sambil menengadahkan kepalanya.
Baru beberapa saat, BB Shilla berbunyi dan ada panggilan masuk. Hmm, mungkin dewi fortuna berpihak pada perkataan Agni barusan. Yap, Alvin menelepon Shilla balik. Agni mengambil BB itu cepat dan menunjukkannya tepat di depan wajah Shilla. “Nih! Apa gue bilang?” Shilla merebut BBnya dan segera menekan yes mengangkat panggilan itu.
Shilla diam. Ia tak ingin berbicara duluan. Ia menunggu pemuda yang meneleponnya itu berbicara. 1..2..5..10 detik masing-masing saling diam. *kbnykanpulsa* Shilla lelah menunggu. Pada akhirnya ia juga yang memulai perbincangan itu di antara mereka. “Halo?” Ujar Shilla sebiasa mungkin. Terdengar Alvin menghela nafas di seberang sana. “Haah, akhirnyaa! Cantikkuu, lo gak marah kan?” Kata Alvin lega.
Ck, harus gitu gue bilang gue marah atau gak? Lol! Batin Shilla. Ia mengatur ritme nafasnya baik-baik. Agni menoleh sebentar melihat tingkah laku Shilla itu. Ia cuma geleng-geleng kepala tanpa tahu apa yang Shilla bicarakan. Tentu, karena ia sedang memakai earphone.
Shilla berdehem singkat menjawab pertanyaan Alvin tadi. Ia tidak berniat berkata panjang lebar. 1..2..5..10 detik kembali dan hening. Belum ada yang buka suara lagi. Shilla mendecak kesal. “Ck, halooo?!! Niat nelpon gak sih?! Lo asli banget-bangetan ya bikin gue marah! So, gak ada yang mau diomongin lagi kan? Gue tutup aja nih sekalian!” Rutu Shilla. Unek-uneknya kini sudah terealisasikan semua.
“Eee jangan-jangan! Jangan ditutup, Cantikkuu! Gue masih mau ngomong sama lo.” Tahan Alvin yang terdengar panik. Shilla menghembuskan nafas lagi. Kali ini lebih berat. “Ya udah ngomong..” Kata Shilla mulai lunak. Terdengar Alvin mendesah kembali.
Dan untuk ketiga kalinya, detik-detik tersia-siakan itu terjadi. Alvin diam tidak berbicara seperti yang Shilla minta. Shilla mencoba menunggu beberapa detik lagi dan ia pun habis kesabaran. “Alviiin, lo..”
“I..iya-iya..gu..gue minta maaf!” Ujar Alvin akhirnya sebelum Shilla sempat menyelesaikan omelannya. Shilla lalu diam menunggu kalimat Alvin selanjutnya. “Maaf yaa! Maaf karena gue udah ngelupain lo akhir-akhir ini.”
“Oh lo ngelupain gue ceritanya? Hmm, posisi gue tergantikan. Bagus deh.”
“Eee bukan itu maksudnya. Aduuh emm ma..maksud gue itu..”
“Iya, gue maafin.” Potong Shilla. Ia tersenyum tipis.
“Hah? Beneran nih?” Tanya Alvin lembut. “Iss..iyaa!” Kata Shilla salting. Pipinya samar-samar bersemu. *Halah*
“Iya apa iya?” Goda Alvin. “Ya udah gak gue maafin.”
“Eh jangan dong! Iya deh gue percaya.”
“Emm cewek itu..yang di mall waktu itu kan?” Tanya Shilla hati-hati. Ia memindahkan posisi ponselnya yang awalnya berada di sebelah kiri menjadi di sebelah kanan. “Kenapa? Lo percaya sama berita itu?” Alvin malah bertanya balik.
“Eh..sedikit.” Kata Shilla gugup. “Lo gak cuma inget cewek itu yang waktu di mall kan? Lo inget juga apa yang gue bilang pada saat itu kan?” Tanya Alvin yang kesekian kali. “Iya..gue inget.” Shilla menggigit bawah bibirnya. Ia masih belum bisa tenang. “Gu..gue..cuma takut.” Lanjutnya.
