-->

Minggu, 25 Maret 2012

Matchmaking Part 9

Assalamu’alaikum! Hehe, gak ngaret kaaan? *PLAK* Cerbung ini semakin antah-berantah saja, ckckck. Part panjang lagi -__- Eh tapi part ini emmm *jelekiya* haha baca sajalah.
Ya sudah, langsung saja yaw! Semoga tidak mengecewakan pemirsah!
***
Sebelum beranjak ke kelas, Ify menyempatkan diri membeli ice cream di kantin. Sekalian membelikan untuk ke 2 sahabatnya. Loh kok 2? Yaiyalah, Via kan masih sakit dan tidak mungkin berada di sekolah. Karena itu, tak heran kalau Agni dan Shilla menatapnya curiga. Secara, Ify jarang-jarang berbaik hati seperti ini. Dan juga, Ferdi, Papa Ify, tidak memperbolehkan dirinya mengkonsumsi makanan beku nan lezat itu terlalu sering. Agni dan Shilla pun tahu, pasti ada yang tidak beres dengan Ify. Pasti!
“Nih, buat lo berdua. Mumpung gue lagi baik, hehe..” Cengir Ify, seperti biasa. Ia langsung mengambil tempat duduknya di depan Shilla dan Agni, seperti biasa pula. Baik Agni maupun Shilla tak langsung mengambil ice cream itu. Mereka hanya memandangi Ify. “Kenapa lo?” Tanya Agni langsung. Matanya memicing ke arah Ify. Shilla pun tak jauh beda. Ia melipat kedua tangannya di dada seperti menuntut penjelasan. Ditatap seperti itu, Ify jadi gelagapan sendiri. “Aa..eh..ya udah kalo gak mau!” Elak Ify. Ia mengambil kembali ke dua ice cream itu dan menaruh di mejanya.
Shilla dengan segera berpindah ke kursi kosong di sebelah Ify dan memutar tubuh gadis itu menghadapnya. Sementara Agni tetap pada posisinya semula. “Kenapa?!” Desak Shilla. Ify menatap Agni dan Shilla bergantian. Ia masih belum mau menjelaskan apapun pada mereka. “Emm..ee..eh gue lupa dipanggil Bu Okky!” Ujar Ify yang sudah mengambil ancang-ancang berdiri. Tapi tetap saja, Shilla menarik tangannya dan membuat Ify –terpaksa– duduk kembali. Ify menatap Agni dan Shilla bergantian, lagi. Pada akhirnya ia hanya menghela nafas, pasrah dengan kedua sahabatnya.
***
“Sekarang udah istirahat, kita udah di kantin dan lo gak bisa ngeles lagi. Jelasin saat ini juga!!” Suruh Agni. Shilla hanya manggut-manggut mengiyakan. “Iss, ini tuh gak penting-penting amat tahu!” Ify masih setia mengelak. Agni melengos sementara Shilla memutar kedua bola matanya malas. “Apa susahnya ngomoong?” Rutu Shilla. Ify lagi-lagi menghela nafas. “Rrr, iya-iya! Gue jelasin!” Serah Ify. Mendengar itu, Agni menjentikkan jari antusias. “Nah! Sok mangga, gue dengerin!” Ujarnya.
“Tapi..ini tuh beneran gak penting..” Ify mencoba mengelak sekali lagi. “IFY!” Geram Agni dan Shilla. Ify terlonjak mendengar itu dan terpaksa ia benar-benar menjelaskan apa yang terjadi padanya. “Hhh, ini cuma masalah batalnya perjodohan gue sama Rio. Puas?! Udah, gak penting kan?” Jelas Ify, akhirnya. Seketika mata Agni membelalak sementara mulut Shilla menganga dan nafasnya tercekat mendengar penuturan Ify barusan. “Kok bisa?” Kata mereka kompak. Ify gantian memutar kedua bola matanya malas. “Kok bisa?” Tukas Ify meniru reaksi kedua sahabatnya.
“Heh, jawab aja! Kok bisa? Secepat ini lagi?” Paksa Agni. Begitupun Shilla. “Gak ada alasan untuk tetep melanjutkan perjodohan.” Jawab Ify santai. Ia beralih memainkan BB-nya. Mereka diam beberapa saat. Sejurus kemudian Agni merebut BB Ify tanpa permisi. “Lo cinta banget ya sama Rio?” Tanya Agni. Ify menoleh sebentar seraya mengambil BB nya kembali. “Emang kalo gue jawab gak lo bakal percaya?” Tanya Ify balik. Agni mendengus kesal. “Lo jawab aja kenapa sih?” Rutunya.
Ify tak terlalu mengindahkan dan lebih fokus memandang ke layar BB. “Rio gak suka sama gue.” Katanya datar membuat Agni mengangkat sebelah alisnya. Lalu Shilla? Ia terlihat gugup sekarang. Ia tiba-tiba saja ingat akan kejadian di mobil Rio. Yah meskipun hanya bohong belaka, tapi kan menurutnya Ify tidak tahu akan hal itu. Ia mulai ragu Ify mendengar atau tidak pengakuan Rio padanya. Shilla lalu menatap Ify lekat-lekat. Agni  tak sengaja menoleh ke arah Shilla dan mendapati gadis itu sedang memandangi Ify. Dan menurutnya itu aneh.
“Shill, lo ngeliatin Ify begitu amat. Kenapa?” Kejut Agni. Shilla terlonjak dan dengan segera mengalihkan pandangan. “Hah? Eng..enggak kenapa-kenapa kok! Iya, gak kenapa-kenapa.” Ujarnya gelagapan. Agni menyipitkan matanya tak percaya. Tentu saja, untuk apa Shilla memandangi Ify yang notabenenya masih satu jenis. Memangnya gadis itu punya perasaan lebih ke Ify? Kan gak mungkin. “Lo sama aja nih sama Ify!” Tuding Agni. Shilla hanya nyengir seraya menggaruk-garuk tengkuknya. “Jelasin!” Paksa Agni, kali ini untuk Shilla.
Shilla bingung harus menjawab apa. Bukannya tidak mau menjelaskan tapi kan disana masih ada Ify. Tidak mungkin ia mengatakannya sekarang, secara itu bisa saja membuat Ify sakit hati nanti. Ia menunjuk-nunjuk ke arah Ify melalui matanya. Seperti memberi isyaratlah kepada Agni. “Nanti aja gue jelasin.” Bisik Shilla. Meskipun begitu, Ify masih bisa mendengar dan –pura-pura– ikut tak mengerti. “Eh kok bisik-bisik? Kok gue gak dikasih tahu? Kok gue gak boleh tahu?” Tanya Ify beruntun. Ia sudah beralih dari ponsel ke Shilla dan Agni. Tak lupa, bibirnya pun ia manyunkan.
“Kasih tahu gak yaa?” Goda Agni seraya menyenggol lengan Shilla pelan. Mereka terkekeh melihat kadar manyun temannya itu bertambah. “Udahlah jangan bahas itu. Eh besok olahraga, materinya basket kan?” Kata Agni semangat. Shilla dan Ify saling berpandangan bingung. Tiba-tiba Shilla tersenyum. “Eciee, roman-romannya ada yang lagi kesemsem nih?” Goda Shilla. Saat itu pula, pipi Agni sedikit merona. Bahasa kerennya salting lah. “Eh eh siapa? Siapa? Kok gue gak tahu? Tuh kan lo berdua main rahasia-rahasiaan lagi!” Dumel Ify tak terima. Kali ini, ia memang benar-benar tidak tahu.
