-->

Minggu, 25 Maret 2012

Matchmaking Part 6

Ass! C’est le part 6. Part terpanjang ini -_- Selamat membaca! *eh ada yang mau baca?* Maaf ngareet hoho~
Hop hop langsung saja yaw, semoga isinya tidak mengecewakan pemirsah!
***
Putih. Kenapa semuanya putih? Dan..baju apa ini, yang gue pakai? Sejak kapan baju tidur berubah jadi dress gini? Pertanyaan itu dalam sekejab bermunculan di benak Ify secara berurut. Ia sangat bingung dengan keadaan sekitarnya, bahkan dirinya sendiri. Ia membuka mata di suasana yang berbeda, dalam keadaan berbeda dan yang terpenting, ini bukan tempat tidur bahkan kamarnya.
Tempat yang ia jajaki begitu luas seakan tiada ujung bahkan pangkalnya pun tak terlihat. Ia menoleh ke kanan-kiri dan..kosong. Tak ada siapapun bahkan apapun. Sekali lagi, semuanya putih. Tiba-tiba angin berembus dan..itu bukan sembarang angin yang sekedar permisi untuk lewat. Angin itu..aneh. Begitulah menurut Ify. Ia memegang tengkuknya yang tiba-tiba merinding. Kemudian tangannya bergerak turun dan mengulang yang sudah biasa ia lakukan disaat seperti ini, memelintir bajunya atau mungkin dress yang entah milik siapa ini.
Kakinya mulai melangkah perlahan satu demi satu. Bagaimanapun ia harus menemukan muara tempat ini. “Ify..” Sebuah suara lembut memanggil namanya yang dengan seketika membuatnya berhenti. Suara lembut yang menggumamkan kerinduan dan siratan kasih. Dan..Ify sangat bahkan lebih dari sangat merindukan suara itu. Ia rindu dipanggil seperti itu dan juga orang yang melakukan panggilan tersebut.
Mulutnya menguak sedikit celah. Matanya nanar namun tak benar-benar nanar ia pandang. “Ify?” Panggil suara lembut itu lagi, bahkan sekarang terdengar lebih lembut. Ify berbalik badan dan didapatinya orang yang memanggilnya itu. Orang yang baru saja ia sebut sebelum ia tidur. “Mama..” Lirih Ify. Suaranya bergetar, air di pelupuk matanya pun sudah mewaduk. Sekali saja ia mengedipkan mata, maka waduk itu akan terurai isinya.
Orang itu tersenyum hangat menatap Ify, anaknya. Yap, dia Mama Ify. Matanya masih belum berkedip sampai sekarang. Ify malah melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti tadi, namun kali ini dengan arah berbeda dan tujuan yang berbeda pula. Mama.. Hati Ify terus-menerus menggumamkan itu. Hingga ia benar-benar berhadapan dengan Mamanya, hatinya masih saja bergumam hal yang sama. Mama Ify tersenyum lagi, kali ini senyumnya sendu. Ia sedih menatap gadis manis di depannya.
“Ify..” Untuk ketiga kalinya, orang itu atau Mama Ify memanggilnya kembali. “Mama..” Akhirnya Ify dapat membalas panggilan salah satu orang terkasihnya itu. Sekarang, tanpa berkedip pun waduk di pelupuk matanya tadi sudah terurai dengan sendirinya. Berbelas tetes air akibat uraian itu keluar dari matanya. Mama Ify menyentuh pipi anaknya lembut dan menghapus bekas-bekas maupun basah yang baru saja tercipta karena tangisan Ify.
“Sudah jangan menangis, Mama disini..” Hibur Gina, Mamanya. Tuhan..Kau tahu berapa malam yang kutunggu dan kuharapkan akan mendapat mimpi indah ini. Terimakasih..terimakasih.. Batinnya senang meski ia terlihat menangis. Ia menangis karena teramat bahagia, bahagia mengetahui ia memimpikan hal yang seharusnya diimpikannya setiap malam, baginya. Aku tahu ini mimpi, maka jangan bangunkan aku dulu. Sebab, mimpiku ini seperti kesempatan yang sukar untuk datang kedua kali. Dalam dunia, masanya sudah habis. Aku hanya bisa berharap bertemu ia dalam mimpi ini. Karena itu, sekali lagi, jangan bangunkan aku dulu, Tuhan.
“Ify..kangen Mama.” Lirihnya dan langsung memeluk Mamanya erat. Sudah lama ia tidak merasakan raga dan rasa hangat milik orang ini. Gina, Mamanya, mengusap rambutnya pelan dan terlihat tersenyum. “Benarkah?” Sahut Gina. Ify mengangguk cepat. “Setiap malam, dalam setiap tidur Ify, ada 2 hal yang Ify harapkan.”
“Apa itu?” Tanya Gina. “Ify harap Ia membiarkan Ify mengalami mimpi ‘indah’ atau..Ia mencabut nyawa Ify saat itu juga agar Ify tak perlu beribu kali memohon-Nya memberikan mimpi itu.” Gina tersenyum lagi, lebih lebar kali ini. “Tapi, untuk saat ini Ify hanya meminta-Nya memberikan mimpi itu saja.” Kata Ify.