“Takut?”
“Hmm..gue takut lama-lama gue percaya. Berita itu bener dan hati lo berubah dan lo nerima dia, lo milih dia dan..”
“Dan gue gak akan pernah ngelakuin itu!” Kata Alvin tegas. Shilla seketika bungkam. Ia menunduk dan sedikit merasa lega mendengar perkataan Alvin barusan. Meskipun masih ada yang mengganjal. “Emm, Vin!” Panggil Shilla. “Ya?”
Shilla menarik nafas cukup panjang sebelum berkata kembali. “Jangan pernah tinggalin gue!” Pintanya. “Iyaa!” Ujar Alvin menyanggupi.
“Sisakan tempat di hati lo dan itu hanya untuk gue. Lo bisa kan?” Pinta Shilla lagi. “Pasti! Ah ada yang harus lo ralat, tempat lo di hati gue itu bukan sisa lagi! Lo itu letaknya di tengah-tengah. Menempati posisi paling istimewa. Karena lo berada di pusatnya.”
“Gombal!”
“Lah, jadi lo mau yang gue bilang tadi bohong?”
“Iss..okey, gue pegang kata-kata lo.”
“Nah gitu dong!”
“Vin!” Panggila Shilla lagi. “Hmm?”
“I love you!” Ujar Shilla dan langsung memutus panggilan. Bisa dilihat bahwa mukanya merah sekarang. Ia merasa sudah benar-benar tenang. Ia senyam-senyum sendiri sembari memandangi layar ponselnya. Jangan kecewakan gue! Cinta gue limit, hanya untuk satu hati dan gak datang dua kali, tiga kali bahkan sampai orang-orang menyebutnya bukan kali lagi! Katanya dalam hati.
Agni bangun dan melepas earphone yang beberapa saat lalu ia kenakan. “Gimana? Lo percaya kan sama kata-kata gue?” Shilla tersenyum jail. “Gue percaya Alvin, haha!”
“Yee, dasar lo! Haha..” Rutu Agni dan memukul pelan pundak Shilla. Shilla sudah bisa tertawa lepas dan hal itu membuat Agni lega sekaligus turut senang. “Ni! Thank’s yaw!” Ujar Shilla berterimakasih. Agni tersenyum miring. “Thank’s buat apa?” Tanya pura-pura bingung. Dasar gadis ini, pandai berpura-pura!
“Mmm, buat apa yaa?”
“Ahelaah! Okedeh cimi-cimi kuu! Hahaha..” Mereka serentak tertawa, lebih keras sepertinya. Mission complete! Batin Agni.
***
Sementara itu, Alvin baru saja keluar dari kamar mandi yang ada di kamarnya. Entah kenapa siang ini terasa begitu gerah, maka dari itu ia mandi. Ia keluar dalam keadaan rambut yang terlihat masih basah dan parahnya ia hanya mengenakan handuk! Ia berjalan mendekati tempat tidur mengganggu ketenangan ponselnya.
“HAH?!!” Katanya kaget sekaligus panik. Matanya seketika membelalak melihat apa yang tertera di layar benda itu. 2 panggilan tak terjawab dari Shilla. Kepalanya yang semula baik-baik saja sekarang seperti terasa begitu gatal dengan ia yang menggaruk-garuknya tak karuan. Ia berjalan mondar-mandir bingung apa yang harus ia lakukan. Sipit gue ilang kalo gini ceritanya! Gerutunya dalam hati. Heh? Apa hubungannya? Hmm, sudahlah. Namanya juga orang lagi panik.