“Hmm, gue laper. Fy, lo pesen makanan sana!” Ujar Agni mengalihkan pembicaraan. Melihat itu, Shilla hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Sementara Ify, ia terlihat kesal bukan main. Ia lalu berdiri dan pergi memesan makanan + minuman tentunya. Ia sengaja meninggalkan ponsel toh kepergiannya hanya sebentar. Tiba-tiba saja kantin terdengar agak riuh dari sebelumnya, terutama di bagian tempat masuk ke kantin. Agni dan Shilla iseng-iseng menoleh lalu melengos seketika.
Disana terlihat Cakka, Iel dan Rio berjalan memasuki kantin. Hmm, pemandangan biasa. Setidaknya bagi Agni dan Shilla. “Eh itu Agni sama Shilla bukan?” Tunjuk Cakka pada meja yang ditempati Agni dan juga Shilla. Iel melihat ke arah yang ditunjuk Cakka. Ia mendesah malas. Dalam hati ia berdoa agar kedua gadis disana sudah ‘tidur’. Rio hanya diam memandang meja itu dan sesekali mengedarkan sorotan mata ke arah lain. Yap! Fokusnya berhenti pada seorang gadis yang berdiri dan terlihat sedang memesan makanan. Ia memandang gadis itu lama.
Cakka menoleh sekaligus mengikuti arah pandangan mata Rio. “Lagi ngeliatin Ify yaa? Ehm..ehm..beneran dapat PM nih kita!” Goda Cakka. Iel hanya ikut terkekeh. Rio tersadar dan langsung beralih pandang pada mereka. “Gue lagi liat daftar menu.” Kata Rio datar tanpa membalas. “Ya deh terserah lo. Eh gue capek bediri mulu, duduk sana yok!” Ajak Cakka yang sudah bergerak duluan ke meja Agni dan Shilla. Diikuti juga oleh Iel dan Rio. “Kita boleh duduk sini kan?” Izin Cakka. Mm, tak bisa dibilang izin juga, toh ia sudah mengambil posisi duduk di sebelah Agni dan Shilla. Begitu pula dengan Rio dan Iel yang mengambil posisi duduk di depan mereka, yang kebetulan tempat dimana Ify tadi duduk. Tergeletak pula ponsel Ify disana.
Shilla sempat memandang Rio sinis lalu kemudian membuang muka. Rio tak terlalu mengindahkan. Tidak terlalu penting baginya. Dalam suasana baru itu, tiba-tiba saja ponsel Ify berdering. Semua serentak menoleh ke arah sana. Deringannya hanya satu kali, itu tandanya hanya sebuah pesan masuk. “Yo, buka gih!” Suruh Agni. Shilla hanya diam namun sepertinya setuju dengan Agni. “Kenapa gue?” Bingung Rio. Shilla mendengus lalu bersuara. “Lo yang paling deket kan? Buka aja, Ify gak bakalan marah. Dia polos dan jujur, bakal dikasih tahu juga sama kita-kita.” Ujarnya yang terkesan menyindir bagi Rio.
Dengan terpaksa Rio membuka isi pesan yang masuk ke ponsel itu. Hanya ada sms kosong dari nomor tak dikenal. “Cuma sms kosong.” Kata Rio datar seraya memperlihatkan layar benda itu ke yang lain. Ia lalu menaruh ponsel Ify ke tempat semula. Beberapa saat kemudian, Ify kembali dari memesan makanan. Ia agak kaget karena penghuni disana sudah berkembang biak (?), lebih-lebih ada Rio yang duduk di sebelah tempatnya. “Eh Fy, ada sms tuh! Sorry kita buka tadi, hehe.” Cengir Shilla. Ify hanya tersenyum seraya menggeleng pelan. “No problemo!”
Ify lalu duduk dan segera mengecek isi BB-nya. Ia mengumpat kesal mengetahui siapa pengirim sms itu. “Siapa, Fy?” Tanya Agni yang kelihatan bingung dengan reaksi Ify. “Orang aneh!” Umpat Ify kesal. Sepertinya ia tidak ingin menjelaskan lebih lanjut. Agni dan segenap teman-temannya yang lain hanya bisa menyimpan rasa penasaran masing-masing, termasuk Rio. Belum lama setelah itu, BB Ify kembali berdering. Kali ini lebih lama. Pandangan mata kembali tertuju pada benda itu. Ify pun terlihat melirik sekilas lalu kemudian mengedarkan pandangan ke sekitar. Seperti sedang mencari sesuatu. “Lo nyari apaan, Fy? Buruan angkat!” Ujar Agni.
“Eh eh bantuin gue dong, liatin siapa aja orang-orang disini yang lagi nelpon.” Pinta Ify. Semuanya lagi-lagi bingung dengan tingkah Ify. Tapi, mereka tetap melakukan apa yang Ify pinta. Ify langsung menjawab panggilan masuk di BB-nya. Ify diam dan tak mau berbicara duluan. “Hai, Ify manisku! Masih ingat kan sama gue?” Ujar orang itu seenaknya dan membuat Ify kembali mengumpat –benar-benar– kesal. “Heh, lo yang entah siapa namanya, I’m not yours!!” Sentak Ify. Orang yang menelpon Ify terkekeh. “But you will!” Balas orang itu.
Ify mendengus. “Haha, it’s just a dream in your dreams in your dreams again!” Sungut Ify yang membuat kekehan orang itu semakin keras. “But i’m sure that you eager to know who i am, right?” Ify mendengus lagi sambil menggigit bawah bibirnya. “Oh ya? Haha, sorry i don’t and i don’t care!” Ify langsung memutus panggilan mengganggu itu. Ia meletakkan BB-nya kasar dan menumpu dagu dengan kedua tangan. Shilla dan yang lain saling berpandangan kembali. “Pioong, siapa sih?” Tanya Agni penasaran.
“Tahu! Dari kemaren gangguin gue!” Jawab Ify asal. Shilla diam dan berfikir sebentar. Kemudian, ia tiba-tiba menjentikkan jari seperti mengingat sesuatu. “Hah! Jangan-jangan dia orang yang ngirim memo waktu itu!” Duga Shilla. Agni menoleh sebentar dan mengangguk setuju. “Bener juga! Sihiii, yang punya secad! Ehm..ehm..lahan bagus tuh, Fy!” Ledek Agni diikuti dengan gelak tawa yang lain, kecuali..Rio. Pemuda ini tampak diam tak bereaksi. Tapi sejujurnya, dalam hati ia mendengus. Sial! Batin Rio mengumpat. “Lo kira mau bercocok tanam apa?!” Dumel Ify.
Rio lantas berdiri dan beralasan hendak membeli minuman. Panas pemirsa, panas! Cakka menyenggol lengan Iel pelan dan tersenyum penuh arti. “Yo, mau beli minum kan? Beliin gue juga, Yo. Panas nih! Haha..” Ledek Cakka. Rio tak sedikitpun menoleh dan tetap berjalan. Meskipun begitu, tangan kanannya sudah mengepal. Awas lo, Cicak! Batinnya lagi. Cakka dan Iel tertawa puas. Tanpa peduli dengan wajah-wajah keheranan dari ketiga gadis di sebelah mereka. “Ketawa tuh bagi-bagi, woy!” Gerutu Agni.