“Ya, benar. Karena Tuhan merasa bukan Ify yang merindukan Mama.” Kali ini Gina. Saat itu juga, Ify menatap Mamanya bingung seraya melepas pelukan eratnya di pinggang wanita cantik itu. “Maksudnya?” Tanya Ify.
“Sepertinya, ada yang jauh lebih merindukan Mama.” Jawab Gina dan semakin membuat anaknya itu bingung sekaligus penasaran. Ia kemudian hanya tersenyum pada Ify, senyum yang tanpa Ify tahu apa siratan maknanya.
***
 “HHK!” Kedua kalinya, di malam yang sama, Ify terbangun tiba-tiba. Sesaat kemudian alarmnya berbunyi, benda yang sudah sekian tahun menemaninya di samping tempat tidur. Kesetiannya patut di apresiasikan. Bagaimana? Tentunya dengan mengisi energi benda itu jika ia sudah terlalu lelah. Juga dengan tidak menggantikan posisinya dengan yang lain. Sudahlah, untuk apa membahas beker itu?
Kembali pada Ify sekarang. Ia menekan off di balik badan benda bersuara nyaring tersebut dan menatap langit-langit kamar. “Cepat sekali..” Gumamnya. Yah, ia merasa mimpinya terlalu cepat berlalu. Tapi..yah sudahlah. Ia sudah sangat bersyukur ia bisa memimpikan mimpi ‘indahnya’. Ia bergerak turun dari tempat nyamannya dan berjalan menuju kamar mandi serta bersiap-siap menjalani sekolah kembali.
***
Ify baru saja keluar dari kamarnya dan berjalan sembari menuruni belasan anak tangga rumahnya. Ia melihat ke arah jam yang melingkar di tangan. Bagi Ify, ini sudah cukup siang dan tumben sekali Papanya belum berada di meja makan. Bahkan meja itu masih terlihat bersih dari sisa makanan dan roti di atasnya pun masih utuh. Kening Ify berkerut namun ia tiba-tiba ingat akan sobekan-sobekan kertas yang ia temukan semalam.
Ia berlari menaiki anak tangga kembali menuju kamar. Ia memasukkan sobekan-sobekan itu ke salah satu ruang di sisi tasnya. Ia bergerak cepat keluar kamar dan menuruni anak tangga kembali sambil berteriak memanggil-manggil Papanya. “Paa? Papaaa?” Belum ada sahutan dari Ferdi, Papa Ify. Malah Bi Surti *Halah* yang muncul dan menyahut seruannya. “Eh, neng Ify. Papanya udah berangkat duluan atuh, Neng.” Kata Bi Surti.
Ify bergerak cepat ke bawah. “Kapan?” Tanyanya. “Sekitar jam 6 tadi, Neng.” Jawab Bi Siti. Ify manggut-manggut mengetahui hal itu meski ia makin dibuat bingung. Papa..aneh. Batinnya. Sedetik kemudian, ia bertanya lagi. “Terus, Ify berangkat sekolah sama siapa? Ify kan gak boleh bawa mobil ke sekolah sama Papa,”
“Tadi katanya ada yang jemput neng Ify.” Benar saja, ada yang menjemput Ify. Dari depan rumahnya, telah muncul suara klakson mobil yang menggema hingga ke dalam rumah. Sang pengklakson membunyikannya tak sabaran. “Oh ya udah Ify pergi dulu ya, Bi.” Sempat ia mengambil satu roti yang tersedia di meja makan dan berlari keluar. “Gak makan dulu, Neng?” Teriak Bi Siti. “Ini sudah cukup, Bi!” Sahut Ify sambil berteriak pula.
Ia menggigit pinggir rotinya. Namun, gigitan itu hanya sampai di situ saja mungkin setelah melihat siapa yang akan mengantarnya ke sekolah hari ini. Ia terdiam melihat mobil putih di hadapannya lebih-lebih pada si pengemudi. “Heh, cepat masuk! Telat nih!” Sentak orang itu. Ia segera tersadar dan masuk ke dalam mobil, menempati kursi kosong di sebelah orang tadi. Ia menatap orang itu sekali lagi, tak percaya. “Kenapa liat-liat?” Mangas orang tadi.
“Hah?” Kaget Ify. Ia langsung mengalihkan pandangan ke depan, mengedip-ngedipkan matanya beberapa kali. “Enggak.” Ia langsung melahap rotinya lagi. Orang disebelahnya hanya geleng-geleng kepala dan lekas melajukan mobil. Ini mimpi juga? Oh my Allah, Kau baik sekali, membuatku bertemu 2 orang yang ingin kutemui. Mama, Rio..ahh sungguh Engkau sangat baik. Terimakasih! Batin Ify senang.
***
“Yo..Yo..turunin gue disini aja!” Pinta Ify yang kelihatan panik. Rio menoleh ke arah Ify. “Heh, siapa juga yang mau nurunin lo di sekolah? Ke-PD-an lo! Apa kata anak-anak ntar?” Ify menatap Rio manyun dan kesal.