Alvin kemudian segera menghubungi Shilla balik. Hanya butuh 2 deringan dan panggilan itu segera disambut. Hening. Tak ada sahutan dari Shilla. Laju mondar-mandirnya makin tinggi sampa-sampai ia tak sadar kaitan handuknya semakin melonggar. Persetan dengan itu! Menurutnya, mungkin. Ia masih mondar-mandir hingga akhirnya muncul suara Shilla mengatakan halo. Ia berhenti dan menghembuskan nafas lega. “Haah, akhirnyaa! Cantikkuu, lo gak marah kan?” Kata Alvin lega.
Hei-hei tak sampai disitu, aksi mondar-mandir kalang-kabut asap polusinya (?) masih berlanjut. Beberapa kali Shilla melakukan aksi diam dan beberapa kali pula aksi konyol Alvin itu terjadi. Ia semakin masa bodoh akan lilitan handuknya yang mulai terlepas. Tapi untunglah itu tak berlangsung lama karena Shilla pun melunak. Hingga perbincangan menguras kepanikan Alvin itu berakhir dengan pernyataan jujur Shilla dan memutus panggilan secara sepihak. Meski begitu, Alvin tetap terlihat senang bahkan sangat malah.
Alvin melempar ponselnya ke kasur. “LOVE YOU TOOO MY SHILLAA!!” Teriaknya kelewat heboh dan menggema di setiap sudut kamarnya (?). Pluk! Handuknya benar-benar melepaskan diri dan memperlihatkan bagian bawah tubuh Alvin yang tadi sempat ia tutupi. Dan pada saat yang bersamaan pintu kamar Alvin dibuka seseorang dari luar. Otomatis orang itu dapat menyaksikan pemandangan ‘ajaib’ yang ada di dalam.
Cekrek! Jail, orang itu memotret Alvin yang saat ini dalam keadaan ‘polos’. Ia terbahak melihat hasil jepretan terlarangnya. Mata Alvin kembali menganga berikut mulutnya pula (?). “Wah kalo gue upload, lo pasti lolos jadi model majalah playboy! Limited edition hahaha!” Kata orang itu sembari tertawa puas. Ia langsung lari alias kabur sebelum Alvin sempat mengejarnya. “DEPAAAH SARAAP BALIKIN FOTO GUEEE!” Pekiknya tak kalah keras dari sebelumnya.
***
Ify menyantap dinnernya sendirian malam ini. Papanya belum pulang. Ia melihat ke jam dinding dan mengetahui sekarang sudah pukul setengah delapan. Ia menghembuskan nafas berat. Sekarang, Ify benar-benar merasa sikap Papanya aneh. Belum lagi dengan sobekan-sobekan kertas yang ia temukan yang sampai sekarang belum disusunnya secara benar. Ia bahkan seperti tidak pernah bertemu papanya beberapa hari ini, padahal mereka tinggal di tempat yang sama. Bagaimana tidak, Papanya pergi pagi-pagi sekali sebelum sempat menyapa atau bertatap muka dengan Ify. Dan lihat, Papanya juga belum pulang. Saat ia tidur, laki-laki itu mungkin baru pulang.
Gadis ini melahap makanannya kurang berselera. Sesekali terdengar dentuman-dentuman akibat ia mengadu ujung sendoknya dengan piring yang ia gunakan. Tapi tiba-tiba pintu terbuka dan rupanya Papanya baru pulang. Papanya berjalan sampai ke ruang makan. Ify meminum seteguk air putih lalu menyapa Papanya. “Papa, kok baru pulang sih? Sini, makan dulu. Ify sendirian tahu daritadi!” Papanya lalu menduduki salah satu kursi di dekatnya.
“Papa udah makan, sayang! Papa minum air putih aja deh sambil nemenin kamu.” Ujar laki-laki paruh baya itu. Benar saja, ia lalu mengambil segelas air putih dan meminumnya seteguk demi seteguk. “Iss, Papa tahu Ify gak suka makan sendirian. Kenapa malah makan duluan?” Keluh Ify. Ia mengaduk-ngaduk makanan di piringnya. “Yah, namanya juga laper. Mana bisa ditunda?” Kata Papanya terkekeh.