Cakka dan Iel segera tersadar dan berhenti tertawa. Ketiga gadis ini sudah ‘bangun’ kembali. Pikir mereka berdua. Beberapa menit berjalan, hanya keheningan yang singgah disana sebelum Iel akhirnya memberanikan diri bersuara. “Emm.. Via gimana? Dia baik-baik aja kan?” Tanya Iel hati-hati sekaligus merasa bersalah. Tepat pada saat itu, Rio datang dan kembali duduk setelah sebelumnya memberikan sebotol pocari sweat pada Cakka. “Thank’s!” Ujar Cakka dan langsung meminum pocari itu tanpa memeriksa lagi. Akibatnya, baru seteguk, ia langsung memuntahkannya keluar. “Beeh, lo ngasih gue apaan yo?!” Rutu Cakka.
Rio menoleh sebentar dan tersenyum miring. “Lo gak bisa baca?” Cakka melihat kembali botol minuman di tangannya. Disana menunjukkan bahwa itu memang pocari sweat. “Pocari apaan ni?” Herannya. Iel ikut menoleh ke arah Cakka. “Emang kenapa, Cak?” Tanya Iel bingung. “Sepet!” Jawab Cakka langsung. “Oh, tadi airnya gue ambil dari bekas cuci piring.” Kata Rio santai dan meminum seteguk pocari sweat asli, miliknya. “APA?! Asem lo, dasar!” Kaget Cakka di antara tawa yang lain. Ia lantas membuang minuman itu beserta botol-botolnya ke tong sampah. Cukup jauh dari tempatnya dan kebetulan sekali tepat sasaran.
Ify yang melihat itu pun terkagum-kagum. “Wah, kok bisa masuk? Hebaat!” Puji Ify dengan mata berbinar. Mendengar itu, kali ini Rio benar-benar mendengus. “Gue juga bisa!” Ujarnya pelan. Tapi tetap saja, Cakka dapat mendengar itu meski tidak terlalu jelas. “Lo bilang apa, Yo?” Tanyanya memastikan. “Hah? Gak ada!” Bantah Rio segera. Ia kembali meneguk pocarinya, dan terlihat tidak sabaran. “Eh tadi lo nanya Via kan? Nah kebetulan nanti gue mau ke rumah dia. Lo mau ikutan gak?” Tawar Ify. Iel berfikir sebentar lalu mengangguk setuju. “Nah! Gue nebeng yaa? Hehe..” Cengir Ify. Itu memang tujuan Ify sebenarnya. Selain menghindar dari pulang bersama –yang terakhir kali– dengan Rio, ia juga bisa sekalian menjenguk Via.
Sementara Rio sendiri, entah kenapa ia begitu kesal. Benar-benar sampai ke ubun-ubun. Ia lantas berdiri kembali dan kali ini ia memang ingin pergi dari perkumpulan itu. “Gue balik ke kelas!” Pamit Rio tanpa menunggu respon dari Cakka maupun Iel sekaligus Ify dkk. Cakka dan Iel saling pandang dan tiba-tiba saja tertawa lagi. “HAHAHA!” Mereka kemudian ikut menyusul Rio ke kelas. “Eh kita duluan ya! Ni, jangan lupa pulang sekolah latihan!” Pamit Cakka. Agni dkk hanya mengangguk mendengar itu. “Ehm..ehm..” Goda Shilla pada Agni sesaat setelah Cakka dan Iel pergi. “Batuk?” Ujar Agni pura-pura tak mengerti. “Minum konidin, hehe..” Timpal Ify. Mereka serentak tertawa menggantikan Cakka dan Iel.
***
“ALVIN!” Bagi Alvin, pekikan namanya itu sudah resmi menjadi bel kesialannya setiap hari. Pengingatnya akan seorang gadis yang menurutnya begitu menyebalkan. Gadis yang selalu muncul tiba-tiba dan menampakkan diri dimana pun ia berada, saat di sekolah. Karena gadis itu pula, ia susah bergaul dengan teman-temannya yang lain. Alvin seperti menjadi seorang yang mengidap jantung lemah setiap mendengar seruan gadis itu. Ia beberapa kali menghela nafas serta menepuk-nepuk dada menenangkan diri. “Vin, gue cabut duluan deh. Selamat bersenang-senang, haha..” Goda seorang teman Alvin yang pada saat itu bersamanya. Alvin mendelik tajam ke arah pemuda itu.
“Hai, Vin!” Sapa Febby, gadis tadi, ramah. Alvin menoleh sebentar pada gadis itu lalu menghela nafas. “Hai..” Balas Alvin malas. Ia beralih memainkan ponselnya. Ia berniat menghubungi Shilla. Setidaknya hal itu jauh lebih baik dibanding harus mendengarkan kicauan sumbang dari gadis yang sudah duduk di depannya. Melihat itu, Febby melongos dan merebut ponsel Alvin begitu saja. “BB lo gue sita!” Ujar Febby seraya berdiri berkacak pinggang. “Apa-apaan sih lo? Balikin BB gue?!” Jutek Alvin seraya menengadahkan telapak tangan kanannya meminta kembali BB yang disita Febby.
Febby kemudian diam menatap Alvin, membuat Alvin sedikit..salting. Ia lalu menggeleng cepat dan kembali lagi pada sikap ketusnya pada gadis itu. “Balikin BB gue!” Pinta Alvin, datar. Ia tak menoleh pada Febby. Entah kenapa kesaltingannya itu masih bersisa sampai saat ini. Febby masih diam dan itu membuat Alvin hilang akal. “Arrggh, cepet balikin!” Pinta Alvin lagi. Ia mulai meraih-raih tangan Febby yang memegang ponselnya. Febby tentu tak membiarkan Alvin meraihnya dengan mudah. Jadilah, aksi rebut-rebutan itu menjadi tontonan yang cukup seru terutama bagi kaum hawa di tempat itu, di kantin.
“STOP!” Seru Febby tiba-tiba. Alvin mau tak mau menghentikan aksi perebutan kembali ponselnya.  Febby tersenyum jail. “Bilang gue cantik!” Ujarnya. Seketika mata Alvin sedikit melebar dari sebelumnya. “Hah?! OGAH!” Tolak Alvin mentah-mentah. Febby tersenyum kecut mendengar penolakan Alvin itu. “Sebelum lo ngomong itu, BB lo jadi milik gue untuk sementara!” Ancam Febby kemudian. Alvin tetap keras kepala tidak ingin mengatakan apa yang Febby pinta. “Mau BB lo balik atau gak?” Goda Febby seraya memain-mainkan BB Alvin dihadapan pemiliknya.
Alvin mengerang kesal. “Gak!” Tolaknya lagi. Febby tak mengindahkan dan tetap memanas-manasi Alvin. BB tersebut tanpa diduga bergetar. Seseorang hendak melakukan pembicaraan dalam benda itu. Febby mengangkatnya tanpa memeriksa sekaligus tanpa permisi. Sementara Alvin, ia mengira bahwa gadis itu sedang mengolok-oloknya lagi. “Haloo!” Sapa Febby ramah pada si penelepon. Ia diam sebentar lalu kembali bersuara. “Gue? Gue Febby, Febby Rastanty!” Ujar Febby tersenyum manis.