“Dan satu lagi!” Kata Rio. Ify membuang muka menatap jalanan. “Perjodohan, lo gak boleh ngasih tahu siapapun tentang hal itu!”
“Hah? Tapi, gue udah ngasih tahu Via..” Polos Ify
“Ahelah. Cuma dia doang kan? Dia bisa jaga rahasia gak?”
“Mmm, gak juga sih. Shilla sama Agni juga udah..” Kata Ify lagi seraya menggaruk-garuk pelipisnya. Rio mulai geram dengan gadis di sebelahnya itu. “Serah deh ya, yang penting selain mereka gak ada lagi yang boleh tahu. Ngerti lo?!”
“Lah, Papa gue? Dia kan juga udah tahu?”
“IFY! LO BEGO BANGET SIH?!!” Bentak Rio yang sudah teramat kesal dan mengerem mendadak. Ify kaget. Ia belum pernah dibentak seperti itu sebelumnya, bahkan oleh Papanya sendiri. Apalagi terdapat unsur cercaan di dalamnya. Sudah tahu kan, sifat Ify itu seperti anak kecil. Meskipun syndromnya tidak terlalu parah. Tapi, jika dibentak seperti itu, ia juga takut. Jemarinya sudah mulai bergerak memelintir, seperti biasa ia memelintir bajunya. Ia sedikit menunduk.
“Yee, lo kan emang tahu gue bego. Tapi..gak usah bentak gitu juga ngasih tahu guenya..” Kata Ify takut-takut. Ia melirik sebentar ke arah Rio. Entah apa ekspresi pemuda itu sekarang ia tak begitu jelas melihat. Ia membuka pintu mobil dan segera keluar. Ia lalu berlari menuju pagar. Papaa..ini apa? Kenapa rasanya sakit? Batinnya lirih.
Sementara Rio, ia hanya garuk-garuk kepala bingung. “Hah, emang gue salah ngomong apalagi? Tuh anak sensitif amat lah!” Ujar Rio.
***
 Via baru saja melewati pagar sekolah dan berjalan masuk. Ia melirik jam di tangan kirinya. 06.43. Pantes masih sepi. Pikirnya. Ia berjalan santai mengingat waktu dimulainya pelajaran masih lama. Di depannya, ada 2 jalan yang bisa ia pilih. Yang satu jalan lurus, terdapat tikungan di ujungnya sedang yang satu lagi ia bisa memotong melewati kajur sekolah. Ia pun memilih jalan yang pertama.
Baru selangkah memasuki tikungan, tak jauh di depan Via, ia melihat ada Iel disana yang berjalan dari arah berlawanan. Via sedikit terperangah dan langsung berbalik badan. Ia mengurungkan pilihannya atas jalan itu. Ia memutar balik agar terhindar dari Iel. Ia berjalan cepat dan kali ini melalui jalan memotong ke kajur. Astagaaa, jantung guee!! Ini cuma ketemu Via, cuma ketemu!! Histerisnya dalam hati. Ia terlihat tergesa-gesa berjalan dan menunduk.
Via sampai di koridor kembali. Ia menoleh ke belakang memeriksa apakah Iel masih terlihat disana. Untunglah, ia tidak melihat siapapun di belakangnya. Ia bisa berjalan dengan tenang sekarang.
BRUK!
Via menabrak seseorang di depannya dan anehnya malah ia yang terdorong ke belakang. “Hadow!” Pekik Via. Ia merasa kepalanya membentur sesuatu yang emm dibilang keras tidak dibilang lembut juga tidak. Kamus, ya mungkin permukaannya mirip dengan benda itu. Ia menoleh pada korban tabrak tak larinya (?) seraya mengelus-mengelus bagian depan kepala yang terbentur tadi. “HHK!” Nafasnya tercekat mengetahui siapa orang itu. “ASTAGA!” Kaget Via.
“Lo kenapa, Vi? Histeris banget ngeliat gue? Naksir?” Bingung Iel. Tanpa sadar Via mengangguk. “Hah?! Lo suka sama gue?!” Kini balik Iel yang histeris. Beberapa orang di sekitar mereka mungkin bisa mendengar perkataan Iel barusan, dengan jelas. “SIHIIII..” Sorakan-sorakan tanpa komando itu bermunculan seketika. “Wah, ada yang baru nih! Cewek, nembak cowok! Haha..” Celetuk salah seorang yang ikut menyoraki Via dan Iel.
Pipi Via merah. Ia malu, sangat malu! “Eeeh kok jadi gini sih? Gu..gue gak..gak nembak lo lagi!” Via membantah cepat tapi tetap saja, orang-orang di sekitarnya kompak menyoraki dirinya dan Iel. Via merengut dan mengumpat sedongkol-dongkolnya dalam hati. Ia lantas berjalan pergi meninggalkan kerumunan. Di sepanjang koridor, orang-orang masih saja menyoraki Via.  Ia berjalan sembari menutup muka. Rrrr, kenapa gue harus ketemu Iel? Kenapa dia masih disana tadi? Kenapa dia harus ngomong sekeras itu? Umumin aja sekalian tuh di radio sekolah! Kenapa juga gue ngangguk? Kenapa oh kenapa?? Aisssh lo bego banget sih Viiii!!