Terjadi keheningan sebentar. Ify lalu kembalu bersuara. “Pa, papa sakit ya?” Tanyanya tiba-tiba dan agak mengagetkan Papanya. Laki-laki itu terlihat kebingungan hendak menjawab. “Ee..mm kamu kenapa tiba-tiba nanya itu?” Ujar Ferdi, Papa Ify, gugup. Ia meneguk banyak-banyak air putih di gelas yang ia pegang. Tak ayal, Ify pun memandangnya dengan tatapan aneh. “Papa kenapa? Ify cuma nanya aja.”
“Ooh. Hmm, Papa gak sakit kok! Nih, masih segar bugar gini!” Kata Ferdi yang sudah kelihatan lebih tenang. Ia tak lagi terburu-buru meminum air putih. Ia menyesapnya sekarang. “Pa..Ify mimpi ketemu Mama.” Kata Ify lirih. Ferdi tersenyum memandangnya. “Hmm..lalu?”
“Yah itu aja, Ify mimpi Mama, ketemu Mama dan meluk Mama. Rasanya tuh kayak beneran, Pa!” Kata Ify menggebu-gebu menceritakan mimpinya. Namun, sedetik kemudian wajahnya kembali terlihat bingung. “Tapi..ada yang aneh dari kata-kata Mama.” Sambungnya. Kening Ferdi mengkerut. Ia menaruh gelas yang sedari tadi ia pegang. “Aneh kenapa?” Tanya Ferdi.
“Mama bilang, ada yang jauh lebih merindukan Mama...Siapa?” Jawab Ify seraya bertanya balik. Ia menaruh sendok dan garpunya dengan posisi menelungkup serta menyilang. Ferdi tersenyum menatap anaknya itu. “Sudahlah, jangan difikirkan. Itu cuma bunga tidur.” Ujarnya seraya mengusap lembut puncak kepala Ify. “Nah, kamu udah selesai makan kan? Papa ke kamar dulu, capek nih! Hehe..” Katanya lagi. Ify mengangguk pelan.
Baru saja hendak berdiri tiba-tiba pinggangnya terasa sakit. Ia sontak mengaduh memegangi pinggangnya itu dengan tangan kirinya sementara tangan kanan menumpu badan pada tepi meja. Ify kaget dan mendekat ke arah Papanya. “Loh? Papa kenapa?” Paniknya. Sadar bahwa anaknya panik, Ferdi mencoba berdiri tegak kembali. “Ah, gak papa. Cuma pegel aja tadi. Ya udah Papa ke kamar ya!” Elaknya. Ia berjalan meninggalkan meja makan sekaligus Ify.
“Perlu Ify bantu? Papa baik-baik aja kan?” Pekiknya. Ferdi berhenti sebentar dan berbalik badan. “Gak usah, Papa gak apa-apa kok!” Katanya menyungging senyum. Tepatnya memaksa diri untuk tersenyum. Untunglah Ify tak sadar akan hal itu. Ia kembali melanjutkan berjalan menuju kamarnya. Begitu pula Ify. Tapi ify sedikit berbeda, ia menaruh piring dan gelas bekas makannya dulu ke dapur. Barulah sesudah itu ia beranjak ke kamar. Namun, sejenak ia memandang pintu kamar Papanya yang tertutup. Ada sesuatu yang harus ia cari tahu, tentang ruang di balik pintu tersebut maupun orang yang menghuninya.
***
Ify dan Papanya sudah berada di luar pintu rumah mereka. Pagi ini, Papa Ify masih belum bisa mengantarnya ke sekolah. Maka dari itu, Rio terlihat menampakkan dirinya di sana. Ia keluar dari mobil untuk sekedar memberi salam pada Papa Ify. “Om..” Sapanya sopan. Ify menatapnya aneh. Tak biasanya Rio bersikap sopan seperti itu, pakai senyum segala lagi. Dua laki-laki ini sepertinya gemar membingungkan gadis di hadapan mereka. Hmm, gak Papa gak Rio dua-duanya complicated! Emang laki-laki kayak gitu semua ya? Ckckck..