Alvin melihatnya malas. Ia akhirnya menyerah pada gadis itu. “Hhhh, cantik balikin BB gue doong?!” Pinta Alvin dengan intonasi lembut dipaksakan. Febby beralih pada Alvin tanpa memutus panggilan. “Aaaa, akhirnyaa!” Ujar Febby girang bukan main. Ia menoleh ke sekeliling. “Heh, lo, lo dan lo, denger tuh! Alvin bilang gue cantik!” Pamernya pada sekelompok anak cewek yang sedari tadi mencibirinya. Febby mengembalikan kembali BB Alvin dengan senang hati. “Nih!” Serah Febby. Alvin mengambilnya kasar dan memeriksa kembali benda itu. Ia menghela nafas lega karena merasa tidak ada yang tidak beres. “Eh tadi ada yang nelpon! Sorry gue angkat, hehe..” Cengir Febby.
Alvin mengangkat sebelah alisnya. Ia belum merasa percaya dengan perkataan gadis itu. “Ya udah kalau gak percaya!” Kata Febby lagi. Alvin segera memeriksa panggilan masuk di ponselnya. Sekali lagi, matanya seketika melebar lebih-lebih dari sebelumnya. Mulutnya pun terlihat ikut-ikutan. “APA?!..FEB LO..ARRGH!!” Gerutu Alvin. Febby hanya garuk-garuk kepala tak mengerti.
***
  Rio terlihat uring-uringan siang ini. Ia melajukan mobilnya entah kemana. Yang penting maju sajalah. Pikir Rio. Ia sendiri tak tahu apa yang membuat mood-nya sekusut sekarang. Ia kemudian memberhentikan serta menepikan mobilnya di sebuah jalan sepi. Ya, benar-benar sepi! Tak ada satu pun kendaraan yang lewat, kecuali mobilnya. Baguslah, ia bisa menyendiri sekarang. Rio kemudian turun dari mobil dan duduk di bagian samping. “Sepi..” Gumamnya seraya menoleh ke kanan-kiri memperhatikan kedua ujung jalan. Hmm, ternyata masih ada juga tempat seperti ini di Jakarta.
Kemudian pandangannya tertuju pada ujung jalan yang satunya. Dari situ, fantasi alam bawah sadar Rio dimulai. Ia tiba-tiba saja membayangkan dari sana mobil milik Iel bergerak maju hingga melewatinya. Ia lalu melihat 2 manusia yang duduk di depan dan bercengkrama dengan bahagianya. Dan mereka tak lain adalah Iel beserta..Ify. Rio kini seolah-olah melihat gadis itu sedang tertawa lepas. Sementara Iel, tangan kirinya bergerak menuju puncak kepala Ify dan mengusapnya lembut. Melihat itu, ada sesuatu yang membuat hatinya tergelitik. Tapi, tak bisa dibilang tergelitik juga karena gelitikan itu menimbulkan sedikit rasa nyeri.
Tunggu! Memangnya kenapa kalau itu Ify dan Iel? Dan juga kenapa harus mereka yang gue fikirin? Pertanyaan-pertanyaan itu seketika bermunculan di benak Rio, sekaligus membuat pemuda ini harus rela angkat fikiran dari fantasinya barusan. Rio meremas rambutnya kuat dan mengerang pelan. Ia frustasi dengan hal-hal asing yang merasuk hatinya beberapa waktu ini. Ify, Ify dan selalu Ify. Gadis itu terus saja mengusik ketenangan benda berjiwa itu. Kenapa dia? Kenapa harus dia? Sampai sekarang pun belum ia ketahui jawabannya. Lagipula, ia juga tidak berani mencoba menemukan apa jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Rio lantas kembali masuk ke dalam mobil dan kemudian melajukannya kembali. Kecepatannya cukup tinggi dan bisa dibilang ia sedang ngebut sekarang. Tujuannya kali ini sudah menunjukkan kejelasan. Rumahnya. Ia ingin kembali ke tempat itu alias ia ingin pulang. Ya, gue mau pulang! Batin Rio lirih.
***
Shilla sudah sampai di rumahnya dan kini ia pun sudah berleha-leha (?) di atas tempat tidur. Menghirup udara sejuk kamarnya sejenak sekaligus beristirahat. Ia menutup mata seraya menikmati berkurangnya sedikit demi sedikit volume kepekatan sendi tubuhnya akibat beraktifitas seharian. Merasakan aliran-aliran oksigen yang tanpa malu menelusup ke dalam lapisan-lapisan kulit. Ia menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. “Gue harap bisa seperti ini tiap hari..” Gumamnya.
Shilla lalu membuka matanya kembali dan mengambil ponsel yang tadi ia hempaskan begitu saja di kasur. Ia meraba-raba sebelah kanan kasurnya dan mendapati benda itu tergeletak disana. Seperti biasa, ia ingin memeriksa, sudahkan Alvin menghubunginya siang ini? Ah mungkin lebih tepatnya hari ini. Ya, karena sejak pagi hari pemuda itu belum menampakkan serangkaian nomor maupun namanya di ponsel Shilla.
Shilla menghunuskan nafasnya keluar. Ia mungkin harus lebih bersabar menghadapi kekasihnya ini. Kesekian kalinya, Shilla selalu mendahului perkontakan di antara mereka. Ia dengan cekatan mencari nama Alvin, yang sudah ia rubah dari Sipitrese menjadi Sipitunyu *halah* kemarin, di daftar kontaknya. Dengan segera ia melakukan panggilan. Ia sedikit kaget karena kali ini ia tak harus menunggu terlalu lama agar panggilan itu di respon. Baguslah, berarti ada kemajuan bukan? “Ha..”
“Haloo!” Shilla tercekat mendengar sapaan itu. Niatnya semula untuk memuji perubahan sikap –yang ia kira– Alvin harus ia urungkan. Tentu saja, suara yang menyapanya bukanlah milik Alvin. Itu suara perempuan. “Halo..lo..siapa ya?” Tanya Shilla pelan. Pikirannya sudah melenceng kemana-mana. “Gue? Gue Febby, Febby Rastanty.” Sahut gadis itu, yang mengaku bernama Febby. Apa? Febby? Febby Rastanty? Shilla terdiam. Tak tahu harus bicara apalagi. Ia kembali teringat pada gosip yang baru saja ditimpakan pada Alvin, kekasihnya. Namun, sepertinya kekagetan Shilla akan bertambah lebih besar lagi.
“Hhhh, cantik balikin BB gue doong?!” Nah, itu baru suara Alvin. Tapi kenapa harus kata-kata tadi yang pemuda itu ucapkan? Bukankah itu panggilan sayangnya untuk Shilla? Otak Shilla blank beberapa saat setelah memutus panggilan. Entah kenapa ia langsung mematikan ponsel dan menaruhnya begitu saja. Ia kembali menarik nafas mencoba menetralisir debaran jantung serta sakit di kepalanya yang tiba-tiba saja muncul. “Gue harus...tidur..” Lirih Shilla. Ya, mungkin otaknya itu harus dipejamkan sejenak. Tak hanya mata, bukan? Pada dasarnya, kerja otak itu lebih melelahkan daripada mata. Karena pada saat mata memejam, belum tentu sang otak mengikuti apa yang dilakukan mata.