***
“AWW!” Pekik Ify. Badannya terhuyung ke lantai alias jatuh. Yap, ia ditabrak seseorang dari belakang yang membuatnya tersungkur tanpa bisa mengendalikan tubuhnya. Ia jatuh dengan posisi terduduk di lantai dan meringis kesakitan terutama di bagian pantat(?). Ia melihat ke arah si penabrak yang baginya sudah sangat familiar. “Hadoow, Via lo jalan liat-liat dong! Pantat gue nyium lantai kan jadinya!” Rutunya.
“Eeeh sorry-sorry! Gak fokus gue!” Panik Via, si pelaku penabrakan, untuk kedua kalinya. Ia lekas membantu Ify berdiri. “Sorry-sorry..sakiit!” Kata Ify manja seraya mengelus-ngelus bagian belakang tubuhnya. Via memutar kedua bola matanya, menatap Ify malas. “Ahelah, serah deh. Hh, gue gak betah lama-lama disini!” Ujar Via dan langsung menarik tangan Ify, membawanya berjalan menuju kelas. Ify hanya bisa pasrah dengan tangannya yang ditarik itu. “Viaa..”
***
Shilla melintasi koridor sekolah yang masih cukup sepi saat ini dengan muka bertekuk berjuta lipat. Ia benar-benar kesal dan merasa malas sekali untuk berdomisili di sekolah sekarang. Bagaimana tidak, seharian kemarin tak ada satu panggilan bahkan sms sekalipun masuk ke ponselnya. Sebenarnya ada, namun pesan-pesan tersebut bagi Shilla tak termasuk dalam hitungan. Ia hanya menunggu dihubungi oleh satu orang. Alvin! Ya, Alvin. Kemana laki-laki itu? Setidaknya pertanyaan itu terus bergumul dalam pikiran gadis ini bahkan menari-nari bergelayutan di setiap akson-akson sarafnya.
Aiss, tuh orang hobby banget bikin gue galau! Gerutu Shilla dalam hati. Saat itu pula, ponselnya berbunyi menyerukan salah satu lagu JB yang menjadi favoritnya. Ia merogoh BB yang ada di kantongnya. Sipitrese! Ia ingat, semalam ia baru saja mengganti nama kontak orang yang menelponnya itu dengan nama tersebut. Siapa lagi kalau bukan Alvin. Ia menjawab panggilan itu malas. “Shilla Nutty, dari yang goreng sampe yang gosong ada disini. Anda mau pesan kacang yang mana?” Kata Shilla asal. Terdengar Alvin terkekeh di seberang sana.
“Kalo saya pesan mbaknya aja gimana?” Goda Alvin. Shilla memutar kedua bola matanya kesal. “Maaf, saya sudah punya pacar. Tapi kayaknya pacar saya lagi jualan kacang juga tuh, jualnya ke saya lagi!” gumamnya.
 Alvin terkekeh lagi. “Ya ampun, kasihan cantik gue ini jadi juragan kacang.”
“Hah? Masih ingat lo sama gue?” Sungut Shilla. Alvin diam sebentar lalu tersenyum. “Marah?” Tanya Alvin.
Shilla mendengus kesal. Marah? Ya sudah pastilah. Untuk apa ditanya lagi?! “Es kacang es kacang!” Tiba-tiba panggilan itu terputus. Bukan Shilla, tapi Alvin yang memutusnya. Shilla melongo memandang BB di tangannya. Kalau bisa, ia sudah mencak-mencak sekarang. Sayangnya, ini masih di lingkungan sekolah. Ia bisa dianggap siswa stres. Ia memasukkan kembali ponselnya kasar dan beranjak meninggalkan tempatnya sekarang.
***
“Alvin! Tunggu!” Alvin baru saja hendak mengatakan sesuatu kepada seseorang yang ia hubungi, namun terdelay oleh seruan seorang gadis di belakangnya. Ia terkesan terburu-buru menghentikan panggilan. Ia menoleh ke belakang pada gadis tadi. “Eh kenapa diputus? Lanjut aja lagi!” Ujar gadis itu.
“Eh lo Feb, emm gak terlalu penting.” Elak Alvin. Febby, gadis tadi tersenyum senang. “Ya udah, ke kelas barengan ya!” Ujar Febby lagi. Seperti biasa, ia langsung menarik Alvin tapi kali ini beda, ia tak sekedar menarik, ia juga menggandeng lengan pemuda di sebelahnya. Lagi-lagi, Alvin pasrah dan merelakan lengannya diperlakukan begitu. Ia tidak tahu apa yang membuatnya menjadi seperti sekarang, yang jelas raga dan batinnya tidak memunculkan penolakan, sama sekali.