“Ya udah Papa berangkat dulu. Kamu belajar yang bener, jangan perbaikan mulu!” Pamit Ferdi yang sedikit bercanda itu. Ify tersenyum kecut mendengar kata-kata Papanya barusan. “Yo, om pergi dulu ya. Titip anak om, jaga baik-baik!” Pamit Ferdi lagi, kali ini pada Rio. Rio hanya tersenyum menanggapi itu. Tanemaan kali dijaga! Batin Ify menyeletuk. Ia memandangi Papanya hingga benar-benar meninggalkan rumah.
Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Ia langsung berlari masuk ke dalam rumah kembali. Ia bergerak menuju kamar Papanya. Rio yang kebingungan lantas mengikutinya masuk ke dalam, ke kamar Ferdi. Ify terlihat berkeliling seperti mencari sesuatu di ruangan itu. Beberapa laci yang ada dibukanya sambil berharap ia menemukan sesuatu di dalam sana. Rio? Ia garuk-garuk kepala melihat kesibukan Ify itu. Karena tak tahu apa yang Ify cari, ia pun hanya masuk dan melihat-lihat foto yang terpajang di dinding. Salah satunya foto bersama antara Ferdi, Gina dan Ify yang di situ kira-kira masih berumur 3 tahun. Mereka terlihat sangat bahagia dan harmonis.
Jadi ini Tante Gina, Mama Ify? Kayaknya gue pernah liat. Batinnya. Rio tak begitu lama menaruh perhatian pada foto itu. Ia melihat jam tangannya dan menoleh pada Ify. “Fy,  jam berapa nih? Lo mau dapat hadiah bersihin WC?” Ify seketika diam, tak lagi bergerak mencari apa yang hendak ia temukan sebelumnya. Sesaat ia terpaku dengan Rio yang memanggilnya. Apa itu? Rio nyebut nama gue? Batinnya seolah tak percaya dengan apa yang ia dengar. Rio tak sekedar memanggil tapi laki-laki itu menyebut namanya juga. Ya, tidak seperti biasanya memang. Pemuda satu ini mana pernah melakukan itu saat mengajaknya bicara. Paling-paling ia berkata ‘Heh’, ‘Woy’ dan yang satu spesies dengan itulah.
“Ahelah bengong pula! Mau sekolah gak lo? Kalo gak gue tinggal!” Kata Rio lagi. “Eh..iya-iya.” Sahut Ify cepat. Ia berjalan mengikuti Rio sambil memandangi pemuda itu dari belakang hingga mereka sampai di dalam mobil. “Pasang seat belt lo, gue mau ngebut!” Ujar Rio. Sebenarnya sih ia mengatakan itu biasa tapi tetap saja agak ketus kedengarannya. Ify pun menarik seat belt yang tergulung rapi di tempat benda itu ditempel.
Namun, seat belt itu sedikit bermasalah alias tidak bisa ditarik. Ify mencoba menariknya lebih kuat tapi benda itu masih macet. Rio menoleh ke arahnya dengan kening berkerut. “Kenapa?” Tanyanya. “Ini..nya..gak..bisa..di..tarik..haah!” Jawab Ify terbata tanpa menoleh karena masih berusaha menarik sabuk itu. Ia akhirnya menyerah karena takut bukannya baik kembali malah rusak total. “Ck, bilang aja lo pengen gue yang masangin!” Tuduh Rio. Ify mencibir mendengar itu.
Rio kemudian bergerak ke samping ingin membuktikan sendiri benarkah sabuk mobilnya macet. Alhasil, posisi Rio yang begitu dekat itu membuat marathon jantung Ify. Bahkan tak bisa dibilang marathon, toh debaran jantungnya makin cepat seiring makin lamanya Rio mencoba menarik seat belt tadi. Ia memandangi wajah Rio yang emm merupakan perpaduan antara manis dan tampan itu. Ia tak bisa menyangkal.  Yah, meskipun bukan itu yang membuatnya jatuh hati pada pemuda ini. Karena awalnya ia menyukai suara Rio dan ya hanya itu. Setidaknya sebelum Rio berada sedekat ini dengannya. Alasannya mungkin bertambah satu lagi sekarang.