***
Rio sampai di rumahnya dan melihat ada kendaraan asing yang terparkir disana. Yang jelas, itu bukan milik Papa atau Mamanya. Ia mencoba memperjelas pandangan memeriksa plat kendaraan, yang merupakan sebuah mobil, tersebut. Seketika itu pula, sebelah alisnya terangkat. Iel? Batin Rio. Ia bingung kenapa ada mobil Iel disana. Ya, biasanya kan Iel atau teman-temannya yang lain jika bertamu ke rumahnya akan permisi atau setidaknya memberitahu dirinya lebih dulu. Dengan segera ia melangkahkan kaki memasuki rumah yang boleh dibilang cukup megah itu.
Rio kemudian mendapati Iel sedang duduk santai di sofa ruang tamu. “Yel?” Panggil Rio. Iel menoleh menyahut seperti biasa. “Woy, lo udah balik? Kemana aja?” Tanya Iel sekedar basa-basi. Rio berjalan mendekat dan kemudian ikut duduk. “Tumben?” Ujar Rio yang sudah mengambil posisi bersender di badan sofa. “Oh, tadi gue..” Belum sempat Iel berbicara panjang lebar, tiba-tiba harus terpotong oleh Amanda, Mama Rio, yang tiba-tiba datang pula. “Yo, kok pulang telat?” Tanya Amanda yang terlihat khawatir. Rio menoleh sebentar ke arah mamanya itu. “Jalan-jalan sebentar..” Jelas Rio sekenanya.
“Kamu ini! Mama kira kamu bakal sama Ify kesini!” Rutu Amanda. Rio tersentak mendengar nama itu disebut. Ify..lagi? Pikirnya. “Gak usah bicarain dia kenapa sih?” Keluh Rio yang tiba-tiba dingin. Raut wajahnya tak lagi santai seperti tadi. Terkesan..marah. Amanda memandang anaknya heran. “Loh kenapa? Eh eh kamu gak tahu kan? Ify itu pinter masak loh! Dia tadi..”
“Mama gak ngerti Rio bilang apa? Gak usah bicarain dia! RIO TUH GAK SUKA SAMA IFY!” Potong Rio kalap yang berakhir dengan sedikit membentak pada Amanda. Sesaat Amanda terdiam melihat anaknya berbicara keras seperti itu. Ia kaget karena baru kali ini Rio membentaknya. Begitu juga Iel, ia memang sudah biasa dibentak oleh Rio. Tapi, kali ini kan beda. Itu Amanda, Mama Rio. Dan sepertinya kurang sopan seorang anak membesarkan volume suara saat berbicara dengan orang tua. Apalagi hanya karena masalah sepele.
Disaat yang bersamaan, seorang gadis baru saja keluar dari toilet. Terdapat bekas-bekas kemerahan di bagian bawah hidungnya. Bisa ditebak bahwa ia pasti mimisan dan sudah pasti tadi ia membersihkan noda-nodanya di dalam toilet. Ia berjalan sambil menengadahkan kepala, takut cairan merah itu mengalir kembali. Belum selangkah memasuki ruang tamu, langkahnya terhenti begitu saja mendengar sebuah seruan keras yang sangat berkaitan dengan dirinya. Seruan itu tidak mengenakkan bahkan sangat tidak mengenakkan baik didengar maupun dirasa.
(Galau dimulai, Butiran Debu On haha ~Boleh lagu lain kok~)
Hatinya mencelos. Memang benar, mendengar pernyataan dibalik punggung itu akan terasa lebih menyakitkan. Akan lebih terasa kejujuran dalam setiap untaian kalimat yang keluar. Maka akan semakin dalam mengoyak relung batin orang yang mendapat uji kebesaran hati menerima hal itu. Seperti Ify sekarang. Ini bukan yang pertama kali. Boleh dibilang sudah berkali-kali ia dibiarkan berkesempatan mendengarkan keluh kesah Rio akan dirinya. Rata-rata bahkan hampir semua perkataan pemuda itu menjurus kepada ketidaksukaan. Apa gue terlalu kuat sehingga Tuhan selalu membiarkan gue berdiri di waktu-waktu kejam kayak gini? Kenapa gue berjodoh dengan mereka?
Ia menurunkan kepalanya tanpa peduli cairan di hidungnya akan keluar lagi atau tidak. “Tante..” Lirihnya. Suaranya terdengar pelan. Ia masih berusaha bersikap biasa dan memaksakan diri menyungging senyum. Semua yang ada disana serentak menoleh pada gadis ini dan mereka pun tak kalah kaget melihatnya berdiri disana. “Ify..” Ujar Iel tak menduga, apalagi Amanda. Lidahnya makin kelu walau untuk sekedar mengatakan ‘ya’. Ify, gadis malang tadi, berjalan perlahan mendekati Amanda, Iel dan tentunya Rio. Sedikitpun ia tak mau menoleh pada pemuda itu.
Sreet! Benar saja, cairan merah itu kembali mengalir ke luar. “Ify, hidung kamu masih..” Kata Amanda menggantung seraya menunjuk-nunjuk ke arah hidung Ify. Ify kembali meraba bagian bawah hidungnya dan mendapati ujung jarinya mengalami bercak-bercak merah. Ia kemudian berbalik badan dan berlari menuju toilet kembali. Saat itu pula, ada cairan lain yang mengalir di bagian wajahnya. Kali ini cairan itu tidak berwarna. Bening layaknya air mata. Yap! Bisa dipastikan ia menangis. Ia sendiri bingung kenapa butir-butir itu begitu mudah untuk melepaskan diri.
Ify mengunci pintu toilet rumah Rio rapat-rapat. Ia tak langsung membersihkan noda merah di hidungnya. Ia diam menatap bayangan dirinya di cermin. Ia dapat menyaksikan sendiri bahwa cairan-cairan itu keluar semakin banyak dari matanya. Ia sulit menahan laju aliran itu karena terurai begitu saja. Kali ini ia benar-benar merasakan bagaimana terpuruk itu. Ia membiarkan kesedihannya tertumpahkan dalam setiap air mata yang ia teteskan. Ia menunduk dan terus saja menangis meski tanpa mengeluarkan suara. Hal ini begitu menyilukan hati dan sepertinya sudah layak menjadi alasan isakan-isakan darinya.
“Sakit..” Lirihnya yang masih terisak. Tuhan..aku sudah menyerah. Tapi kenapa rasanya masih sakit? Batin Ify parau. Beberapa kali Ia menepuk dadanya yang entah kenapa ikut terasa sakit serta sesak. Bukan hanya dada, perut dan hampir seluruh tubuhnya juga dan kini semua itu seakan lemah sekali. “Salah gue apa..?” Lirih Ify lagi. Ia tak habis pikir akan nasibnya dengan pemuda itu, Rio. Kenapa lo terlalu sering mengaku, Yo? Kenapa harus di depan gue? Kenapa selalu ada gue saat lo mengatakan itu? Kenapa gue selalu denger? Kenapa telinga gue dibuat terbuka menyambut itu semua? Kenapa cuma kata-kata menyakitkan yang keluar dari mulut dan hati lo? Apa gak ada sedikitpun kata-kata pelipur lara yang bisa lo sampaikan? Meski gak sampai satu kalimat setidaknya ada satu hal indah yang membekas di telinga dan terutama disini Yo, di hati gue.