***
Hmm, gadis ini, ia masih saja memandangi kalungnya. Hal itu memang patut menguak keheranan bagi yang melihat, lebih-lebih yang sudah mencapai beberapa kali. Hmm..dia udah liat kalung gue. So? Batin gadis itu. Ia berada di taman sekolahnya. Tempat ini cukup nyaman untuknya menyendiri. Ia sudah sangat akrab dengan suasana sekitar. Ada sebuah bangku yang menghadap ke lapangan basket. Di sekeliling taman di tanami bunga asoka yang masih beranjak tumbuh, masih muda maksudnya.
Gadis ini tidak duduk di kursi yang ada melainkan duduk di rerumputan. Tangannya menggenggam kalung yang kemarin membuatnya kalang kabut untuk mencari benda itu. Kalung itu terjuntai ke bawah dan tangan kirinya memegangi cincin yang sepertinya sengaja di gantungkan disana. Ia tersenyum melihat guratan garis-garis di permukaan cincin itu. Di dalamnya terukir sebuah nama, tapi bukan nama gadis ini. Yang jelas, nama itu masih berkaitan dengan dirinya.
“Itu..Agni?” Gumam seseorang ketika ia hendak mengambil bola yang tak sengaja berguling ke arah sana. Ia mengambil bolanya dan diam sebentar. Ia lalu mendekati gadis yang ia sebut namanya tadi, Agni. Juga gadis yang sedari tadi membetahkan diri untuk berada taman. “Ahh, lo disini!” Ujarnya dan langsung mengambil tempat di sebelah Agni. Ia membuat gadis yang boleh disebut harajuku itu kaget.
Dengan segera Agni menggenggam seluruh bagian kalungnya, mendekapnya di depan dada agar tak terlihat. Ia belum berkeinginan menoleh ke arah pemuda yang mengagetkannya itu. “Kalung lagi, masih aja lo!” Kata Cakka, pemuda tadi terkekeh pelan. Agni hanya tersenyum miring. Ia hendak memasang kalungnya kembali, namun ada sedikit masalah. Pengaitnya begitu keras untuk dibuka. Kedua tangannya masih terangkat ke belakang tetap berusaha membuka pengait tadi. Belum berhasil juga.
Alis kiri Cakka terangkat melihat itu dan menggeleng pelan. Ia mengambil alih pemasangan kalung yang sedang diusahakan Agni. Agni sedikit tersentak mengetahuinya. “Sini, biar gue yang pasang!” Cakka mengalungkan tangan kanannya dari arah depan. Hal itu sontak memunculkan setruman-setruman kecil di hati Agni. Ah tidak, tidak bisa dibilang kecil. Jelas-jelas jantungnya berdetak cepat sekali jadi tidak bisa dibilang kecil. Fatal mungkin lebih tepat.
“Eh rambut lo kesampingin dulu!” Pinta Cakka. Agni pun melakukan apa yang diminta Cakka itu. Ia sedikit merunduk agar memudahkan Cakka memasangkan kalungnya. Ia tidak ingin berlama-lama dalam posisi ini. Kenapa? Karena..emm yah ia bisa mati duduk! Dengan pacu jantung yang bisa dibilang melebihi kecepatan anak panah saat melesat.
Cakka selesai mengait. Ia tak lekas menarik tangannya yang ia lingkarkan dari arah depan Agni. Ia memandangi gadis itu dari samping. Manis, sangat manis! Begitulah kesannya ketika memandang setengah wajah Agni. Entah kenapa ia menjadi suka memandangi wajah itu bahkan dalam waktu lama. Cakka terlihat tersenyum tanpa Agni ketahui. Sementara Agni masih saja merunduk ketika Cakka memandanginya.
Eh nih orang lama amat sih? Gak tahu apa jantung gue udah mau melebur gini! Batin Agni risau. “Eh udah gak sih? Lama amat!” Kata Agni memberanikan diri. Cakka tersadar dan cepat-cepat ia membebaskan bagian atas tubuh Agni dari lingkaran tangannya. Dan...hening. Yah hening. Tak ada yang mau buka suara karena kesibukan pikiran masing-masing. Cakka menoleh sebentar ke arah Agni yang kini sedang menaruh penglihatan pada rentetan tanaman bunga asoka disampingnya.
“Ni..” Kata Cakka akhirnya. Agni berdehem ria menyahut panggilan Cakka itu. Cakka kembali menatap ke depan. “Lo..aneh!” Tuduh Cakka. Agni menoleh cepat ke Cakka. Ia memandang pemuda itu seakan menuntut penjelasan atas perkataannya tadi. Cakka masih setia menghadap ke depan. Ia tersenyum kembali. “Gue ini pecicilan..narsis..konyol..” Gantung Cakka.
“S..so?” Tanya Agni bingung. Cakka tertawa kecil lalu menghadap Agni. “Lo, orang pertama yang bikin gue kalem, alias mati gaya.” Katanya dan tertawa lagi. Agni tersenyum miring dan memandang Cakka tak percaya. “Really?” Tanya Agni, lagi. Cakka hanya mengedikkan bahu tanpa memudarkan senyum di wajah tampannya itu.
Dan selanjutnya..diam. Mereka diam dalam posisi masing-masing, memandang satu sama lain. Sebenarnya, Cakka lah yang benar-benar fokus memandang Agni. Sementara Agni, ia bukan memperhatikan wajah Cakka, tapi ia bingung dengan Cakka yang terus memandanginya. Ahh..tolong, jangan pandang gue dengan tatapan itu! Teriaknya dalam hati.