Rio akui Ify benar, memang seat belt itu tak bisa ditarik. Karena merasa ada yang memandanginya, ia pun menoleh hendak memastikan. Ify tersentak dengan Rio yang menoleh tiba-tiba. Ia terpaku menatap mata teduh pemuda di depannya begitu pula Rio, entah kenapa kali ini ia ingin sekali memandang gadis itu. Ia juga tidak tahu kenapa. *sinetronbanget**penulismiskinide* MasyaAllah nih orang ganteng amat! Eza gionino mah lewaat! Eh eh kenapa nih orang makin lama makin dekat? Wah wah beneran mati duduk nih gue! Heboh Ify dalam hati.
Yap, Rio memang makin lama makin dekat terutama ke wajahnya. Rio sendiri tak sadar ia melakukan itu. Ia tetap saja meneruskan aksi yang bisa ‘membunuh’ Ify saat itu juga. Ify berulang kali mengerjap-ngerjapkan matanya. Sedetik kemudian ia sadar ini tidak boleh berlalu begitu lama. “HUWAW!” Kata Ify heboh dengan ponselnya yang sengaja ia jatuhkan. Rio terkesiap dan sadar seketika. Ia mengalihkan pandangan kembali pada seat belt.
Seet! Benda itu dengan mudah di tarik sekarang. Rio mengutuki benda itu yang seolah-olah mengerjainya sejak tadi. Ia menormalkan posisi tubuhnya kembali. Tapi, sepertinya tubuh itu tak benar-benar dalam keadaan normal. Masih ada yang dalam posisi tak wajar di dalam. Tepatnya di bagian dada kiri. Ia baru sadar bagian itu bergetar hebat. Ia pun tak tahu kapan tepatnya getaran-getaran itu berawal. Ia menghela nafas sejenak dan kemudian segera melajukan mobil. Dengan kecepatan cukup tinggi tentunya.
Sementara Ify, ia mengambil ponselnya yang ia jatuhkan tadi setelah Rio tak lagi di depannya. Sama seperti Rio, ia terlihat menghela nafas tapi cukup lama dibanding pemuda itu. You are my savior! Ujar Ify dalam hati sambil memandangi ponsel malangnya.
***
06.00. Via sudah sampai di sekolah tepatnya sudah berada di dalam kelas. Sendirian! Tentu saja, ini masih terlalu pagi. Belum ada siswa yang terlihat menampakkan diri selain dirinya. Ia sengaja datang sepagi ini ya apalagi kalau bukan untuk menghindar dari siswa-siswa yang lain. Ia risih di ledek terus-terusan. Alhasil, tak ada teman, Via pun bosan juga. Ia berjalan keluar kelas dan menoleh ke kanan kiri. Ia kemudian memilih jalan ke arah kiri, ia hendak ke ruang musik. Mungkin kadar bosannya bisa berkurang disana.
Tak jauh beda dengan kelas, ruang musik sama sepinya. Ia berjalan santai memasuki ruangan itu dan kemudian menduduki salah satu kursi di tengah-tengah panggung, tepatnya kursi untuk vokalis. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Bersih! Itulah kesimpulan yang ia dapat. Via lalu mengeluarkan ipod di kantong roknya sembari memasangkan headset ke telinga. Ia membuat ipod itu memainkan lagu yang tak tahu kenapa ingin didengarnya. Adera – Lebih indah. Kepalanya bergerak ke kanan kiri mengikuti alunan lagu itu. Ia pun ikut bernyanyi ketika lagu itu mulai dimainkan.