***
Seorang gadis terlihat ditarik paksa oleh seseorang menuju suatu tempat. Sepertinya itu bagian belakang dari sebuah kelas. Mereka pun masih terlihat mengenakan seragam, seragam SMA. “Goldi! Lepasin tangan gue!” Ronta gadis itu seraya berusaha melepaskan tangannya dari genggaman orang yang ia sebut Goldi, sekaligus pelaku penarikan paksa tadi. Karena merasa sudah aman, Goldi akhirnya membebaskan pergelangan gadis di hadapannya. Ia menatap gadis itu tajam. “Sampai kapan?” Tanya Goldi dingin.
Gadis di hadapannya bersikap seperti pura-pura tidak mengerti. “Sa..sampai kapan apanya?” Kata gadis itu seraya balik bertanya. Goldi mendengus lalu memegang bahu gadis itu kuat. “Kapan...SAMPAI KAPAN GUE MESTI MENYAKSIKAN LO BERSAMA ORANG LAIN?!” Bentak Goldi yang sudah habis kesabaran. Gadis di hadapannya sontak kaget dan menunduk ketakutan. “Ja..jangan..bentak..gue..” Lirihnya. Ia tiba-tiba saja menangis. Hal itu membuat Goldi merasa bersalah. Ia lupa akan gadis itu yang tak bisa dibentak sama sekali. Ia lantas merutuki dirinya sendiri karena superegonya tidak berjalan dengan baik. “Ma..maaf, gue terlalu emosi..” Sesal Goldi.
Gadis tadi masih saja sesenggukan menangis. Goldi mengangkat wajah gadis itu kembali sembari mengusap kedua pipinya yang basah karena air mata. “Sorry!” Kata Goldi selembut mungkin. Gadis tadi menatap Goldi sebentar. “Lo tahu kan untuk apa gue ngelakuin ini? Apa lo mau liat gue mati disiksa, hah?” Goldi hanya bisa pasrah mendengar perkataan gadis itu. Ia tidak bisa lagi berontak jika kata-kata itu sudah keluar dari mulut kekasihnya. “Lo tahu kan apa yang Oik bakal lakuin sama gue? Sejujurnya gue udah capek. Gue lelah terus-terusan diperalat kayak gini. Tapi gimana? Gue gak dikasih pilihan untuk itu. Gue..gue..”
Goldi seketika langsung memeluk gadisnya. Ia tahu gadis itu sudah kehabisan kosakata untuk diucapkan. “Iya-iya, kan gue udah minta maaf. Gue yang salah..” Ujar Goldi lagi. Ia mengusap-ngusap kepala gadisnya pelan. Mereka membiarkan menit-menit kesunyian melintasi waktu begitu saja. Tak ada masalah dengan itu karena sepertinya mereka pun menikmati suasana yang mereka buat. Hingga sang gadis berhenti mengaliri pipinya dan menatap Goldi. “Sabar, gue mohon..” Lirih gadis itu. Goldi tersenyum dan menatap balik gadisnya lembut. “Iyaa..” Katanya mantap seraya kembali mengusap-ngusap pipi gadis itu. “Gue cuma..cemburu..” Jujur Goldi kemudian menunduk.
“Gue akan secepatnya menyelesaikan tugas gue!” Sang gadis akhirnya dapat membiarkan kecerahan mencuat di wajahnya. Ia tersenyum dan menatap Goldi haru. “Gue..cinta sama lo..” Ucapnya. Goldi tersenyum jail. “Gue gak denger, ulang!” Pintanya yang pura-pura tidak mendengar. Sang gadis tertunduk malu disertai dengan merona di pipinya. Goldi mengangkat wajah gadis itu lagi seraya tetap memegangi pipinya. “Ulangi!” Pinta Goldi. Gadis itu tersenyum sipu dan ragu-ragu untuk berkata lagi. “Gu..gue..”
“Gue apa?” Goda Goldi membuat kemerahan di wajah sang gadis semakin kentara. Dengan gerakan cepat ia memeluk pinggang kekasihnya sehingga hanya menyisakan ruang beberapa centi saja. Entah refleks atau karena sudah terlalu malu sang gadis langsung menutup mata. Tak sampai 5 detik, ia kemudian merasakan ada sesuatu yang tanpa ragu berpagut dengan bibirnya. Yap, Goldi menciumnya dan melumatnya beberapa kali (??) Ini perdana Goldi melakukan itu. Ia dapat merasakan kerinduan Goldi padanya. Ia tak punya kekuatan untuk menolak *-___-juststoryV,V* karena ia juga merasakan hal yang sama. Tangannya bergerak mengalung ke leher Goldi seraya sesekali membalas perlakuan pemuda itu.
***
Alvin sudah terbebas dari gangguan Febby. Entah kemana gadis itu pergi. Tapi tidak masalah. Alvin tentu sangat bersyukur akan hal itu. Tapi, ia masih belum bisa tenang. Benar-benar tidak tenang. Ia justru kelihatan lebih panik sekarang. Lagi-lagi karena seorang gadis. Tapi dengan gadis yang berbeda. Ia berkali-kali mencoba menghubungi gadis itu dan berkali-kali pula ia gagal. Setiap ia melakukan panggilan, malah gadis lain yang menyahut sambil terus mengucapkan kalimat-kalimat yang sama. ‘Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif. Cobalah beberapa saat lagi!’. Begitulah kira-kira.
“Shillaa, aktif dong pliiiisss!!” Ujar Alvin frustasi. Ia takut sekali Shilla, gadis tersebut, marah padanya. Ia mulai merutuki dirinya sendiri karena sudah bertingkah bodoh hari ini. Kenapa ia harus mengabulkan permintaan Febby? Itulah yang sedari tadi menggerogoti isi kepalanya. “Arrgh! Febby sialan!” Umpat Alvin kesal. Ia kemudian mencoba mengirim pesan singkat pada Shilla. Tapi, hal itu pun masih belum ada pengaruhnya karena Shilla tak jua merespon. Jadilah, seharian itu ia habiskan hanya untuk mengirimi pesan singkat pada Shilla dengan harapan hati gadis itu akan tergerak dan segera membalas.
***
 Cukup lama Ify mengurung diri di toilet dan akhirnya menguatkan diri untuk keluar. Ia terkejut melihat ada 3 orang yang terlihat cemas menungguinya. Ah tepatnya 2 orang, ya karena ia hanya memperhatikan 2 dari 3 orang itu. Sekeras hati ia mencoba menghindar untuk bertukar pandang dengan 1 di antaranya, Rio. Entah apa ekspresi pemuda itu sekarang. Apakah ia sedang khawatir, cemas, merasa bersalah atau malah setia dengan sikap cueknya seraya berpesta kebahagiaan dalam hati. Yang jelas, ia tidak mau melihat Rio saat ini.
“Ify, sayang, kamu baik-baik aja kan?” Tanya Amanda cemas. Ia yang terlihat paling khawatir. Amanda berdiri paling depan bersama Iel sementara Rio berada di paling belakang. Samar-samar, tersirat jugalah raut kegelisahan di wajah Rio. Matanya tak berkedip memandang gadis yang tanpa sengaja disinggungnya. Rasa bersalah itu kembali muncul dan malah dengan jumlah yang semakin besar. Kali ini, ia memang tidak sengaja melakukannya. Ia sendiri bingung mengapa kata-kata ‘menusuk’ itu kembali terucap olehnya. Ia baru mengakui perkataannya tadi tidak sepenuhnya benar. Buktinya ia merasa bersalah sekarang. Yah mungkin sampai saat ini, hanya itu yang dapat ia simpulkan untuk masalah perasaannya pada Ify.
“Hah? Baik..ya baik..” Jawab Ify seraya tersenyum paksa. “Emm..Ify pulang sekarang aja ya, Tante. Ify kan mau jenguk Via lagi, hehe..” Cengir Ify dan mencoba mencairkan suasana. Amanda tak berusaha menahan karena ia turut merasa bersalah pada Ify. Ia lalu mengambil rantang berisi makanan yang sengaja dipersiapkan agar gadis itu dapat membawanya pulang. Ia memberikannya segera. “Bawa ini, salam buat Papa kamu ya..” Kata Amanda canggung. Ify tersenyum menerimanya dan langsung pamit. Iel hanya mengikuti Ify dari belakang. Ia juga tidak mau ikut campur dalam masalah internal 2 keluarga ini.
Ify melewati Rio tanpa menoleh sedikitpun. Ia bersikap pura-pura tidak melihat pemuda itu. “Gue gak ikut campur!” Ujar Iel pelan saat berjalan di depan Rio. Sementara Rio, tangannya sudah bergerak sedari tadi. Dalam hati, sudah ada niatan untuk menahan kepergian gadis itu. Tapi, sepertinya antara pemikiran dengan alat motoriknya tidak berkooperasi dengan baik. Kaki Rio tetap kaku dan terpaksa diam di tempat. Ia hanya memandangi bagian belakang tubuh Ify yang kini sudah menghilang di balik pintu rumahnya.
“Ify baik-baik aja, Yo.” Ujar Amanda yang terkesan menyindir. Ia segera beranjak dari tempatnya semula dan bergerak menuju kamar. Perasaan kecewa menggeluti sebagian kecil hatinya. Rio hanya bisa menghembuskan nafas pasrah dan kemudian ia juga berjalan menuju kamar. Huft, I’ve made hurt in her heart, again. Really! Lirihnya dalam hati. Pikirannya kacau saat ini. Ya, benar-benar kacau!
***
(Ungu – Kuingin Selamanya On, menurut admin sih tapi boleh lagu lain kok~)
Pulang sekolah, itu berarti waktu bagi Agni kembali mengikuti latihan basket bersama Cakka, dan anggota lain tentunya. Kali ini yang hadir lebih banyak termasuk para senior. Masing-masing senior bertanggung jawab atas satu junior. Kebetulan jumlah senior dan junior yang hadir seimbang. Kebetulan lagi, Cakka menjadi senior yang akan melatih Agni. Hati Agni sedikit berbunga mengetahui itu. Hmm, bagian itu kini tak secuek dulu dan menonjolkan sisi feminim Agni yang sesungguhnya di dalam sana. Meski, bahasa tubuh ‘laki’ atau lebih tepatnya tomboy itu tidak bisa dilepas dari dirinya. Akan tertempel selamanya di benak setiap orang yang melihat gadis ini.
Cakka menyuruh Agni berlatih drible. Agni pun mulai memantul-mantulkan bola basket di tangannya seraya membawa benda itu berjalan dari ujung lapangan yang satu ke ujung lapangan tempat Cakka berdiri. Ia melakukan itu dengan cukup baik, bahkan bisa dibilang sangat baik. Tentu saja, ia kan bukan tidak bisa bermain basket? Cakka melihat itu tersenyum puas. Ia juga memuji kecepatan menangkap dari Agni. Ia mulai menyimpulkan gadis ini pasti akan sangat mudah mencapai tahap kemahiran. Hmm, kau belum tahu anak muda, gadis ini penipu! Ia bahkan mungkin lebih tinggi tingkat keahliannya dari pada dirimu.
“Waah, hebat lo!”  Puji Cakka. Agni hanya tersenyum menanggapi pujian Cakka padanya. Meski ada sedikit rasa bersalah dirasakannya saat melihat pemuda di hadapannya. “Nah, sekarang lo drible bolanya lagi. Gue akan nyoba ngerebut dan lo harus bisa ngindarin gue. Ngerti?” Ujar Cakka lagi. Agni mengedikkan bahunya. Ia lalu mendrible bola basket kembali. Cakka menghalaunya dari depan. Matanya begitu serius memperhatikan gerak-gerik bola. Agni tak dapat menahan tawanya saat melihat wajah lucu Cakka. “Mata lo biasa aja dong! Nih bola udah kayak cewek yang mau lo tembak, tahu gak? haha..” Tawa Agni. Cakka ikut terkekeh dan menyadari sikapnya yang memang agak berlebihan.
Setelah itu, Cakka terlihat lebih santai. Sekarang tak hanya bola, ia pun sesekali memperhatikan wajah si pemegang. Tujuannya hendak menghalau bola tak juga terlaksana. Ia hanya sibuk menatap bola dan Agni bergantian. Sementara Agni, ia mulai sadar bahwa Cakka sedari tadi meliriknya. Sesekali pula ia melihat pemuda itu tersenyum. Entah apa maksud dari senyuman itu. Membuat jantungnya ikut memantulkan diri seirama dengan pantulan bola yang berada di tangannya. “Lo kapan ngerebut bolanya sih?” Gerutu Agni mencoba bersikap biasa.
Cakka kelihatan sedikit tersentak. “Hehe, gue lupa..” Cengir Cakka seraya garuk-garuk kepala. Agni kembali terkekeh melihat itu. Namun, sepertinya kegiatan perebutan bola itu harus ditunda pelaksanaannya. Awan-awan mendung yang sempat mengatapi bagian atas lapangan tiba-tiba saja menumpahkan beban-beban yang ada di dalamnya. Hujan. Yap, bagian bumi di sekitar itu seketika dibuat basah. Tanah-tanah terlihat merecah akibat penjatuhan air. Cakka, Agni dan anggota lain segera mencari peneduhan.
Akan tetapi, Cakka terlihat malas-malasan ketika disuruh lari. Membuat salah satu dari anggota disana meneriakinya agar segera menyusul. Mau tak mau ia berlari ke tempat dimana anggota-anggota lain berada sekarang. Mereka memutuskan kembali ke ruang basket. Di dalam, ada yang kemudian melanjutkan latihan dan adapula yang beristirahat. Cakka sendiri memilih berdiri di depan pintu sambil memandang ke arah luar. Melihat betapa derasnya hujan turun. Bingung melihat anggota lain berlatih, ia akhirnya mengikuti kegiatan Cakka dan berdiri di samping pemuda itu. “Lo suka hujan?” Tanya Agni tiba-tiba.
Niatnya sih hanya sekedar basa-basi karena ia merasa sudah tahu apa jawaban Cakka nanti. Cakka menoleh sebentar lalu kembali menatap hujan. “Sangat!” Ujar Cakka mantap dan tersenyum senang. Seketika Agni terdiam. Ia begitu kaget mendengar pernyataan Cakka barusan. Agni bahkan tidak mengharapkan jawaban tersebut keluar dari mulut Cakka. Ia sedikit merasa kecewa. “Kenapa?” Lirih Agni. Ia tak memandang pemuda itu lagi melainkan ikut-ikutan memandangi sang hujan. “Hujan membuat gue merindukan seseorang..” Jawab Cakka pelan. Ia masih setia dengan senyumnya. “Lalu, lo? Suka hujan?” Tanya Cakka balik. Agni melewatkan waktu sebentar dan setelah itu –berusaha– menjawab. “Gak..” Kata Agni pelan.
Cakka menoleh dan kelihatan bingung. “Kenapa?” Kali ini ia yang menanyakan itu pada Agni. Agni menghembuskan nafasnya singkat. “Gue kehilangan seseorang saat hujan..” Jawab Agni. Cakka membiarkan matanya melihat gadis itu sebentar lalu kemudian kembali memandang hujan. Mereka menciptakan keheningan dengan kesibukan dalam fikiran masing-masing. Agni udah punya pacar? Batin Cakka bertanya-tanya. Setidaknya ada sedikit ketidaksukaan saat ia memikirkan itu. Sementara Agni, ia masih memikirkan jawaban Cakka tadi. Jadi, Cakka suka hujan? Tapi..Aga gak suka hujan. Lirih Agni dalam hati. Sama seperti Cakka, ia juga tidak suka memikirkan hal yang sedang ia pikirkan saat ini.
***
 Ify dan Iel akhirnya sampai di rumah Via. Sebelum keluar dari mobil, Ify dengan segera menyimpan kesedihan yang masih menderanya. Ia kemudian turun seraya mengembangkan senyum di wajah. Iel hanya diam melihat tingkah Ify. Sudahlah, gadis itu punya cara sendiri mengatasi masalahnya. Pikir Iel. Mereka masuk dan disambut baik oleh Lilis, pembantu di rumah Via. “Bi, Via gimana? Udah mendingan kan?” Tanya Ify. Lilis hanya nyengir seraya menjawab. “Hehe, Bibi juga kurang tahu, Neng. Tuh, Non Vianya lagi diperiksa sama Bu Keke.” Jelas Lilis.
“Tante Keke datang kesini?” Tanya Ify lagi. Ia agak kaget mendengar nama itu. Lilis mengangguk dan kemudian permisi ke belakang. Ify dan Iel langsung beranjak menuju kamar Via. Tapi, sebelum itu mereka terlebih dahulu bertemu dengan Keke, psikolog yang biasa menangani Via, yang kebetulan baru keluar dari kamar gadis itu. “Tante!” Sapa Ify seraya tersenyum ramah. Begitu juga Iel, meskipun ia belum mengetahui siapa wanita cantik di depannya. “Eh kamu Ify. Lama gak ketemu?” Balas Keke.
“Iya nih. Via jarang kambuh sih, hehe..” Kata Ify nyengir. Keke hanya geleng-geleng kepala mendengarnya. Ia lalu menoleh pada Iel. “Kamu..pacarnya Via?” Tanya Keke lagi yang membuat Iel gelagapan. Ify tersenyum melihat tingkah aneh Iel itu. “Calon, Tante!” Celetuknya. Iel langsung mendelik ke arah Ify tak terima. “Eh bu..bukan, Tante! Saya temennya kok!” Bantah Iel cepat. Keke terkekeh kecil melihat kedua muda-mudi di hadapannya. “Pacar juga gak papa kok..” Timpal Keke. Iel hanya bisa garuk-garuk kepala, malu. Ia tidak berusaha membantah lagi.
“Emm, Via gimana? Dia baik-baik aja kan?” Tanya Ify kemudian. Air muka Keke tiba-tiba berubah menjadi agak serius. Sedetik kemudian ia kembali tersenyum dan mengangguk. “Iya. Dia baik-baik aja kok!” Mendengar itu, Ify pun dapat bernafas lega begitu juga dengan Iel. “Tapi..sepertinya dia kehilangan memori tentang kejadian yang dia alami sekitar seminggu ini. Hmm, biasalah efek trauma.” Jelas Keke lagi. Ify manggut-manggut mendengar penjelasan Keke sementara Iel, ia makin merasa bersalah. Ia tidak mengira perbuatannya itu akan memberikan efek kejiwaan seperti ini dan kini harus dialami Via.
Setelah perbincangan itu, Ify dan Iel pun masuk ke kamar Via dan mendapati gadis itu sedang membaca novel. Kegiatan rutinnya saat tidak ada kerjaan di rumah. Ia tersenyum melihat Ify namun sedetik kemudian ia bingung karena Ify tidak datang sendirian. Iel? Batin Via bingung. Ia merasakan jantungnya berdebar, lumayan cepat. Apalagi dengan Iel yang masuk sambil tersenyum ke arahnya. Wajah Iel terlihat sangat tampan saat ini. Setidaknya menurut Via. Ify kemudian duduk di tepi tempat tidur Via. “Ciee yang udah berani bolos!” Ledek Ify. Ia berhasil menutup rapat-rapat celah kesedihan dalam dirinya. “Apaan sih lo?!” Rutu Via seraya memukul pundak Ify pelan.
Via menaruh novel yang tadi ia baca ke samping. “Eh eh gue kenapa sih? Kok Tante Keke sampe datang kesini ngejenguk gue?” Bingung Via. Maklum, ia kan tidak ingat apa saja yang ia alami. Tahu-tahu, ia bangun dan sudah berada di kamar. Bisa dibilang, Via mengalami amnesia kecil jadi tidak tahu apapun tentang penyebab ia terbaring sekarang. “Lo? Lo habis bunuh orang tahu gak? haha..” Bohong Ify. Tawanya meledak melihat Via manyun. Iel yang melihat itu langsung menoleh pada Ify dan tersenyum tipis ke arahnya. Good girl! Batinnya memuji. Ia kagum akan ketegaran Ify itu.
Gadis itu cukup kuat juga. Padahal dari luar, ia terlihat seperti dedaunan kering yang sekali diinjak akan langsung merekah dan dengan mudah memisah menjadi bagian-bagian kecil. Jarang-jarang ada gadis yang seperti ini. Menurut Iel sih. Sementara Via, tak sengaja menoleh ke arah Iel dan mendapati pemuda itu sedang tersenyum sambil memandang Ify. Hatinya seperti tersengat menyaksikan pemandangan miris itu. Seolah-olah menunjukkan Iel yang memendam ketertarikan terhadap Ify. Maklum, ia belum pernah melihat Iel memandangi orang seperti itu sebelumnya. Ia menatap Iel miris. Jadilah, di ruang itu, masing-masing penghuninya memilih fokus yang berbeda. Ify pada Via, Via pada Iel sementara Iel menjadikan Ify sebagai pilihan.
***
Hulalaa, selesai juga part ini. Sekali lagi, saya gak tahu feelnya dapat atau gak. Dan jangan minta pertanggung jawaban kepada saya akan hal itu. Next, ngaret lagi tak apa yaa. Udah masuk sekolah lagi sih hoho o,o
Jelek ya? Haha, saya tahu kok. Maklum saya bukan penulis. Maafkan ke gajean dan ketidakbagusan cerita, ini hanyalah fiksi belaka. Makasih =)

2 komentar:

  1. huaaa bagian ify nya nyesek lagi T-T
    tapi aku suka sama cerita ini karena udah bisa bawa pembacanya hanyut dan ikut merasakan :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. haduuuh dirimuu u,u nyahaha nyesek itu hal yang wajib ada dalam cerita ini hahaha *eeh

      Hapus