Kini, Cakka tak lagi diam. Badannya perlahan bergerak maju ke depan. Makin lama posisinya makin mendekat ke Agni. Seketika, tubuh Agni kaku. Ia seperti sulit bergerak bahkan bernafas. Ia sudah tidak tahu lagi apakah jantungnya masih berdetak atau tidak. Yang ia tahu, Cakka terus mendekat dan mendekat terutama ke wajahnya. Sekarang hanya tinggal 1 kilan, maka jarak antara mereka bisa saja hilang. Aga! Ya, ingat dia, Ni! Ingat, lo masih harus nyari dia! Batin Agni tegas.
“Mmm..Kka..” Kata Agni memberanikan diri. Cakka kaget dan menghentikan perlajuan tubuhnya. “Hah?” Ujar Cakka salting.
“Ini..terlalu dekat hh,” Kata Agni berusaha sebiasa mungkin, namun tetap saja terdengar aneh. Dengan segera Cakka menjauhkan tubuhnya kembali seperti semula. Ia menggaruk-garuk kepalanya sendiri. Kesekian kalinya, nih cewek bikin gue mati gaya! Umpatnya dalam hati. Hmm, hening lagi? Kenapa sih kalian hobby membuat saya menulis itu? Saya bisa dikira penulis gak kreatif ini! *eh?**abaikan!*
“Eh gue cabut duluan ye!” Pamit Agni yang sudah mengambil posisi berdiri. Ia hanya tinggal melangkah dan ia bisa meninggalkan tempat itu, segera. Namun baru beberapa langkah, Cakka kembali memanggilnya. Ia terpaksa berhenti dan menoleh ke cowok itu lagi. “NI!” Panggil Cakka.
“Ya?” Cakka berfikir sebentar lalu kembali bersuara. “Pulang sekolah..temenin gue main basket bisa?” Pinta Cakka. Agni memandangnya bingung. “Gue?”
“Iya, lo!” Kata Cakka meyakinkan. “Tapi kan, gue masih amatiran. Kenapa gak yang lain aja?”
“Gue maunya lo. Ntar biar sekalian gue ajarin. Bisa?” Pinta Cakka lagi. “Hah..eh OK!” Agni cepat-cepat meninggalkan taman yang menjadi pelabuhan *halah* penyendiriannya beberapa menit lalu sebelum kedatangan Cakka. Asal tahu saja, pipinya merona ketika mendengar penghujung kata Cakka barusan. Semoga lo memang Aga gue, Kka. Eh Aga gue? Haha entahlah. Doanya dalam hati.
***
“Vi, temenin ke toilet yok?” Pinta Ify. Via menggeleng keras lalu menumpu dagunya di meja. Ify menatap kesal sahabatnya itu. “Viaa, lo kenapa sih? Diajak ke kantin gak mau, nemenin ke toilet gak mau, lo aneh deh hari ini!” Rutunya pada Via. Via tak begitu acuh dengan omelan Ify itu. Ia menegakkan kepalanya kembali dan kini dagunya tak lagi bertopang di meja melainkan tangannya. Saat itu pula, fokus lensa matanya tertuju pada cowok yang baru saja memasuki kelas. Cowok itu melihat Via pula.
Via berdiri dan berjalan meninggalkan kelas. “Pieem lo mau kemanaa?” Pekik Ify. Via berhenti sebentar dan menyahut. “Lo mau ke toilet gak? Tadi minta temenin!” Kesalnya. “Eh iya, tunggu!” Kata Ify nyengir seraya menyusul Via. Sementara itu, cowok tadi malah kebingungan melihat tingkah aneh Via. Secara tersirat, gadis itu mungkin saja tergesa-gesa pergi karena kedatangannya. Ia mulai memikirkan kesalahan separah apa yang membuat Via sampai seperti itu padanya.
***
Sepanjang Ify dan Via berjalan, beberapa orang di sekitarnya saling berbisik dan terkadang tersenyum tak jelas. Bukan senyum menggoda tapi malah terkesan seperti mengejek bahkan ada yang menertawakan. Ify celingak-celinguk sana-sini sambil melemparkan tatapan kesal pada orang di sekelilingnya. Ia tidak suka ada yang membicarakan dirinya apalagi saat ini bukan hanya sekedar membicarakan.
Ify menoleh pada Via yang terlihat sama kesalnya dengan ia sendiri. “Vi, orang-orang pada kenapa sih?” Tanyanya pada Via. “Tahu! Naksir kita kali!” Kata Via manyun. Tak sedikitpun ia melihat ke arah Ify. “Eh Via, gimana? Kita dapat PJ atau PD nih?” Celetuk salah seorang dari mereka. Teman di sebelahnya terlihat bingung. “PD apaan?” Polos orang itu. “Pajak Ditolak! Hahaha..” Seketika koridor itu riuh dengan tawa-tawa para penghuni disana.
Ify menatap Via menuntut penjelasan. Terang saja *akumenantinyahalah*, ia seakan satu-satunya orang yang tidak tahu apa-apa tentang ini. Via mendengus dan memutar kedua bola matanya, mengutuki satu-persatu orang yang ikut andil perihal mengejeknya. Ia lantas menarik tangan Ify membawanya cepat-cepat pergi dari sana. “Eh Pieem, jelasin dulu! Gue gak ngerti laaa!” Rengek Ify. Tapi Via tetap saja menariknya bukan menjelaskan seperti yang ia minta.
***
Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak 5 menit lalu. Tapi Ify masih saja betah berdiam diri di dalam kelas. Ah bukan berdiam diri melainkan ia tidak tahu harus kemana. Ia pun bingung dengan apa yang ia tunggu sekarang. Hmm, mungkin menunggu Rio yang belum juga kembali ke kelas semenjak ia dipanggil ke TRC oleh Bu Okky sesaat sebelum pulang tadi. Ya mungkin ia menunggu pemuda itu.
“Fy, Fy! Ngenes banget sih jadi lo? Berkali-kali lo dikasih jalan buat move on, berkali-kali pula lo nolak itu semua. Lo malah makin sejadinya mendalami perasaan konyol lo ini. Perasaan yang lo udah tahu mungkin bakal selamanya gak kesampaian. Dan bakal selamanya pula lo budidaya. Ckckck..” Kata Ify pada dirinya sendiri. Ia menggeleng lemah. Jari telunjuknya yang sedari tadi mengetuk-ngetuk meja tempatnya seketika berhenti.
“Oh iya kertas-kertas itu? Hmm hampir aja lupa. Gue beli selotip sama gunting dulu deh!” Ify kemudian meletakkan tasnya di kursi dan beranjak meninggalkan kelas menuju kopsis sekolah. Sementara itu, tanpa diketahuinya, ada seseorang yang menguping pembicaraan pribadinya tadi dari luar. Orang itu hanya memandangi Ify yang semakin samar seiring banyaknya langkah yang ia jalankan satu demi satu. Entah apa yang terbersit dalam mata cowok ini.
***
Ify memegang gunting dan selotip yang baru ia beli masing-masing di tangan kanan dan kirinya. Sampai di depan kelas, ia mendapati pintu kelas tersebut tertutup bahkan sudah di gembok. “Woaah dikunci? Tas gue masih di dalem!” Paniknya. Ia mondar-mandir di depan pintu kelas. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. “Heh, lo gak usah kayak setrikaan gitu bisa gak sih? Pusing gue liatnya!” Seruan itu mengagetkan Ify dan langsung membuatnya berhenti berjalan kesana-kemari. Ia menoleh pada sumber suara. Ia sedikit terperanjat melihat si pemilik.
“Ri..Rio..” Ify menatap Rio, orang itu, takut-takut. Ia takut Rio akan membentaknya kembali seperti pagi tadi. Ia mundur selangkah, sedikit menjauh dari pemuda yang kini menjadi di hadapannya. Rio hendak mengatakan sesuatu namun lekas ia urungkan. Ia malah meraih lengan Ify, menuntunnya berjalan ke suatu tempat. Ify pasrah, ia hanya sesekali melirik pada Rio yang terus melingkarkan jemarinya di pergelangan tangan miliknya. Nah, ini! Ini yang bikin perasaan gue makin numpuk, kayak sampah aja! Rrr...
***
Rio membawa Ify ke bangku taman, tempat Via dan Iel bercengkrama waktu itu. Disana sudah tergeletak tas miliknya dan Ify. Ify tersenyum senang melihat tasnya selamat dari kurungan kelas. Ia pun menghampiri tasnya seraya menduduki satu dari 2 kursi yang tersedia. Rio ikut-ikutan duduk, namun di kursi yang berhadapan dengan Ify. Ia menatap Ify datar. Ify menyadari akan Rio yang menatapnya sekarang.
Senyum di wajahnya pun berubah kecut. Rasanya, ia mulai lelah menghadapi sikap Rio. Ify mengambil sobekan-sobekan kertas di kantung tasnya dan meletakkannya di meja sambil sesekali melirik pada Rio. “Kenapa lo gak pulang? Kenapa masih disini?” Tanya Ify tanpa menoleh. Ia mulai menyusun sobekan-sobekan kertas di depannya. Namun sebelum itu, ia mengguntingi selotip menjadi beberapa bagian kecil untuk memudahkannya menyatukan sobekan-sobekan tadi.
“Ya nungguin lo lah. Lo kan pulang bareng gue!” Jawab Rio yang masih saja memandangi Ify. Memandangi setiap gerak-gerik gadis itu. Ify berhenti menggunting namun hanya sebentar. Kemudian melanjutkannya kembali. “Gue? Bukannya lo malu dengan adanya gue?” Kata Ify polos. Kali ini ia menempelkan satu potongan selotip pada 2 sobekan yang menurutnya sudah pada posisi yang tepat.
Rio tak lantas menjawab. Ia menatap Ify lebih lekat. Sesaat kemudian pandangannya berubah sendu. “Lo..cinta sama gue?” Tanya Rio tiba-tiba. Ify berhenti lagi, mencoba menyerap apa yang Rio tanya barusan. “Lo pengen gue jawab gak kan?” Ujarnya seraya balik bertanya. Ia kini menoleh ke Rio. “Jangan jatuh cinta sama gue! Jangan mengurungnya lebih lama dalam hati lo! Itu cuma bikin lo sakit. Dan sakit itu..”
“Sakit?” Potong Ify sebelum Rio menyelesaikan perkataannya. Ify menerawang sembari mengulang-ngulang kata itu dalam gumamannya. Rio diam masih menatap Ify. “Dia teman baik gue. Jangan salahkan dia! Dia hanya sedang menjalankan tugas..”
“Tugas?” Kening Rio mengernyit, bingung. “Hmm. Tugasnya itu datang menitipkan perih di hati siapapun, siapapun yang menghendakinya tinggal. Satu diantaranya, pada hati yang selalu dalam penantian, menunggu seseorang yang diharapkan membuka kurungan dalam hati itu sendiri. Yah, kayak gue inilah. Haha..” Ify tertawa hambar. Ia sendiri kaget dengan apa yang barusan ia katakan. Heh? Gue dapet kata-kata darimana? Ckck..
Rio menghela nafas dan menghunusnya keluar. Ia mengalihkan pandangan ke arah lain. Tak ada yang mau bicara lagi. Keduanya sibuk dengan kegiatan dan pikiran masing-masing. Ify mencoba fokus kembali dengan sobekan-sobekan kertas di depannya, yang sempat ia abaikan. Tapi tetap saja, ia tidak bisa benar-benar memusatkan diri pada benda-benda itu. Karena hal itu, membuat jari tengahnya tanpa sengaja tergunting. “Ahh..” Rintihnya pelan.
Satu tetes cairan merah melalui celah yang terbuat dari luka itu keluar, bahkan tidak hanya satu tetes. Rio dengan cepat menoleh dan mendapati jari Ify itu mengeluarkan darah yang bisa dibilang cukup banyak. Rio mengambil alih jari Ify itu dan menekan luka penyebab aliran darah itu keluar. Ia mengangkatnya melebihi atas kepala Ify. “Kok bisa berdarah? Lo ceroboh banget sih?!” Kata Rio yang tiba-tiba panik.
Air mata Ify menitik, meskipun baru setetes. Ia menangis, tapi tidak begitu deras. “Eee jangan nangis! Ikut gue ke UKS!” Ify hanya mengangguk mendengar perintah Rio itu. Mereka segera beranjak menuju UKS yang kebetulan masih dibuka dan masih ada perawat yang berjaga. “Tadi tangannya gak sengaja kegunting terus berdarah agak banyak.” Jelas Rio saat sampai di UKS. Ify hanya diam sambil berusaha menahan air mata yang tak sabaran mengantri untuk keluar.
Perawat segera mengobati luka di jari Ify. Ify disuruh duduk di atas tempat tidur. Rio memperhatikannya dari samping. “Mm Ibu permisi dulu, kalau kalian mau pergi tutup aja pintu UKS nya. Gak usah dikunci.” Ujar perawat setekah selesai mengobati luka Ify. Rio dan Ify hanya mengangguk.
“Katanya sakit itu temen lo, cih gini aja lo udah mewek!” Ledek Rio. Ify melirik Rio kesal. “Kalo sakitnya di badan, mata gue yang nangis. Tapi kalo sakitnya di perasaan, hati gue yang meringis. Puas lo?!”
“Terserah!” Kata Rio. Ia melipat kedua tangannya di dada.
“Yo!” Panggil Ify setelah mereka cukup lama saling diam. “Apalagi?!”
“Lo beneran gak suka dijodohin sama gue?” Tanya Ify. Rio membeku, tak tahu apa yang harus ia jawab. Ia sendiri heran dengan apa yang terjadi pada hatinya saat ini. Ada sebagian dari makhluk pengendali itu yang tidak menyukai pertanyaan Ify barusan. Bagian itu justru menuntut Ify agar bertanya hal sebaliknya, yakni apakah ia suka dengan perjodohan itu? Sementara bagian yang lain, turut pula memaksanya namun berbeda hal dan sangat bertolak belakang. Ia diam membongkah satu-persatu hal membingungkan yang datang secara beruntun tanpa ada pembukaan antrian sebelumnya.
***
Hiyaa selesai juga part 6, makin gaje saja ini ckckck. Kalo masih mau baca, kemungkinan part besok dominan Alshill, kayaknya. Hehe, tapi ngareet yaa =DD
Jelek ya? Haha, saya tahu kok. Maklum saya bukan penulis. Maafkan ke gajean dan ketidakbagusan cerita, ini hanyalah fiksi belaka. Makasih =)

1 komentar:

  1. di awal cerita di sini ify nya nyesek.. tapi pas udah nyampe part dua puluh lebih kayaknya enggak deh.. ayo lanjut lagi.. banyak yang nunggu tuh*lirik fb*


    numpang promo yaa, kunjungi juga blog gue ini: obatkistatradisional

    BalasHapus