saat ku tenggelam dalam sendu
waktupun enggan untuk berlalu
ku berjanji tuk menutup pintu hatiku
entah untuk siapapun itu

semakin ku lihat masa lalu
semakin hatiku tak menentu
tetapi satu sinar terangi jiwaku
saat ku melihat senyummu

dan kau hadir merubah segalanya
menjadi lebih indah
kau bawa cintaku setinggi angkasa
membuatku merasa sempurna

dan membuatku utuh tuk menjalani hidup
berdua denganmu selama-lamanya
kaulah yang terbaik untukku

kini ku ingin hentikan waktu
bila kau berada di dekatku
bunga cinta bermekaran dalam jiwaku
kan ku petik satu untukmu

dan kau hadir merubah segalanya
menjadi lebih indah
kau bawa cintaku setinggi angkasa
membuatku merasa sempurna
dan membuatku utuh tuk menjalani hidup
berdua denganmu selama-lamanya

“Kaulah yang terbaik untukku..” Via mengakhiri nyanyiannya sebelum lagu di ipodnya selesai. Tiba-tiba seseorang masuk dan bertepuk tangan. “Suara lo bagus! Nyanyi sekali lagi dong!” Puji orang itu sekaligus menyuruh Via menyanyikannya sekali lagi. Via kaget melihat orang itu. Orang yang notabenenya membuat ia datang sepagi ini. Orang itu langsung menduduki kursi di sebelahnya. “Ayo, nyanyikan sekali lagi!” Pintanya lagi.
Via mendengus lalu kemudian berdiri hendak beranjak pergi. Melihat itu, dengan cepat orang tadi menahan pergelangan Via dan membuat gadis itu duduk kembali. “IEL! Apaan sih lo? Gue mau pergi juga!” Sentak Via pada Iel, orang yang membuatnya tertahan. Ia hendak berdiri lagi tapi Iel kembali membuatnya diam di kursi. “Lo kenapa sih? Lo marah sama gue?” Iel hilang akal dan agak kesal melihat perubahan sikap Via beberapa hari ini padanya.
“Menurut EL?!” Jawab Via asal dan membuang muka. Cowok ini benar-benar tidak peka menurutnya. Masa sih ia tidak sadar juga dengan hampir seluruh siswa menyoraki dirinya saat lewat? Apa ia juga tidak ingat apa yang sudah ia lakukan pada Via waktu itu?
Sementara itu, Cakka tak sengaja lewat dan melihat sosok yang sudah sangat ia kenal ada di dalam sana. Ia mendapat ide jail. Ia menarik pintu ruang musik pelan-pelan dan kemudian menguncinya dari luar. Ia terkikik tanpa suara. Sekali-sekali mengerjai teman itu tak masalah lah. “Cakka? Lo nga..”
“Ssst!!” Cakka membekap mulut gadis yang melihatnya. Ia membawa gadis itu menjauh dari ruang musik.
Kembali pada Siviel. Via kembali berdiri dan kali ini Iel tidak menahannya. Ia berjalan turun dari panggung dan bergerak menuju pintu. “Eh jawab dulu pertanyaan gue!” Pekik Iel. Via tetap tidak mengindahkan pertanyaan Iel barusan membuat Iel garuk-garuk kepala bingung. Sampai di pintu, ia sedikit bingung dengan keadaan benda itu yang tertutup karena seingatnya tadi ia meninggalkan pintu ini dalam keadaan terbuka. Ia mencoba membukanya tetapi tidak bisa. Pasti terkunci dari luar! Pikirnya. Ia mencoba lagi dan hasilnya tetap sama.
Mati deh guee!! Teriaknya dalam hati.
***
Yaaa begitulah hasilnya. Silahkan caci maki saya karena ketidakjelasan cerbung ini haha. Next part mungkin gak ngaret karena libur panjang. Mungkin ya mungkin! :p
Jelek ya? Haha, saya tahu kok. Maklum saya bukan penulis. Maafkan ke gajean dan ketidakbagusan cerita, ini hanyalah fiksi belaka. Makasih =)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar